Beberapa tahun belakangan ini, kita semua disuguhi performa akrobat politik dari para politisi. Hampir setiap hari yang ada dipentas nasional adalah sesuatu yang khas yaitu perdebatan tiada akhir antara para politisi dan terbengkalainya pekerjaan-pekerjaan yang berkait dengan kepentingan utama masyarakat luas.
Masalah-masalah yang muncul kepermukaan tidak pernah terlihat dapat sampai pada solusi yang memuaskan. Mulai dari kasus Century, Mafia pajak, Rencana pembangunan gedung baru DPR dan lain-lain dan lain-lain. Jalannya kegiatan pembangunan nasional tidak terlihat ada sesuatu yang baru, sementara negara-negara tetangga terus meningkat kemampuannya disegala bidang.
Namun bila disebutkan Singapura dan Malaysia bisa tertib dan teratur serta maju, maka serta merta akan dijawab dengan ah …itu kan negara kecil, gampang ngaturnya. Tidak disadari, bahwa semua yang besar-besar itu sebenarnya adalah terdiri dari yang kecil-kecil. Apa sih yang kecil di Indonesia yang sudah bisa diatur dengan baik? Lihat saja contoh seperti halte Bus, Terminal Bus, Stasiun Kereta APi, Bandar Udara dan lain sebagainya. Bukankah itu semua jauh lebih kecil dari negara Singapura en toh kita nggak bisa bikin itu menjadi teratur. Sekedar contoh sederhana bahwa ketertiban dan keteraturan tidaklah semata dapat diukur hanya dengan mengatakan bahwa itu “kecil” !? Masalahnya adalah ada kemauan atau tidak, mungkin lebih tepat ada tanggung jawab atau tidak?
Rangkaian upacara seremonial berjalan lancar penuh dengan kemegahan, sementara ruang-ruang waktu lainnya yang tersedia senantiasa dipenuhi dengan perdebatan yang tidak lebih dari debat kusir, karena memang tidak pernah terlihat hasil atau manfaat yang kemudian dapat dinikmati oleh orang banyak. “Talk show” adalah merupakan salah satu dari capaian yang “membanggakan” ditengah kondisi yang amburadul ini, dia telah menjadi etalase dari refleksi kesibukan para elit.
Paralel dengan itu kemacetan jalan-jalan raya serta tingkat disiplin para pengguna jalan semakin hari semakin meningkat. Semakin meningkat dalam arti semakin amburadul tanpa ada tanda-tanda akan ditangani oleh mereka yang berwenang. Kesemua itu kemudian menjadi jadwal tetap sehari-hari yang secara tidak sadar telah membina banyak pihak untuk mencontohnya. Semakin banyak orang-orang yang muncul sebagai “jago silat lidah”. Semua pandai berbicara yang dapat saja membuat orang lain terkagum-kagum. Namun sayangnya, mereka itu hanya sampai dibatas omong doang tanpa solusi, apalagi hasil? Sekali lagi itulah tontonan harian yang, sekali lagi telah secara tidak disadari mempengaruhi begitu banyak orang dan juga banyak pihak.
Kehebatan, kini telah bergeser menjadi sesuatu yang “harus tampil” mampu berdebat (walau dengan berbohong sekalipun) dimuka umum untuk hal-hal yang dianggap “penting” sekali, sedangkan upaya meningkatkan mutu dari implementasi dibidang apapun menjadi tidak begitu penting lagi, EGP. Yang kemudian memprihatinkan adalah, fenomena tersebut telah pula merambah masuk ke menara gading perguruan tinggi. Apakah ini dapat dikatakan sebagai suatu keberhasilan para politisi dalam membina para akademisi, para kaum cerdik pandai yang bermukim di gua garba pengetahuan. Walahualam, akan tetapi coba simak sebuah tulisan tentang Universitas Indonesia dari salah seorang “lulusan”Universitas kebanggaan bangsa Indonesia, berikut ini :
MALUNYA JADI ANAK UI, SEKARANG!
(Oleh:Tito Sulistio)
Tidak pernah saya semalu ini menjadi bagian dari lulusan Universitas Indonesia. Salah satu Universitas paling tua, yang pernah jadi universitas idaman terbaik, yang pernah menjadi panutan, yang pernah menjadi lokomotif pemikiran pembangunan, bahkan yang gerakan serta teriakannya pernah menjadi arah utama perubahan pemerintahan di Republik ini.
Jika dulu teman, lingkungan serta masyarakat selalu ingin tahu “ UI mau berbuat apa, UI tolong berbicara dong, mengagungkan para alumni yang memimpin di pemerintahan, bahkan selalu bertanya bagaimana caranya masuk menjadi mahasiswa UI!”. Maka akhir akhir ini yang timbul adalah pertanyaan, ko UI melempem ya sekarang, ko rankingnya turun ya, ko lulusannya manja manja ya, ko wali amanat nya dipimpin oleh konglemerat itu ya (diturunkan lagi), ko UI dekannya ngegerutu gak punya dana ya, bahkan terakhir ko Ui berantem terus didalam ya…. Ko UI sekarang gitu ya….. MasyaAllah!!
