Semasa kanak-kanak, ibu sering mengingatkan saya bila akan terlambat dengan menggunakan istilah, “Awas, jangan sampai ketinggalan kereta.” Dalam hal ini, maksudnya adalah ketinggalan kereta api.
Sejak zaman baheula, sejak zaman VOC, sejak zaman pendudukan Belanda, sarana kereta api sebagai alat transportasi kelompok grass root terkenal dengan ketepatan waktunya.
Belakangan digunakan istilah OTP atau on time performance. Sudah sejak lama sekali, kereta api dikenal sebagai alat transportasi dengan OTP prima, selalu berangkat tepat sesuai dengan jadwal keberangkatannya.
Kemarin siang, saya pergi ke Bandung menggunakan kereta api Argo Parahyangan yang jadwal keberangkatannya pukul 1130 WIB dari Stasiun KA Gambir. Sangat mengagumkan sekali karena kereta bergerak maju tepat saat jarum panjang melintas angka 12 pada pukul 11.30 WIB.
Para penumpang yang datang terlambat dipastikan akan “ketinggalan kereta”. Sebuah terminologi yang mencerminkan ketepatan waktu keberangkatan kereta api yang tidak berubah sejak zaman Belanda.
Sejak naik gerbong KA Argo Parahyangan hingga turun di stasiun Bandung kemarin itu, dan juga ketika pulang dari Bandung ke Jakarta siang hari tadi, saya sama sekali tidak berjumpa dengan kondektur yang datang menggangu “hanya” untuk memeriksa karcis.
Ini sebuah refleksi dari tingkat manajemen dan kepemimpinan dari jajaran pengelola kereta api kita. Sementara itu, pada hari yang sama sebelumnya, Senin (13/8/2018), saya menerima banyak keluhan dari teman-teman yang berangkat menggunakan pesawat terbang–sarana transportasi yang jauh lebih modern dan berteknologi tinggi–dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Suasana bandara yang kumuh, ribet, penuh sesak, ditambah lagi setiap menit pengumuman tentang keterlambatan pesawat baik yang datang maupun yang pergi sangat bertolak belakang dengan situasi di Stasiun Gambir yang sangat terkelola dengan apik tertib dan bersih.
Sebuah airport tampil dengan wajah yang sangat terbelakang dibanding dengan stasiun kereta api sungguh sulit untuk dipercaya. Seeing is believing, silakan lihat sendiri dan Anda akan percaya.
Dari sekian banyak keterlambatan yang spektakuler di hari itu adalah salah satu penerbangan tujuan Bandung. Jadwal berangkatnya pukul 01.30 WIB dari Halim, tetapi baru bisa berangkat pada pukul 17.00 WIB. Sekali lagi unbelievable.
Masih banyak lagi hal yang sulit dipercaya terjadi belakangan ini dalam dunia penerbangan kita. Saya hanya ingin menjawab banyak pertanyaan kepada saya tentang hal tersebut dengan jawaban sederhana, yaitu bahwa kita memang belum siap menghadapi kemajuan teknologi yang sangat pesat itu. Konon belakangan ini kita mendengar bahwa semua maskapai penerbangan tengah merugi.
Bila ditelusuri, alur terbunuhnya banyak maskapai penerbangan di Tanah Air sejak tahun 2000-an minimal memperlihatkan bahwa maskapai penerbangan memang tengah “merugi”.
Disusul kemudian dengan “kebangkrutan” Merpati Nusantara Airlines (MNA) dan kabar tentang bertumpuknya utang maskapai penerbangan Garuda kebanggaan bangsa sebagai Sang Pembawa Bendera.
Satu per satu maskapai penerbangan rontok dan yang sedang beroperasi sekarang ini pun tengah merugi. Pada sisi lainnya, pesawat-pesawat terbang baru tetap berdatangan dengan konsisten sesuai jadwal proses pengadaan. Bisa dibayangkan apa yang terjadi di tengah meruginya semua maskapai penerbangan, kedatangan pesawat baru justru tetap mengalir.
Pertanyaan sederhana adalah, mau diparkir di mana pesawat-pesawat itu nanti? Kondisi ini menjelaskan kepada kita semua bahwa memang kita belum siap menghadapi kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang penerbangan.
Salah satu kunci dari kekeliruan terbesar dalam pengelolaan penerbangan di Tanah Air adalah ketidakkonsistenan kita pada regulasi, ketentuan, dan aturan yang berlaku.
Satu di antaranya yang dengan mudah dicek adalah ketaatan terhadap aturan jumlah jam terbang bagi para pilot dan “perebutan izin slot penerbangan” pada rute-rute gemuk. Contohnya pada kecelakaan pesawat terbang Air Asia rute Surabaya-Singapura di perairan laut Jawa, yang ternyata terbang tidak sesuai dengan jadwal hari yang diizinkan.
Di samping itu, tentu saja adalah tentang perencanaan strategis yang tidak pernah dibuat, terutama dalam hal menyikapi pertumbuhan penumpang yang cukup pesat. Kelebihan jumlah penerbangan di Cengkareng yang dipindahkan begitu saja ke Lanud Halim dan bahkan kemudian dikembangkan lebih banyak lagi slot penerbangan di Halim.
Kita menyaksikan pula ketertinggalan jumlah dan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur penerbangan yang sekarang ini tengah dihadapi. Bila keadaan ini terus berlangsung tanpa ada tindakan korektif yang tepat, dapat dipastikan nantinya semua maskapai penerbangan akan terkapar, kecuali maskapai yang “bermodal besar”.
Akankah kita akan menyaksikan nanti, di Indonesia hanya ada satu maskapai penerbangan yang sanggup bertahan dengan kapital besar? Hanya sang waktu yang akan mampu menjawabnya.
Yang harus diingat adalah sistem penerbangan nasional kita merupakan subsistem dari sistem penerbangan global. Bila kita dinilai tidak sanggup mengelola penerbangan kita sendiri, orang luar yang akan datang untuk “mengelolanya”. Artinya, bila maskapai penerbangan nasional gulung tikar, maskapai asing atau setengah asing akan berjaya di udara Indonesia.
Sekali lagi, penyebab utama adalah kekurangsiapan kita dalam menyongsong kemajuan teknologi di bidang penerbangan.
Kita tidak memiliki sebuah institusi yang khusus mengelola dan menangani soal-soal penerbangan yang sifatnya “lintas sektoral” sekali.