Setelah membahas tentang harga tiket yang mahal, berikut ini mari kita lihat tentang Undangan bagi Maskapai Asing ke Indonesia. Bila merujuk kepada regulasi Internasional, maka sulit untuk melaksanakan ide ini, demikian pula dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Beroperasinya maskapai penerbangan asing di dalam negeri dikenal dengan azas “cabotage”, yang dalam article 7 Konvensi Chicago 1944 sama sekali tidak sejalan. Bentuk lainnya, mungkin bisa saja menggunakan aturan tentang “kerja-sama” dengan perusahaan dalam negeri dalam format investasi kepemilikan 51 % Dalam negeri dan 49% Asing.
Bila sudah atau akan ditentukan sebagai sebuah kebijakan pemerintah dalam masalah ini, tentu saja bisa dilaksanakan kedua-duanya dengan beberapa langkah penyesuaian tentu saja. Nah untuk itu, mari kita lihat kemungkinan yang akan terjadi bila salah satu model masuknya Maskapai Penerbangan Asing ke dalam negeri jadi dilaksanakan.
Bila Azas Cabotage yang akan ditempuh, maka yang terjadi akan sangat “mengerikan”, karena Maskapai Asing yang bermodal besar akan dengan mudah menjual tiket dengan sangat murah dan dalam waktu singkat, Maskapai Dalam Negeri akan segera bangkrut. Sekedar ilustrasi sederhana saja, tanpa masuknya Maskapai Asing pun , banyak Maskapai Dalam Negeri yang sudah bangkrut termasuk MNA yang berstatus sebagai BUMN. Demikian pula dengan Maskapai Garuda yang hingga kini masih belum mampu keluar dari lilitan hutang yang cukup besar. Lebih dahsyat lagi adalah bila sebuah Maskapai Asing mampu merebut dan menguasai seluruh jejaring perhubungan udara di Indonesia yang sangat luas ini, maka pemerintah akan serta merta kehilangan “gigi” untuk mampu mengaturnya. Maskapai tersebut akan dengan sangat leluasa menuntut ini itu kepada pihak pemerintah, tanpa mampu menolak karena akan ada ancaman menghentikan operasi penerbangan jalur domestik yang dikuasainya. Tidak dapat dibayangkan apa yang kemudian terjadi dengan negeri ini. Mudah-mudahan hal tersebut tidak menjadi pilihan dalam solusi menurunkan harga tiket pesawat terbang rute domestik. Kecuali, tentu saja bila memang sudah disiapkan resep mujarab untuk mengatasi semua kemungkinan buruk yang akan dihadapi.
Model kedua adalah dengan pola investasi 51 – 49% kepemilkan Maskapai Penerbangan dengan regsitrasi pesawat menggunakan PK (milik pemerintah Indonesia). Untuk diketahui saja, bahwa tanpa di undang pun, peraturan ini sudah berlaku relatif sejak lama dan tidak ada satupun pihak Asing yang tertarik. Beberapa waktu lalu, bahkan sudah ada model investasi ini yaitu Maskapai Mandala Tiger yang hanya dalam waktu singkat kemudian “angkat kaki” tidak sanggup bertahan dalam berhadapan dengan mekanisme operasional sehari-hari di Indonesia. Tidak begitu jelas apa sebenarnya yang terjadi, akan tetapi bagi mereka yang pernah menjalankan bisnis penerbangan di Indonesia akan “sangat maklum” dengan hengkangnya Maskapai Asing yang telah mencoba bermain disini. Metoda kerja sehari-hari yang kerap di olok-olok dengan gaya “kalau bisa dipersulit kenapa harus di permudah” adalah kemungkinan salah satu saja dari hambatan yang dihadapi, Demikian pula para investor asing pasti akan sangat mengerti mengenai hal ini, antara lain dalam menghadapi peraturan yang terlalu sering berubah-rubah sehingga kerap menyulitkan mereka yang ingin berinvestasi dengan Kapital besar dan berjangka Panjang. Apalagi dengan fenomena campur tangannya pemerintah dalam menentukan harga tiket yang dijual.
Demikianlah, pilihan untuk mengundang masuk Maskapai Asing ke dalam negeri dengan tujuan menurunkan harga tiket penerbangan domestik ternyata memang masih banyak berhadapan dengan berbagai tantangan yang tidak mudah.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dalam hal ini adalah, bahwa untuk menghadapi permasalahan, kiranya janganlah dibiasakan untuk “jump to solution” , pelajarilah dulu penyebab dari akar permasalahan untuk kemudian merumuskan solusi yang tepat. InsyaAllah, akan berhasil. Amin YRA.