Ayah saya bersaudara tiga orang , semuanya lelaki. Ayah saya anak sulung dan dua adiknya, di saat itu tahun 1950-an berdomisili di Palembang. Kedua adik ayah saya itu sesekali berkunjung ke Jakarta untuk sekedar menengok keluarga kakak sulungnya. Adik ayah saya yang langsung, berarti anak kedua, biasa kami panggil dengan sebutan Mangcik, sedangkan adik bungsu dari ayah saya, panggilannya adalah Uju.
Perjalanan dikala itu, biasanya ditempuh menggunakan Kereta Api yang berangkat dari Kertapati melalui Prabumulih, terus ke Baturaja, Tanjung Karang hingga ke Panjang. Kemudian menyeberang dengan kapal Ferry dari Panjang (sekarang tidak lagi dari Panjang, akan tetapi dari Bakauheni) ke Merak. Perjalanan ferry menyeberangi selat sunda memakan waktu lebih kurang enam hingga tujuh jam. Apabila tidak salah, pada waktu itu ferry tersebut adalah ferry yang dikelola oleh PT Pelni. Kereta Api dari pelabuhan Merak menuju Jakarta adalah Kereta Api yang akan berhenti nantinya di Stasiun Kereta Api Tanah Abang. Perjalanan keseluruhan akan memakan waktu lebih kurang selama dua puluh empat jam. Satu diantaranya, bila berangkat jam 9 malam hari dari Kertapati maka akan tiba di Stasiun Tanah Abang selepas Maghrib.
Seperti biasa, bila kedua adik ayah saya itu berkunjung ke Jakarta, maka oleh-oleh yang selalu dibawa serta adalah empek-empek khas Palembang. Kami semua merasa senang dan selalu berebutan untuk mencicipi empek-empek, oleh-oleh dari Palembang. Selain empek-empek, maka barang bawaan lainnya yang sering juga dibawa oleh Mangcik dan Uju bila datang ke Jakarta adalah Nanas. Buah Nanas ini, besar-besar dan sangat manis rasanya. Saya masih ingat, kala itu , bila ibu saya mengupas Nanas , selesai dikupas kemudian Nanas tersebut dicuci dengan garam. Ibu saya katakan supaya tidak gatal bila dimakan. Selain dimakan mentah-mentah, Nanas tersebut kerap dipakai oleh ibu untuk membuat sambal Nanas. Caranya sangat mudah, yaitu buat sambal yang kemudian di ulek bersama Nanas yang sudah dipotong kecil-kecil. Biasanya, dimakan bersama dengan nasi putih yang masih panas, sayur asam dan secuil daging goreng. Waktu itu harga daging cukup mahal, sehingga potongan daging goreng yang biasa disediakan ibu saya di meja makan, irisannya kecil sekali dibandingkan dengan potongan daging goreng masa kini.
Mangcik, relatif agak jarang berkunjung ke Jakarta, tetapi Uju termasuk agak sering ke Jakarta berkait dengan urusan bisnisnya. Tidak selalu, akan tetapi sesekali Uju datang ke Jakarta naik pesawat terbang Garuda, dari Palembang ke Jakarta. Tentu saja, dibanding dengan perjalanan menggunakan Kereta Api, perjalanan menggunakan pesawat terbang pasti jauh lebih singkat. Dijaman itu, di tahun 1950-an, pesawat yang digunakan Garuda adalah pesawat DC-3 Dakota. Pesawat terbang bermesin ganda yang paling sukses di era tahun 1940-an hingga tahun 1970-an. Dakota konon adalah jenis pesawat terbang yang paling banyak diproduksi, karena dianggap sebagai pesawat yang paling berhasil dan paling banyak digunakan di jamannya. Bentuknya yang khas, yaitu pesawat terbang dengan dua roda dikiri-kanan bawah sayapnya serta satu roda kecil dibagian ekor pesawat. Berbeda sekali dengan pesawat-pesawat modern produk sesudahnya yaitu selalu menggunakan roda di hidung, tidak di ekor. Bentuk Khas tersebut, terbangun karena menggunakan rodak ekor, maka “tongkrongan” pesawat saat berada di darat, terlihat sudah mendongak, seakan sudah siap terbang. Terlihat gagah sekali. Uju, dengan urusan bisnis nya, relatif sering ke Jakarta, namun tidak selalu menggunakan pesawat terbang. Di Jakarta pun Uju jarang berlama-lama, biasanya hanya satu atau dua hari kemudian kembali ke Palembang.
