Lebih kurang satu bulan yang lalu, saya diminta oleh Jenderal Endriartono untuk menyiapkan bahan ringkas, catatan tentang kiprah beliau berkenaan dengan rencana kelompok “modernisator” menobatkannya menjadi “pahlawan masa kini”.
Tidak berpikir panjang lagi, saya mengatakan segera akan disiapkan. Catatan tentang kiprah beliau yang patut dicatat dalam perjalanan baktinya untuk Indonesia tentu banyak sekali. Akan tetapi yang tertanam di memori kepala saya adalah dua hal, karena memang saya berada didalamnya pada proses tersebut dan yang kedua adalah karena menyangkut kebanggaan korps dalam hal ini Angkatan Udara.
Sayangnya, catatan ringkas yang telah saya siapkan itu, yang sedianya akan diperlukan untuk melengkapi bahan yang telah ada di panitia, ternyata sampai dengan saat ini tidak pernah kunjung diminta oleh panitia.
Saya mengenal Jenderal TNI Endriartono Soetarto, pada awal tahun 1968 di Magelang. “Tono” demikian cara saya memanggil, karena nama beliau adalah Endriartono, sedangkan Soetarto adalah nama Ayah beliau, seorang perwira tinggi Angkatan Darat , perintis berdirinya Lembaga Psikologi Angkatan Darat. Tono pada saat itu sama dengan saya berpangkat paling rendah di dunia yaitu “Calon Prajurit Taruna”, dikenal dengan sebutan Capratar. Beliau mengikuti pendidikan di Akabri Darat sementara saya di Akabri Udara. Selama satu tahun para Capratar dari Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian menempuh kegiatan akademi terintegrasi di Magelang. Tahun kedua, ketiga dan keempat ditempuh di tempat masing-masing, yaitu Darat di Megelang, Laut di Surabaya, Udara di Jogyakarta dan Polisi di Sukabumi waktu itu, sekarang di Semarang.
Walaupun teman-teman dekat nya, termasuk keluarga dan ibu nya memanggil Tono, akan tetapi beliau lebih dikenal dengan nama Jenderal Soetarto. Ceritanya, pada waktu beliau menjabat sebagai Panglima TNI, jajaran pimpinan TNI saat itu mempunyai nama-nama yang agak sedikit “complicated”. Mari kita periksa satu persatu .
Panglima TNI Jenderal Endriartono Soetarto. Seluruh jajaran TNI menjadi ragu karena sulit untuk menyebut Endriartono, takut salah, (biasa, pada umumnya kan cenderung ABS), jadi untuk mudahnya mereka menyebutnya dengan Jenderal Soetarto, aman, pasti tidak keliru. Itu sebabnya, kemudian beliau lebih dikenal dengan nama Jenderal Soetarto atau Pak Tarto. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu, waduh ini susah banget ! Jadilah beliau sering disebut , cukup dengan Jenderal Mizard atau Pak Mizard saja. Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Bernard Kent Sondakh, ini kayak orang luar negeri, tetapi untung ada nama Sondakh dibelakangnya.
Banyak yang kemudian ingat dengan penyanyi “si Gembala Sapi” yaitu Mien Sondakh yang terkenal di tahun 1950 – 1960 an. Beliau dikenal dengan Laksamana Kent, atau Pak Kent. Kepala Staf Angkatan Udara, Marsekal Chappy Hakim, tidak kurang sulit nya, sehingga orang main gampang saja, dengan menyebut Marsekal “Cepi” atau Pak Cepi atau ada juga yang menyebutnya dengan pak “CH”. Biasa, kalau dipermukaan, semua staf dan anak buah akan sangat correct, akan tetapi dibelakang layar, diam-diam banyak juga yang mengolok-olok sebutan nama-nama “bos”nya ini. Semuanya : “susah” ! bayangkan Endriartono Soetarto, Ryamizard Ryacudu,Bernard Kent Sondakh dan Chappy Hakim. Bandingkan dengan generasi penerusnya, yang sangat “simple” karena hanya terdiri dari Jenderal,Laksamana dan Marsekal yang Bambang dan Djoko saja.
Kembali kepada 2 hal penting yang menorehkan sejarah dari bagaimana beliau mengambil kebijaksanaan yang sangat Strategis nilai nya bagi kehormatan TNI dan juga tentang kekompakkan TNI. Yang pertama adalah, keputusan beliau yang sangat tegas dalam memerintahkan TNI keluar dari DPR, walaupun nuansa politik nya pada waktu itu ada keleluasaan untuk tetap nongkrong sampai dengan tahun 2009. Beliau dengan sangat tegas, memutuskan TNI keluar dari DPR tahun 2004.
Yang kedua adalah, bagaimana beliau mengambil keputusan untuk meletakkan harkat dan peringkat Angkatan untuk berada didalam garis kesetaraan yang murni. Angkatan Darat, Laut dan Udara adalah sejajar dan seiring dalam segala hal.
