Entah secara kebetulan, akan tetapi saat landing di International Airport Changi, siang hari itu, melihat begitu banyak pesawat terbang yang berseliweran saya tidak melihat satu pun pesawat kebanggaan saya “Garuda” Indonesia.
Padahal ,Garuda Indonesia Airways ditahun 1968-1984, dibawah kepemimpinan Wiweko berhasil menguasai tidak hanya pasar domestik akan tetapi juga pasar regional. Disisi lain sang merah putih juga dibawa oleh si Garuda dengan gagahnya ke Eropa dan bahkan Amerika.
Ketika memimpin Garuda, Wiweko menjadikan “flag carrier” itu menjadi “airlines” kedua terbesar di belahan bumi Selatan, setelah Japan Air Lines, dengan 79 armada jet. Armada Garuda bahkan lebih besar dari yang dimiliki oleh banyak negara Eropa pada waktu itu. Swiss Air yang beken saat itu misalnya, konon hanya memiliki 55 buah pesawat.
Kini kita harus mengelus dada, disamping penerbangan nasional Indonesia saat ini masih nongkrong di kategori 2 (penilaian FAA, Federal Aviation Administration, sebagai akibat dari hasil audit/temuan ICAO, International Civil Aviation Organization), Indonesia pun masih di Ban oleh Uni Eropa. Benar sekali, beberapa waktu yang lalu, sudah di “release” empat airlines kita termasuk Garuda, namun tetap saja Garuda masih belum menjalani rute Eropa tersebut. Kurang jelas mengapa
Kenyataannya, saat ini Garuda di pasar domestik saja sudah kalah populer dan wibawa dari beberapa airlines domestik pendatang baru. Hal ini terlihat terutama sekali dari agresifitas pasukan “marketing” nya. Bila hanya berbicara tentang jumlah pesawat dan faktor “pesawat terbaru”, saat ini Garuda tengah dalam proses ditinggalkan oleh domestik airline lainnya, sang “new comer”.
Pesimis? Belum perlu ! dari segi kualitas, walaupun masih harus melakukan penyempurnaan disana sini, saya berani memastikan bahwa “Garuda” masih nomor 1 ! Disisi lain potensi untuk dapat berkembang cepat, masih dimiliki oleh Garuda. Bayangkan, subsidi dari pemerintah (yang tidak dapat dinikmati oleh airline lainnya), sampai dengan saat ini sudah mencapai triliunan rupiah, dan mungkin masih akan juga mengalir dalam berbagai bentuk. Kalau kita mencermati lebih dalam, maka strategi pemasaran untuk Garuda banyak sekali kemudahan yang bisa diperoleh. Sebagai BUMN, tentu saja Garuda memiliki kans yang sangat mudah memperoleh “penumpang tetap” setiap tahunnya. Bayangkan, berapa banyak pegawai negeri, TNI/Polri, yang bisa digiring untuk “harus” menggunakan Garuda dalam perjalanan dinasnya. Belum lagi para pegawai dari perusahaan mitra pemerintah yang dapat di ajak meningkatkan “market” Garuda? Masih banyak lagi kemudahan-kemudahan Garuda untuk dapat dikembangkan. Secara organisatoris, Garuda adalah “airlines” yang sudah “super” mapan, sehingga lebih mudah untuk digiring menuju peningkatan kualitas sebagai perusahaan termasuk budaya “safety” yang dimilikinya, dan selama ini masih menjadi unggulannya. Demikian pula, tingkat kepatuhan terhadap aturan yang berlaku, Garuda masih jauh berada diatas domestik airlines manapun ! Tinggal, ada kemauan yang keras atau tidak?
Garuda, memang tengah menanti jajaran kepemimpinan yang sanggup membawa Garuda menuju kejayaannya yang kedua. Sekarang adalah momentum yang sangat tepat untuk mengerjakan semua itu. Tentunya , “the right man” yang harus duduk dipimpinan Garuda, seorang yang harus sudah menghayati dunia penerbangan dengan mendalam serta memiliki kepemimpinan yang menjanjikan untuk mengelola “the flag carrier” kebanggaan kita bersama. Kita menunggu seorang yang sekelas dengan Wiweko untuk membawa Garuda menuju angkasa kejayaan bangsa ! semoga !
Singapura, 29 Oktober 2009
4 Comments
Jangankan bersaing dengan maskapai asing nampaknya Garuda sudah mulai terseok seok mengahadapi maskapi dlm negeri
Sedih ya, masak Garuda kalah sama Lion Air !?
untuk kembali menuju kejayaan GIA, rubah kebijakan management nya. hasil temuan audit dari FAA / ICAO seharusnya di anggap sebagai masukkan positif. terutama dalam aspek prosedur keselamatan penumpang (K3 penumpang)
Harus ada kemauan yang keras dari pemerintah dalam masalah ini, baru bisa sukses !