KEMAJUAN teknologi, tanpa banyak disadari, telah membawa banyak kemudahan dalam menjalani hidup ini. Akan tetapi, dibalik itu masih banyak dari kita yang kurang memahami bahwa dalam berhadapan dan terutama pada saat mengoperasikan barang-barang produk teknologi, akan dituntut disiplin yang tinggi. Disinilah akar permasalahan dari bermulanya, terjadi banyak kecelakaan. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah kebiasaan dari umum nya masyarakat kita tidak atau kurang “match” dengan tuntutan “disiplin tinggi”. Itu sebabnya sering kita dengar istilah “culture shock”, bila ada teman kita yang beruntung pergi belajar atau bekerja di Negara maju. Disiplin disini, terutama dan banyak terkait dengan masalah-masalah dalam mematuhi aturan.
Lingkungan dari masyarakat yang maju teknologinya akan dengan mudah terlihat ciri-cirinya yaitu antara lain tertib, bersih, tepat waktu dan sangat tunduk pada aturan, bukan tunduk kepada orang lain. Perbedaan inilah yang sangat menonjol terlihat pada masyarakat dari lingkungan yang teknologinya kurang atau tidak maju. Pada hakikatnya, perbedaan ini akan berujung kepada berhadapannya antara “perasaan” dengan “ratio” atau akal sehat.
Keseimbangan dalam meletakkan posisi “perasaan” dengan “akal sehat” akan menimbulkan sesuatu yang harmonis. Dalam arti kapan “perasaan” menjadi dominan dan kapan pula “akal sehat” yang harus dominan. Kesemuanya itu akan bercampur baur dalam kehidupan yang selalu saja berhubungan antara orang dengan orang dan antara orang dengan barang.
Mengoperasikan barang-barang produk teknologi, tidak ada pilihan lain selain dengan cara mematuhi aturan pakai nya. Disini akan segera saja terlihat kekurangan di masyarakat kita yang pada umumnya malas untuk membaca aturan pakai tersebut. Kita pada umumnya lebih nyaman dengan bertanya saja kepada yang sudah mengetahui aturan pakai barang tersebut. Contoh sederhana nya adalah, bila kita membeli Televisi atau Mobil, atau computer dan juga laptop. Dapat dipastikan 9 dari 10 pembeli, tidak pernah membaca “operation manual” , atau aturan pakai dari barang-barang itu tadi.
“Operation manual” dan manual-manual lainnya, pasti akan tetap tersimpan rapih didalam bungkus plastik nya, sampai barang yang dibeli itu rusak atau kadaluwarsa. Kebiasaan lainnya adalah terlalu banyak toleransi dalam mengoperasikan barang-barang itu. Contohnya, baterai yang sudah waktunya harus diganti, dipakai terus sampai benar-benar barang tersebut tidak bisa jalan. Ban yang sudah gundul, tetap saja dipakai sampai nanti tambalannya penuh dan ban dalamnya kelihatan dari luar. Pokoknya pakai terus sampai titik darah penghabisan. Nanti apabila pada satu saat, mengalami kecelakaan sebagai akibat dari ban yang sudah tipis, barulah kemudian kita memperhatikan masalah itu dengan lebih baik.
Akan tetapi kecelakaan sudah terjadi. Korban sudah berjatuhan. Namun ya tetap saja, untuk mengejar efisiensi kata lain dari “ngirit”, maka ban yang sudah licin itu kan masih bisa di pakai setelah di “vulkanisir”. Muncul satu hal lagi disini yaitu aspek berhemat. Dalam menggunakan barang-barang produk teknologi maju, seperti tadi telah ditekankan, harus disiplin dan taat aturan. Jadi “penghematan” dalam arti menghindar dari peraturan yang berlaku, akan berakibat fatal. Dalam menerapkan keamanan atau “safety”, maka akan selalu berhadapan dengan “cost” atau biaya. Akan tetapi kita kadang salah membuat kalkulasi dalam upaya berhemat.
Contoh sederhana adalah, seyogya nya kita menyiapkan alat pemadam kebakaran di dekat dapur dan atau dekat garasi. Maksudnya adalah, agar bila terjadi kebakaran maka akan dengan cepat dapat diatasi. Tetapi alat pemadam kebakaran kan mahal, ya untuk berhemat nggak usah dulu beli deh. Padahal, begitu terjadi kecelakaan, maka kerugian yang dialami akan menjadi lebih besar. Karburator mobil yang sudah rusak, seharusnya sudah diganti dengan yang baru, tetapi tetap saja di kutak kutik dan di ampelas sedikit, kemudian pakai lagi. Demikian pula dengan misalnya kondisi kabel listrik yang sudah harus diganti, menurut aturan yang ada.
Tetapi kan masih bagus nih kellihatannya, nanti saja lah diganti, untuk berhemat. Begitulah, bila kemudian terjadi arus pendek yang menimbulkan kebakaran, maka kerugian yang dialami berpuluh kali lipat dari penghematan yang dilakukan tadi. Itulah gambaran sederhana dan mudah dari mengapa, begitu seringnya terjadi kecelakaan di negeri kita ini. Tidak disiplin, terutama dalam mematuhi aturan yang berlaku, malas untuk mempelajari aturan pakai, terlalu banyak toleransi dan keinginan yang besar untuk berhemat yang salah alamat.
Ada satu lagi yang juga menjadi penyakit kita, berkait juga dengan penghematan, yaitu kalau mau melanggar atau sudah melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah “penyelesaian secara adat”. Mobil tidak ada kaca spion, nggak apa-apa lah, nanti kalau tertangkap, ya selesaikan secara adat saja. Lebih murah dari pada beli kaca spion. Indonesia memang banyak dikenal sebagai Negara yang sangat akrab dengan “penyelesaian secara adat” nya.
Demikianlah, dapat dengan mudah dicerna kiranya, mengapa kecelakaan pesawat terbang di negeri ini menjadi seperti arisan saja layaknya. Pesawat terbang, adalah produk berteknologi tinggi. Produk berteknologi tinggi menuntut penerapan aturan yang sangat ketat. Maju nya teknologi, berbanding lurus dengan meningkatnya tuntutan akan regulasi yang harus diterapkan. Bisa dibayangkan betapa berbahaya nya, kebiasaan kita itu, bila dihadapkan dengan dunia penerbangan. Itulah yang sekarang ini tengah kita hadapi bersama. Sangat memprihatinkan. FAA dan ICAO men “down grade” otoritas penerbangan RI ke kategori 2 dan UE mem “ban” maskapai penerbangan RI. Lengkaplah sudah penderitaan ini.
Ayo bangun Indonesia ! Apa bisa ? Pasti bisa, soalnya hanya pada mau atau tidak?