Dengan perjalanan yang cukup jauh dan tentu saja dengan urusan yang cukup banyak, Uju tidak pernah absen membawa empek-empek dari Palembang. Favorit kami semua adalah tentu saja empek-empek telor yang di Palembang dikenal dengan nama empek-empek Kapal Selam. Mengapa disebut demikian, kemungkinan adalah, karena bentuknya yang menyerupai bentuk Kapal Selam. Dari berbagai jenis empek-empek, maka empek-empek Kapal Selam lah yang paling Top ! Aneh kedengerannya memang. Orang Palembang penggemar makan Kapal Selam, tentu saja maksudnya adalah empek-empek Kapal Selam. Bila berbicara tentang nama makanan yang agak aneh, maka di Palembang ada beberapa makanan lezat yang namanya aneh. Tentu saja aneh, bagi orang-orang yang jarang mendengarnya. Sebut saja, di Palembang ada beberapa makanan dengan antara lain ,Kapal Selam, ada Tekwan, Lenggang, Lenjeran, Adaan dan lain-lain.
Bila perjalanan menggunakan pesawat terbang, maka perjalanan akan dimulai dari pelabuhan Udara Talang Betutu. Pelabuhan udara yang dibangun pada masa pendudukan Jepang di sekitar tahun 1940-an. Di awalnya lapangan terbang ini lebih di utamakan untuk keperluan penerbangan militer satuan tentara Jepang. Entah sejak kapan , tetapi secara berangsur lapangan terbang ini berkembang menjadi fasilitas pelabuhan udara bersama sipil dengan militer. Perkembangan selanjutnya adalah, pada tahun 1970-an pelabuhan udara tersebut diresmikan menjadi Pelabuhan Udara Talang Betutu. Demikian seterusnya, dan pada tanggal 3 April tahun 1985 hingga sekarang pelabuhan udara tersebut dikenal dengan nama Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Sejak tahun 2005, bandara ini sudah berhasil meningkatkan statusnya menjadi Bandara Internasional dan mampu untuk didarati pesawat berbadan lebar sekelas Airbus – 330 dan Boeing B-747. Kini, konon kabarnya, Gedung Terminal di Bandara Sutan Mahmud Badaruddin II telah menjadi atau merupakan salah satu terminal dari bandar udara yang paling bersih dan modern di Indonesia.
Kembali kepada perjalanan Uju dari Palembang di era tahun 1950-an tersebut, menuju Jakarta, pesawat terbang akan mendarat di pelabuhan udara Kemayoran. Jakarta saat itu hanya memiliki satu saja pelabuhan udara sipil, yaitu yang terletak di Kemayoran. Jarak dari Kemayoran ke rumah kami di Jalan Segara IV, tidaklah begitu jauh dan kondisi lalu-lintas masih relatif sepi. Nah, begitulah, ada sesuatu yang agak sedikit istimewa dari perjalanan Uju dari Talang Betutu Palembang ke Kemayoran Jakarta hingga mencapai rumah di Jalan Segara IV. Sedikit istimewa, karena ternyata kapal selam yang dibawa Uju dari Palembang, sesampai di rumah ternyata masih terasa hangat. Terpesona dan kagum sekali saya dibuatnya. Tidak terbayang sama sekali tentang kecepatan alat angkut yang bernama kapal terbang itu. Lebih-lebih dan tentu saja bila dibandingkan dengan perjalanan yang sangat lama ditempuh, dengan menggunakan kereta api dan kapal ferry menyeberang selat sunda. Satu perbedaan yang menjadi sangat jauh sekali.
Kekaguman sebagai layaknya kekaguman yang dimiliki seorang anak kecil terhadap oleh-oleh dari Palembang berupa Kapal Selam yang masih hangat ini, kemudian menambah besar keinginan untuk bisa menjadi Pilot. Motivasi dapat meraih impian dari seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa untuk menjadi Pilot tambah berkobar-kobar. Berkobar-kobar berkat Kapal Selam yang masih hangat !
Jakarta 3 Januari 2011
Chappy Hakim