Nuansa salah satu Angkatan lebih dominan telah dapat dinetralisir oleh beliau dengan sangat sistimatis, jelas dan tegas. Jabatan-jabatan tertentu yang tadinya hanya bisa diduduki oleh personil salah satu angkatan saja, dirombak dengan menyeimbangkan posisi jabatan sesuai dengan performance perwira TNI secara adil. Beliau sebagai Perwira Tinggi Angkatan Darat, sangat menghargai kedudukan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Beliau memahami dan menghayati sekali konsep yang mengatakan bahwa bila anda menghargai orang lain maka pada dasarnya itu adalah merupakan ujud dari menghargai diri sendiri. Pada era kepemimpinan beliau lah, maka ada perwira Angkatan Udara yang ditugaskan menjadi Asisten Logistik dijajaran Mabes TNI, ada Kasum TNI yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijabat oleh Perwira Angkatan Udara, ditugaskan kembali oleh beliau.
Demikian pula jabatan Sekjen Dephan, yang sepanjang sejarah belum pernah ditugaskan kepada Angkatan Udara, pada waktu itu diberikan kepada Angkatan Udara. Disisi lain, jabatan bintang tiga dijajaran Mabes TNI yang diwaktu-waktu terdahulu hanya di dominasi oleh satu Angkatan saja, di restrukturisasi menjadi hanya tiga posisi, dan harus dijabat masing-masing oleh Angkatan Darat, Laut dan Udara. Azas keadilan yang mencerminkan kedewasaan pimpinan, ternyata memang berbuah lebih jauh, yaitu kekompakan antar angkatan yang menjadi mudah terbangun dan terjaga dengan baik. Puncaknya adalah, pada saat beliau turun dari kedudukan Panglima TNI, beliau dengan sangat arif menyerahkannya kepada Perwira Tinggi dari Angkatan Udara.
Panglima TNI dari Angkatan Udara, sebelumnya adalah merupakan sesuatu yang mustahil. Walaupun, jika melihat kepada letak geografis dan bentuk Negara kepulauan yang terletak di samudra luas, seperti halnya jajaran kepulauan pasifik, dimana Amerika tidak pernah menempatkan Panglima Pasifik dari Angkatan Darat, akan tetapi selalu dari Angkatan Laut dan atau Angkatan Udara.
Jenderal Endriartono Soetarto, Tono, atau Pak Tarto, memang telah menorehkan dalam sejarah Indonesia suatu ukiran dari sikap TNI yang berjiwa besar dan senantiasa menjaga kehormatannya. TNI yang solid, kompak, setara dan saling menghargai antar angkatan menuju kepada profesionalisme sejati, dengan meninggalkan arena politik yang heboh dan amburadul yang tidak sesuai dengan “nature” nya Tentara. Terakhir, saya mendengar Tono mengundurkan diri dari posisi Komisaris Utama Pertamina. Saya yakin, pasti ada sesuatu yang tidak beres, minimal sesuatu yang tidak sejalan dengan prinsip yang dianutnya. Selamat tetap bergiat dalam mengisi masa purnawira Jenderal Soetarto!
Old Soldier, not just fade away, but there is wisdom on that fading light !
Bravo !
6 Comments
Pak Chap,… saya senang memangil gaya nick name saja.
Saya orang Manado, sama dengan Admiral Kent Sondakh, Admiral Rudolph Kasenda, tapi saya punya saudara penerbang Pangalila yang meninggal di pesawat Elektra di lapangan terbang Mapanget, Manado puluhan tahun yang lalu. Sekiranya bapak punya cerita, let say oral history bolehkah saya mendapatkan cerita tersebut sekalipun hanya 1 atau 2 kata saja. Karena rasanya tidak pernah dipublikasikan siapa penerbang Pangalila yang terbakar bersama istri keduanya, yakni Elektra.
Terima kasih.
Chris Manarisip,
Terimakasih atas perhatiannya, maaf saya belum dapat keterangan tentang penerbang Pangalila, saya akan coba lacak nanti dengan teman-teman penerbang senior Garuda. Salam, CH.
Yth Pak CH,
Tulisan yg sangat menarik. Terimakasih Bapak…
Mungkin sudah saatnya yg mulia dewan meniru professionalitas ABRI. Cara sebaiknya bagaimana yaaa ?
Salam, zaenal
makasih Bung Zaenal !
Barangkali saya bisa bantu Pak Chappy dalam pelacakannya.
Almarhum Bert (E.W.A) Pangalila itu bukan penerbang, tapi seorang perwira Marinir, dengan pangkat Mayor, lulusan Akademi Angkatan Laut (1956?). Meninggal pada waktu terjadi kecelekaan pesawat GIA jenis Electra. Pada waktu dia kembali ke pesawat untuk menolong penumpang yang belum selamat, pesawat meledak dan Bert menjadi koraban. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama ksatrian utama Marinir di Karangpilang , Surabaya. Kebetulan sewaktu dia masih SMA, kami bertetangga dengan beliau sekeluarga di Tomohon
Untuk Chris, salam kenal dari Yoost Mengko
Makasih banyak Pak Yoost, saya sudah tanya beberapa teman di GAruda tetapi memang belum mendapat penjelasan lebih jauh. Sekali lagi Thanks A LoT Pak ! Salam.