Topik yang sedang hangat dibicarakan banyak orang adalah tentang fenomena mahalnya harga tiket pesawat terbang dan usulan solusi mengenai undangan bagi Maskapai Asing untuk masuk ke Indonesia. Bila topik ini didiskusikan dengan berbagai pihak, maka dipastikan akan beragam pula informasi yang akan diperoleh, tergantung dari sudut pandang mana melihat persoalan ini. Salah satu yang menarik adalah sebuah pendapat bahwa naiknya harga tiket pesawat terbang sebagai gejala perkembangan ekonomi yang biasa saja. Biasa , artinya adalah harga tiket otomatis akan naik, bila berhadapan dengan harga bbm/avtur yang naik apalagi relatif bersamaan dengan naiknya kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah. Biasa dalam pengertian yang sangat masuk akal sehat, bahwa maskapai penerbangan domestik yang perolehannya dalam bentuk rupiah, sementara sebagian besar ongkos yang harus dikeluarkan, antara lain untuk bayar sewa- angsuran beli pesawat, pemeliharaan pesawat dan asuransi adalah dalam bentuk US Dollar. Sekali lagi, naiknya atau mahalnya harga tiket penerbangan domestik, adalah sebagai akibat dari naiknya harga avtur (bbm) dan kurs US Dollar.
Dengan demikian maka agak kurang tepat bila mengatakan bahwa industri pariwisata dan perhotelan menjadi lesu sebagai akibat dari mahalnya harga tiket pesawat dalam negeri. Yang tepat , harusnya dikatakan bahwa lesunya pariwisata dan perhotelan di Indonesia adalah sebagai akibat dari naiknya harga Avtur dan kurs US Dollar. Demikian pula agak kurang tepat bila dikatakan bahwa harga tiket pesawat terbang rute domestik telah menyebabkan naiknya laju inflasi dan menghambat putaran roda ekonomi nasional. Sekali lagi akan lebih fair untuk mengatakan bahwa naiknya laju inflasi dan terhambatnya putaran roda perekonomian adalah sebagai akibat dari naiknya harga Avtur dan kurs US Dollar. Lebih jauh lagi, karena Maskapai Penerbangan Domestik yang hanya berjumlah dalam hitungan jari saja, maka untuk menghadapi naiknya harga Avtur dan kurs US Dollar, bisa saja mereka kemudian bekerjasama dalam menentukan harga tiket rute domestik. Langkah ini pasti dengan mudah akan menerima tuduhan sebagai “kongkalikong” atau “kartel” atau apapun istilah kerennya yang dianggap merugikan konsumen. Padahal, bisa saja kerjasama dalam menentukan harga itu justru dilakukan untuk mendapatkan harga yang “pas” (termurah tanpa menderita kerugian) bagi pelanggan masing-masing. Masih perlu dibuktikan tentang apakah memang ada kerjasama dalam menentukan harga tiket, dan juga tentang apa yang menjadi tujuannya. Yang pasti respon Maskapai Penerbangan dalam hal ini adalah sama yaitu bereaksi terhadap naiknya harga Avtur dan kurs US Dollar. Sebuah dinamika yang bisa dan biasa terjadi dalam dunia perekonomian pada umumnya.
Apakah pendapat ini benar atau salah, tentu saja harus di kaji lebih mendalam tentang kebenaran melonjaknya harga Avtur dan Kurs US Dollar yang berdampak sangat besar terhadap harga tiket pesawat terbang rute domestik. Konon, walau masih ada beberapa hal yang menyebabkan naiknya harga tiket pesawat terbang rute dalam negeri seperti faktor jasa pelayanan penerbangan , antara lain jasa di Bandara-bandara serta jasa pelayanan Air Traffic Control, realitanya faktor tersebut tidaklah begitu besar mempengaruhi harga tiket pesawat terbang.
Secara sederhana , beberapa kalangan sangat yakin bahwasanya bila harga Avtur dan Kurs US Dollar turun, maka dipastikan harga tiket pesawat terbang akan mengikutinya. Sekali lagi, logika yang digunakan disini adalah, betapa pendapatan Maskapai Penerbangan yang ujudnya dalam bentuk Rupiah yang harus berhadapan dengan Kurs US Dollar yang meningkat serta kenaikan harga Avtur. Kurs US Dollar dan harga Avtur merupakan komponen utama yang akan sangat mempengaruhi dalam penentuan harga tiket pesawat terbang terutama dalam rute domestik. Kesimpulannya adalah, mari kita tunggu saja turunnya harga Avtur dan Kurs US Dollar untuk memperoleh kembali harga tiket pesawat terbang yang “murah”. Mudah-mudahan.