Begitu banyak sudah tulisan tentang Gus Dur, yang menandakan bahwa begitu banyak orang yang merasa kehilangan dengan kepergiannya. Demikian pula banyak sekali tentang cerita-cerita yang kini secara mendadak berubah menjadi cerita “kenangan”. Cerita kenangan yang pasti tidak akan mudah menghilang dari gunjingan masyarakat luas.
Salah satu kenangan yang sangat membekas dihati banyak orang antara lain adalah saat Gus Dur mendeklarasikan Forum Demokrasi di tengah-tengah “sangat kuat” nya kekuasaan Presiden Soeharto. Dalam proses meredam bergeraknya “forum demokrasi” yang dicetuskan Gus Dur itu, Jenderal Benny Moerdani turun tangan sendiri untuk dapat menjinakkannya.
Konon dalam “perundingan” yang cukup alot itu, masalah Forum Demokrasi Gus Dur nya dapat diselesaikan dengan “win-win”. Saya sendiri tidak jelas bagaimana berakhir nya dengan sukses negosiasi antara pemerintah yang dipresentasikan oleh Jenderal Benny Moerdani dengan pihak Gus Dur.
Pada salah satu pertemuan akhir antara keduanya di Hotel Ambarukmo Jogjakarta, kedua tokoh ini menerima wartawan saat usainya “perundingan”. Kedua nya keluar ruangan dengan wajah yang berseri-seri. Pertanyaan wartawan pertama kali adalah ditujukan kepada Gus Dur. Gus Dur ditanya apakah benar, beliau dipanggil oleh Jenderal Benny Moerdani, karena aktifitasnya mencetuskan forum demokrasi atau gerakan pro demokrasi. Gus Dur dengan tangkas menjawab dengan enteng saja, nggak koq, siapa yang dipanggil? Saya itu diundang “buka puasa” oleh Pak Benny. Tentu saja maksud Gus Dur dengan di undang “buka puasa” itu adalah menghaluskan terminologi “dipanggil”, berkenaan dengan telah dicapainya kompromi antar keduanya dan lebih-lebih lagi , Pak Benny saat itu berada disamping beliau.
Wartawan pun sepertinya dengan cerdas dapat menerima sinyal dari jawaban Gus Dur tersebut. Untuk memperoleh ”klarifikasi”, tentu saja kemudian para wartawan mengajukan pertanyaan kepada Jenderal Benny Moerdani. Jenderal, apakah benar Bapak “mengundang” Gus Dur? Ditengah-tengah ekspektasi wartawan akan jawaban sang Jenderal, Pak Benny menjawab dengan kalimat yang sangat diluar dugaan. Jenderal Benny menjawab : “Jelas dong, saya kan tahu Gus Dur itu seorang muslim yang tengah menjalani ibadah puasa dibulan ramadhan, jadi ya saya undang beliau untuk “buka puasa”, mosok saya undang makan sahur ? “
Itulah dialog dari dua orang yang bersebarangan dalam pemahaman politik, agama dan tentu saja perjalanan kariernya. Akan tetapi, keduanya adalah orang yang berlatar belakang “pendidikan” yang tinggi. Simbol dari bagaimana hubungan pribadi tidaklah dapat terusik oleh prinsip hidup yang dipegang oleh masing-masing dalam berkiprah untuk mengekspresikan diri pada perjalanan hidup didunia ini. Hubungan antar dua orang yang “cerdas” yang sangat berbeda visinya akan tetapi dapat tetap berhubungan baik alias “bersilaturrahmi”.
Kini keduanya telah tiada, akan tetapi apa yang telah mereka berikan kepada negeri ini akan selalu tetap berada ditengah-tengah kita. Ada “nilai” kehidupan yang tidak akan pernah luntur dimakan jaman.
Itulah………. Gus Dur, dalam kenangan.
Jakarta 31 Desember 2009