Sebagai orang yang lahir di Jogjakarta, saya pikir wajar saja kalo saya bangga dengan Jogjakarta yang berstatus “istimewa”. Dengan demikian, paling tidak saya bisa berkata bahwa saya lahir di kota yang bukan biasa-biasa saja, tetapi di kota yang “istimewa”. Istimewa disini bagi saya pribadi mengandung makna yang lebih jauh lagi, karena saya lahir di Jogjakarta itu adalah saat Republik ini baru saja berumur 2 tahun. Saya dengan Republik ini, umurnya hanya berbeda 2 tahun saja.
Belakangan ini, status istimewa bagi kota Jogjakarta mencuat di banyak media sehubungan dengan status Sultan Jogja yang berhadapan dengan sistem pemerintahan berkait dengan pilkada. Sejatinya, saya hanya tahu dari tulisan sejarah, mengapa Jogjakarta berstatus istimewa. Peran yang besar dari Sultan Jogja waktu itu, saat menjelang kemerdekaan negara Republik Indonesia di tahun 1945, telah sangat menentukan Indonesia menjadi Negara yang Merdeka. Sikap Sultan yang didukung oleh segenap warga Jogjakarta dalam menghadapi penjajah Belanda, kiranya wajar sekali memperoleh penghargaan berupa status “Daerah Istimewa”.
Ini adalah goresan sejarah yang tidak mungkin dapat dihapus begitu saja. Penghargaan berupa status ke-istimewaan kepada Sultan Jogja saat itu beserta segenap warga Jogjakarta pasti bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh Sultan beserta kerabat dan segenap warga Jogjakarta. Heroisme Jogjakarta dalam menghadapi penjajah, lebih merupakan refleksi dari rasa nasionalisme yang melekat setiap warganya. Patriotisme Jogjakarta tidaklah menargetkan untuk sekedar memperoleh status istimewa dari satu negara yang akan terbentuk nantinya. Patriotisme dan kebanggaan sebagai warga Jogja yang ingin melihat Indonesia Merdeka dari tangan penjajah sudah sewajarnya memperoleh penghargaan yang layak. Apapun yang hendak dilakukan Pemerintah pusat terhadap status Jogjakarta, hendaknya dapat dikomunikasikan dengan baik dan dengan cara kekeluargaan, sehingga tidak akan ada seorangpun yang akan terusik dengan semua yang telah dipersembahkan kepada Ibu Pertiwi diawal kemerdekaan tahun 1945 itu.
Sangat masuk akal, bila seluruh warga Jogjakarta tidak menginginkan masalah ini mencuat menjadi hal yang dapat menyinggung perasaan keluarga besar Sultan, kerabat serta keluarga besar warga Jogjakarta yang sudah memposisikan dirinya sebagai bagian yang utuh dari Republik ini dari sejak kelahirannya. Demikian pula dengan apa yang saya rasakan dan inginkan, sebagai orang yang lahir di kota tercinta Daerah Istimewa Jogjakarta. Semoga semuanya dapat selesai dengan saling menghormati satu dengan lainnya. Insya Allah, Amin YRA.
Jakarta 15 Juni 2012
Chappy Hakim
Majalah Lider, edisi pertama Juni 2012.(halaman 15)