Kepentingan Strategis atau Kekeliruan Nasional?
Pendahuluan
Pada Januari 2022, Pemerintah Republik Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama dengan Republik Singapura yang salah satu poin utamanya adalah penyerahan wewenang pengelolaan ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna—mulai dari permukaan laut (0 feet) hingga ketinggian 37.000 kaki—kepada otoritas penerbangan sipil Singapura. Perjanjian ini berlaku selama 25 tahun dan bahkan disepakati akan diperpanjang. Keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan kontroversi, khususnya karena bertentangan dengan semangat dan substansi hukum nasional, serta dianggap menciderai kedaulatan negara.
Makalah ini bertujuan untuk mengulas secara kritis latar belakang, argumentasi hukum, serta dimensi strategis dari perjanjian tersebut. Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab adalah: mengapa Indonesia menyerahkan kembali pengelolaan wilayah udaranya yang sangat strategis itu kepada negara lain, padahal telah memiliki kapasitas teknis yang diakui secara internasional? Catatan tambahan bahwa di wilayah tersebut adalah merupakan wilayah paling banyak terjadi penerbangan liar tidak berijin yang terrekam dalam data deteksi radar pertahanan udara Republik Indonesia puluhan tahun sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Landasan Hukum dan Konstitusionalitas
Penyerahan kewenangan pengelolaan wilayah udara RI kepada negara lain secara prinsip bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya Pasal 458 yang menyatakan bahwa wilayah udara Republik Indonesia harus dikelola secara mandiri oleh negara. Dalam hal tertentu, jika terdapat alasan teknis, pengelolaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain, namun harus bersifat sementara dan berdasarkan kepentingan nasional yang jelas dan pasti tidak akan sampai pada angka 25 tahun yang sangat tidak masuk akal.
Dengan durasi 25 tahun dan opsi perpanjangan, kerja sama dengan Singapura tidak dapat dianggap sebagai solusi sementara. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang dasar hukum dari perjanjian tersebut, serta proses pembentukannya yang tampaknya tidak melibatkan persetujuan legislatif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Kapasitas Pengelolaan Udara Indonesia dan Fakta ICAO
Hasil audit ICAO melalui program Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) menunjukkan bahwa pada tahun 2021, Indonesia mencatat skor Effective Implementation (EI) sebesar 81,15%, di atas rata-rata global sebesar 69,95%. Ini berarti Indonesia telah memenuhi standar keselamatan dan pengelolaan wilayah udara secara memadai, dan tidak ada alasan teknis yang sah untuk terus bergantung kepada otoritas Singapura dalam pengelolaan wilayah udara diatas teritori RI.
Dengan demikian, alasan “ketidakmampuan teknis” Indonesia yang sering dijadikan dasar pengelolaan wilayah udara RI oleh Singapura menjadi tidak relevan lagi. Sejak 2016, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan, AirNav Indonesia, dan TNI AU telah melakukan berbagai upaya peningkatan kapasitas, baik dalam bentuk modernisasi peralatan maupun pelatihan SDM pengendali lalu lintas udara.
Kepentingan Strategis dan Bahaya Jangka Panjang
Dalam konteks geopolitik, penguasaan atas wilayah udara nasional memiliki arti strategis yang jauh melampaui fungsi navigasi penerbangan sipil. Hal itu mencakup hak pengaturan lalu lintas udara, namun secara de facto juga menyentuh aspek pengawasan militer, pengendalian logistik nasional, dan pengawasan atas aktivitas asing di kawasan yang sensitif seperti Laut Natuna Utara.
Penting untuk dicatat bahwa wilayah udara yang dikelola Singapura mencakup jalur penerbangan komersial yang potensial serta area sumber daya alam yang kaya. Dengan menyerahkan kendali wilayah udara tersebut kepada Singapura, Indonesia secara tidak langsung menyerahkan sebagian hak untuk mengontrol aktivitas penerbangan di atas wilayahnya sendiri. Ini menciptakan celah keamanan dan ketergantungan struktural jangka panjang.
Perbandingan dengan Malaysia dan Negara Lain

Sebagai pembanding, Malaysia tidak pernah menyerahkan pengelolaan wilayah udara-nya kepada negara lain, meskipun menghadapi kepadatan lalu lintas udara yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kepulauan Riau. Bahkan, Malaysia mempertahankan kontrol penuh atas wilayah udaranya dan terus membangun sistem pengelolaan navigasi udara secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa negara yang memiliki kemauan politik yang kuat dan strategi pembangunan jangka panjang serta martabat yang tinggi dapat mempertahankan kedaulatannya secara utuh.
Kurangnya Transparansi dan Partisipasi Publik
Salah satu aspek yang paling disoroti dari perjanjian ini adalah kurangnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembentukannya. Tidak ada diskusi terbuka di parlemen, tidak tampak pelibatan lembaga pertahanan lainnya, maupun konsultasi dengan masyarakat sipil dan pakar kedirgantaraan. Dalam sistem demokrasi, perjanjian internasional yang menyangkut kedaulatan wilayah seharusnya dibahas secara terbuka, disetujui oleh DPR, dan dikaji oleh pakar multidisipliner dari kalangan Civil Society.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penyerahan kembali pengelolaan wilayah udara strategis/kritis kepada Singapura merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan nasional, hukum nasional, dan logika strategis pertahanan udara. Dengan kemampuan teknis yang sudah memadai, Indonesia semestinya mengelola wilayah udaranya sendiri tanpa ketergantungan struktural pada negara lain.
Oleh karena itu, makalah ini merekomendasikan:
- Evaluasi menyeluruh terhadap perjanjian tersebut oleh DPR RI dan lembaga audit strategis.
- Peninjauan ulang terhadap dasar hukum perjanjian dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi bila perlu.
- Peningkatan kapasitas pengelolaan wilayah udara secara nasional oleh AirNav dan TNI AU.
- Strategi diplomatik untuk renegosiasi perjanjian berdasarkan data terbaru dari ICAO dan pertimbangan keamanan nasional.
Indonesia tidak boleh membiarkan kedaulatan udaranya ditentukan oleh narasi teknis yang usang. Kemandirian dan kehormatan negara harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan udara dan pertahanan nasional.
Daftar Pustaka
Chappy Hakim. (2014). Tanah Air dan Udara: Refleksi Kedaulatan Dirgantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
International Civil Aviation Organization (ICAO). (2021). USOAP Effective Implementation Score by Country. Diakses dari https://www.icao.int/safety/Pages/USOAP-Results.aspx
Kementerian Luar Negeri RI. (2022). Penjelasan Tentang FIR dan Kerja Sama Bilateral Indonesia–Singapura.
Kementerian Perhubungan RI. (2022). Pernyataan Resmi Mengenai Pengelolaan FIR Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 11.
Ministry of Transport Singapore & Kementerian Perhubungan RI. (2022). Joint Statement on FIR Agreement.