Pemilihan Presiden belum dimulai, bahkan daftar para calon Presiden dan Wakilnya masih belum ada, namun pembicaraan tentang susunan kabinet sudah bermunculan di berbagai media yang terbit pagi hari ini.
Kekuasaan memang nikmat, sehingga banyak orang yang berminat.
Berusaha untuk Jadi Presiden, kalau nggak bisa ya jadi wakil presiden dan kalau nggak bisa juga ya jadi menteri lah.
Konsep kabinet koalisi, yang diperkirakan akan dibentuk oleh Presiden terpilih, sudah menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Diluar Golkar, partai-partai yang akan berkoalisi dengan partai Demokrat mulai memberi isyarat tentang komposisi kabinet koalisi tersebut.
Pimpinan partai PKS, Tifatul Sembiring, mengatakan bahwa pola pengisian anggota kabinet nantinya, tidak hanya mempertimbangkan partai tertentu mendapat suara berapa, lantas porsinya menjadi lebih besar. Asas profesionalitas dan kompetensi yang harus dikedepankan. Kita saat ini baru bicara visi misi partai yang akan diajak berkoalisi, belum sampai kepada kabinet. Baru setelah itu bicara kontrak politik. Baru setelah itu bicara kabinet. Tapi kalau soal kader yang akan mengisi kabinet, PKS tidak kehabisan orang.
Abdillah Toha, anggota majelis pertimbangan PAN, meminta agar pembentukan kabinet mendatang tidak berdasarkan perolehan suara partai. Sebab, Indonesia tidak menganut sistem parlementer, tetapi presidensial.
Sementara itu, menurut sekjen partai Demokrat Marzuki Alie, komposisi kabinet koalisi Yudhoyono, bila terpilih kembali, dipastikan akan lebih ramping. Intinya tetap mengedepankan profesionalitas. Wakil ketua umum partai Demokrat, Achmad Mubarok jauh lebih tegas memberikan pernyataannya, format kabinet untuk pemimpin departemen strategis, akan diberikan kepada peserta koalisi yang menjadi pilar utama.
Disisi lain, Golkar masih dihadapkan kepada , bagaimana menentukan sikap nya setelah keluar “persyaratan” alias “kriteria wapres” yang baru-baru ini diumumkan di Cikeas. Ketua DPP Golkar Burhanudin Napitupulu, mengatakan bahwa , kita akan membahas hal ini dalam rapat pleno hari Rabu 22 April 2009. Kita tidak ingin didikte oleh Partai Demokrat, karena kita ingin koalisi itu dibangun berdasar kesetaraan.
Akankah kemudian, Golkar tetap akan merapat ke Demokrat ? atau sebaliknya, akan berjalan sendiri ? Mungkin cukup menarik untuk kita tunggu bersama.
Apakah juga, partai-partai yang merapat ke Demokrat, akan menyusun semacam “kriteria” berapa dan siapa calon menteri bagi jatah mereka masing-masing ?
Pertanyaan ini, akan menentukan kearah mana Golkar dan partai-partai itu menuju, karena sekarang mereka masih berada dipersimpangan jalan.
Persimpangan jalan yang bisa saja orang mengatakannya sebagai berada diantara “harga diri” dan
” greedy“?
Kayaknya sih sekarang ini “harga diri” dan “Greedy” beda-beda tipiiis!?