Sebagai warga Negara, banyak masyarakat sudah merasa cape bahkan muak melihat para pimpinan berdebat, berkelahi karena merasa dirinya paling benar, paling tahu, paling pintar, paling pantas memimpin dan menjabat. Akhir dari Ramadhan kemarin bahkan para tokoh agama mempertontonkan egoisme serta kesombongannya , berdebat didepat media dipimpin mentri agama mencoba memaksakan pendapat tentang hal yang sebenarnya hanya Allah yang tau.
Sebagai lulusan UI, kembali para alumni akan disuguhi tontonan perdebatan tidak perlu antar para seniornya. Bahkan sepertinya akan terjadi perang “Bubat” antara para guru besar ,yang seharusnya menjadi panutan, dengan pimpinan Universitas, sang rektor, yang seharusnya beraksi menjadi pemimpin yang arif.
Banyak lulusan yang tidak tau apa yang terjadi, bahkan tidak peduli apa yang sang rektor anugrahkan ke Raja Arab itu. Pemberian itu mungkin saja memalukan, tapi yang lebih memalukan adalah tontonan murahan yang akan terjadi jika para guru besar senior yang terhormat itu nantinya bertengkar secara terbuka dengan para pimpinan universitas (rektor juga punya pendukung). Semua nanti akan menunjukan dirinya yang paling benar, paling harus didengar. Pertengkaran mana nantinya akan dipertontonkan secara terbuka kemasyarakat luas. MEMALUKAN!!
Apapun argumentasinya, pertengkaran para dewa itu akan berbau politis, yang mengarah kepada kekuasaan. Perang “Bubat” ini akan membuat UI jalan ditempat, bahkan mundur jauh kebelakang. Sedih mendengarnya bagaimana satu perusahaan konsumer besar bahkan menurut berita, “Erasmus”, hanya mau bekerja sama dengan Universitas Gajahmada, yang dianggap lebih membumi, dan benar benar research university, bukan dengan UI yang dianggap sudah bermain politik. Kenapa Ui harus berantem dan bukan berpikir jauh kedepan. Coba tolong pikirkan juga para mahasiswa yang akan lulus nantinya. Pasti saja para tokoh pintar itu, entah senior atau rektor akan bergumen “ saya juga lakukan ini untuk mahasiswa!”, tapi coba lah instropeksi.
Ada dua hal menarik lagi,
Pertama , kenapa ya para sangat senior itu masih ikut campur. Mungkin mereka belum mau pensiun, kalau begitu.. Udah Dong!, tapi mungkin juga ini terjadi karena generasi selanjutnya terlalu apatis?!, lalu kemana Iluni Pusat, ko tidur?
Kedua, jika mau demo, katanya meletakan batu (?), sebagai Universitas Indonesia, yang besar ini, lebih baik para guru besar lempar batu depan Mendiknas protes mengenai biaya pendidikan yang kurang dan kualitas pendidikan yang kalah dengan Negara tetangga, letakan batu depan gedung parlemen kejar hasil pengawasan dan kerja pembuatan UU mereka, tendang batu depan departemen sosial tanyakan kenapa tidak ada hasil pembinaan terhadap para jompo dan anak jalanan, timpuk batu ke departemen pariwisata tanyakan kenapa narik turis 10 juta aja ko gak bisa, bawa batu ke Gubernur Jakarta protes mengenai kemacetan, bawa batu yang banyak depan istana (kalau berani) tanyakan kenapa Negara ini dijalankan tanpa rencana yang strategis komprehensif, kenapa menunjuk mentri yang tidak kompeten, bahkan bawa batu yang paling besar kedepan kantor para staf pembantu khusus serta penasihat Presiden, pertanyakan ko gak berani kasih masukan yang bisa didengar!
Para Senior, Ikatan alumni, senat guru besar, Dekan, teman teman dan juga bapak Rektor serta pendukungnya, jangan dong UI ini berkelahi , depan umum lagi soal kecil gini. UDAH DONG!!.
Mari bersatu, seperti lagunya Chandra Darusman..
Bersatulah Semua, Seperti Dahulu, Lihatlah Kemuka, Keinginan Luhur kan Tercapai…Semua!
Nah, kalau amburadulnya negeri ini sudah berhasil masuk ke KAMPUS Perguruan tinggi kenamaan sekelas UI, lalu pertanyaannya adalah : “akan kemana kita pergi?” Kreativitas para elit (yang hanya berada dalam konteks interest pribadi/golongan) memang sudah mencapai tingkat yang sangat canggih.
Kiranya betul juga apa yang pernah dikatakan oleh Ashley Montagu, seorang ahli Antropologi berkebangsaan Inggris bahwa : “Science has proof without any certainty, but Creationists have certainty without any proof”.
Jakarta 4 September 2011
Chappy Hakim
1 Comment
Bpk CH yth, sbg alumni ui sy ikut prihatin. Ttg kedigdayaan politik di era sekarang pernah sy usulkan pd suatu forum yg cukup representatif (pd th 2007) utk scr sistematis pemikiran politik dikendalikan dan diselaraskan dg memacu pemikiran ekonomi dan budaya. Kenyataan belum tjd hingga sekarang. Wallahualam.