Setelah beberapa lama menghilang kini muncul kembali wacana tentang hak pilih anggota TNI. Berbagai reaksi terhadap wacana ini serta merta bermunculan dari berbagai pihak, namun sebagian besar yang mengutarakan pandangannya tentang Hak Pilih TNI ini adalah para politisi. Komentar para politisi, sebagaimana biasa selalu saja mengutarakan hal-hal yang sangat meyakinkan, namun kesemuanya dapat dipastikan akan bersandar kepada kepentingan poitiknya masing-masing. Dan seperti biasa pula, akan terlihat sangat menonjol dipermukaan adalah kepentingan politik yang hanya seumur jagung dan tidak akan lebih jauh dari siklus penggal waktu pemilu yang lima tahunan itu. Charles de Gaulle pernah berkata bahwa :”Since a politician never believes what he says, he is surprised when others believe him”. Politisi tidak pernah percaya dengan apa yang dikatakannya, bahkan mereka akan terkejut sendiri bila ada yang percaya pada omongannya.
Apabila kita tidak mencermatinya dengan baik, maka berbagai pendapat yang beredar belakangan ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bernegara, khususnya yang berkait dengan issue hak pilih TNI. Mari kita simak beberapa pernyataan dari para politisi yang dapat dijumpai dalam beberapa media terkait masalah hak pilih TNI.
Partai Demokrat (PD) termasuk yang mendukung agar TNI dan Polri kembali diberikan hak pilih. PD meminta semua pihak mempercayai TNI/Polri untuk menggunakan hak pilihnya dalam pelaksanaan pemilu yang akan datang.
“Menurut kami anggota TNI/Polri sudah saatnya dipercaya untuk bisa menggunakan hak pilihnya secara dewasa dan demokratis”, kata Ketua Umum PD Anas Urbaningrum kepada wartawan pada acara “Konsolidasi Kader Demokrat Bali” di Hotel Nirmala, Jl Mahendradata, Denpasar, Rabu 30 Juni 2010.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta mendukung pengembalian hak pilih bagi TNI pada Pemilu 2014. Dia mengklaim PKS pada kenyataannya memiliki banyak dukungan dari kalangan TNI.
“Secara pribadi mendukung. Saya kira situasinya sudah normal, sudah waktunya TNI punya hak pilih,” ujar Anis di sela-sela acara Munas II PKS di Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, SCBD, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu 20 Juni 2010.
Pada bagian lain dan jauh sebelumnya, wacana penggunaan hak pilih TNI juga sudah pernah bergulir. Menjelang Pemilu 2009 Ketua Komisi I DPR, pada waktu itu, Theo L Sambuaga mengatakan bahwa Hak Pilih TNI sudah saatnya dipulihkan mulai pemilihan umum tahun 2009, karena hak pilih adalah hak asasi dan hak warga negara, bukan hak institusi. “Hak memilih adalah hak asasi warga negara. Jika TNI tidak diberikan izin memilih atau menundanya, maka kita telah memperpanjang diskriminasi terhadap warga negara yang menjadi anggota TNI,” katanya.
Pernyataan para politisi tersebut, sekilas menggambarkan bagaimana tingginya perhatian para elit politik negeri ini terhadap TNI. Namun sayangnya, perhatian yang begitu besar, baru muncul hanya terhadap satu aspek masalah saja yaitu masalah Hak pilih TNI.
Dalam tubuh TNI sendiri dapat dipastikan bahwa dari sedemikian banyak masalah yang tengah dihadapinya, maka masalah Hak Pilih TNI tidaklah masuk dalam daftar “Menu Utama”. TNI pasca reformasi sampai dengan saat ini masih terlalu sibuk untuk membenahi dirinya sendiri, setelah selama lebih dari 30 tahun berjalan salah jalan sebagai akibat keikutsertaanya dalam kegiatan politik. Dalam mengembalikan arah menuju profesionalitas sebagai satu Angkatan Perang yang memang seharusnya bebas atau steril dari politik, maka masalah Hak pilih TNI berada dalam skala prioritas yang sangat rendah. Reformasi TNI kedalam masih banyak berhadapan dengan bagaimana mensejahterakan para prajuritnya. Setelah berakhirnya era Dwi Fungsi dengan segala macam dampak negatifnya termasuk juga permasalahan bisnis TNI, maka upaya mewujudkan TNI yang professional dan proporsional kini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Masalah perumahan dinas dan remunerasi Prajurit adalah beberapa yang berada di papan atas skala prioritas yang harus diselesaikan, disamping masalah pemeliharaan dan pengadaan alutsista yang sudah harus ditangani dengan lebih baik lagi.
Melihat kenyataan tersebut, maka sekali lagi dengan jelas dapat disimpulkan bahwa Hak Pilih TNI bukanlah masalah yang sangat urgen untuk segera dituntaskan. Berangkat dari kesimpulan itu pulalah, tentunya yang diharapkan oleh TNI, bila ada pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap TNI, mungkin akan sangat bermanfaat untuk memberikan dukungannya kepada masalah yang memang sangat diperlukan saat ini. Salah satu masalah yang didambakan oleh TNI dan juga pasti merupakan prioritas yang paling atas adalah masalah kesejahteraan prajuritnya. Maka alangkah eloknya, bila perhatian yang begitu besar dari para politisi negeri ini terhadap TNI, dapat diarahkan kepada sasaran yang tepat seperti apa yang tengah dihadapi oleh TNI itu sendiri. Apabila hal ini dapat dilakukan, tentunya hal tersebut akan membantah apa yang pernah dikatakan oleh Maurice Barres bahwa : “ The Politician is an acrobat. He keeps his balance by saying the opposite of what he does”.
Mudah-mudahan, dengan demikian kita tidak akan terhanyut dengan pendapat-pendapat para politisi tentang Hak Pilih TNI ini, yang masih saja berkutat untuk menarik TNI ke ranah Politik dan berusaha untuk terus mengungkap masalah-masalah masa lalu. Sudah waktunya kita semua melihat kedepan menyongsong Indonesia Baru yang lebih baik. Kennedy dalam pidatonya di Baltimore 18 Februari 1958 mengatakan :” Let us not seek the Republican answer or the Democratic answer, but the right answer. Let us not seek to fix the blame for the past, Let us accept our own responsibility for the future !”.
Jakarta 13 Juli 2010
Chappy Hakim.
catatan: artikel ini telah dimuat di Koran Seputar Indonesia hari ini di halaman 7 (opini)