Dua hari terakhir ini, Garuda nyaris berpenampilan sebagai Maskapai penerbangan yang amatiran, Begitu banyak penerbangan yang delayed dan bahkan cancelled. Penerbangan yang tertunda tidak kepalang tanggung sampai lebih kurang 6 jam, sedangkan yang dibatalkan juga cukup banyak. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sebuah perusahaan penerbangan yang sudah berumur lebih dari 60 tahun dapat menyajikan performa yang demikian?
Bagi kaum yang sedang dongkol dan sinis, tentu saja lalu mengatakan ya itulah “trade mark”nya perusahaan BUMN ! Tidak berhenti disitu, dengan begitu banyak rasa kesal dari para “pencinta” nya, lalu beredar kepanjangan GARUDA yang dipelesetkan. Paling tidak ada 2 yang cukup terkenal yaitu Garuda sebagai “Good And Reliable Under Dutch Government” atau yang marak akhir-akhir ini adalah sebagai “Good And Reliable Until Delay Announced”. Tentunya sebagai orang Indonesia, kita tidak suka dengan gelar-gelar guyonan yang seperti itu !
Sementara waktu penjelasan tentang amburadul nya penerbangan 2 hari belakangan ini adalah disebabkan penerapan sistem baru yang bertujuan meningkatkan performa perusahaan. Pertanyaannya adalah “seceroboh” itukah sebuah perusahaan sekelas Garuda dalam menerapkan sistem baru? Peralihan satu sistem pelayanan dari satu perusahaan besar ke sistem yang lebih maju, tidak bisa tidak pasti memerlukan keterlibatan atau partisipasi para pengguna jasanya.
Jadi, bila memang benar Garuda tengah menerapkan sistem baru dalam pelayanan penerbangannya, mengapa tidak dipublikasikan terlebih dahulu kepada seluruh pelanggan, sehingga mereka cukup siap untuk berpartisipasi didalamnya. Penumpang, atau pelanggan dalam hal ini pasti akan merupakan “sub-sistem” dari sistem yang baru yang akan diterapkan tersebut. Kesimpulannya, mereka sebagai “sub sistem” tidak ada pilihan lain dari ,harus dilibatkan sedari awal. Pertanyaannya adalah, mengapa setelah amburadul nggak karuan, baru kemudian para pengguna jasa angkutan Garuda yang setia dan tengah kecewa itu memperoleh penjelasan?
Sebenarnya, dalam kurun waktu 2 sampai 3 tahun ini, kita menyaksikan begitu banyak berita “positif” dari pihak Manajemen Garuda mengenai prestasi yang mereka capai plus keinginan untuk segera IPO atau “Go Public”. Tidak kurang dari pemecahan rekor Muri sebagai Maskapai pertama yang menerapkan pelayanan “immigration on air”, kemudian meraih “gelar” terhormat sebagai “the 4 star airlines” dan tidak tanggung-tanggung terakhir bahkan berhasil meraih posisi sebagai “world’s most improved airlines”. Tidak cukup dengan hanya itu, namun juga diberitakan beberapakali tentang keberhasilan Garuda disisi finansial yang berangkat dari sekian banyak hutang sampai dengan keberhasilan memperoleh untung 1 Triliun ! Apakah kesemua ini bukan sesuatu pencapaian yang fantastis ?
Sekarang mari kita lihat realita yang terjadi di lapangan. Satu tahun, setidaknya 6 bulan terakhir ini penerbangan Garuda sudah mulai kedodoran dalam “on time performance” nya pada beberapa rute penerbangannya, baik domestik maupun internasional. Untuk diketahui, bahwa molornya waktu keberangkatan yang dialami oleh satu Maskapai, akan sulit sekali untuk ditahan atau dilokalisir pada penerbangan itu saja. Karena keterlambatan satu “flight” pasti akan berdampak kepada “flight” lainnya. Tentu saja hal ini berhubungan langsung dengan kesiapan pesawat di “flight line” dan kesiapan “crew” yang mengawakinya. Nah, rangkaian dari keterlambatan yang bergulir dalam satu tahun belakangan inilah, “kemungkinan besar” kemudian menyebabkan amburadul nya penerbangan 2 hari terakhir ini.
Sekali lagi, karena dampak keterlambatan bergulir laksana “deret hitung” dan pada titik tertentu akan berubah menjadi “deret ukur”. Pada saat yang bersamaan, pada kurun waktu 2 tahun terakhir, dikalangan intern Garuda sendiri, sudah menyadari akan berhadapan pada masalah “kekurangan” penerbang, dihadapkan kepada bertambahnya beberapa pesawat baru yang masuk dalam jajaran armada pesawat Garuda. Ada yang mengatakan bahwa kekurangan penerbang adalah masalah yang memang dihadapi oleh Maskapai Penerbangan seluruh dunia. Bisa saja terjadi demikian, maka justru disinilah peran jajaran manajemen dalam menyikapi masalah yang akan mengganggu “performa” perusahaan.
Salah satu contoh saja, minggu lalu saya terbang ke Pangkal Pinang, tertunda keberangkatan disebabkan pesawat yang disiapkan untuk penerbangan terebut rusak, namun tidak memerlukan waktu lama sebagaimana biasanya, penerbangan dapat dilaksanakan dengan mengganti pesawsat lain yang memang kelihatannya sudah disiapkan sebagai pesawat cadangan. Saat itu saya justru kagum dengan Garuda yang me “menage” dengan cerdas, masalah kekurangan “pilot” menjadi masalah “kelebihan” pesawat ! (disini terlihat bagaimana kiat mengatur jumlah penerbangan yang sesuai dengan kapasitas dari kemampuan jumlah pilot yang tersedia). Mudah-mudahan hal tersebut bukan “satu kebetulan”.
Kembali kepada keinginan Garuda untuk IPO (Initial Public Offering) yang merupakan langkah untuk “go public” dalam upaya menjadi perusahaan publik. Minimal ada lebih dari dua berita yang tersebar tentang pihak Meneg BUMN yang tidak atau belum menyetujui langkah Garuda yang akan “go public”. Konon, Kementrian BUMN menginginkan, Garuda menyelesaikan dulu hutang-hutangnya sebelum “go public” (muncul selorohan yang mengatakan bahwa :”padahal, Garuda ingin go public dengan tujuan melunasi hutang-hutangnya?”).
Berita lainnya bahkan menyebutkan antara lain sebagai berikut : Menegaskan pernyataan Meneg BUMN Mustafa Abubakar, Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Pandu Djayanto, mengatakan, IPO Garuda memang lebih baik tidak menggunakan laporan keuangan triwulan III-2010 lantaran masih mencatat rugi bersih Rp 39,510 miliar. “Kami tidak berani memakai laporan keuangan September. Nanti harganya tidak maksimal,” ujarnya. (kutipan berita Sinar Harapan,selasa 23 nopember 2010).
Demikianlah satu gambaran yang tersaji diruang publik “adegan” Romeo dan Juliet versi Garuda Versus Kementrian BUMN, dalam kasus “go public”.
Dengan itu semua kiranya sangat terang benderang alias “loud and clear” bahwa Maskapai Penerbangan Garuda, sang pembawa bendera, kebanggaan Indonesia, atau mungkin Kementrian BUMN kita tengah menghadapi masalah yang “besar” dan “serius”. Masalah yang memerlukan “kejujuran” dari semua pihak untuk menjelaskannya kepada kita semua, para palanggan setia dan seluruh rakyat yang bangga akan keberadaan Garuda, “apa yang sebenarnya terjadi” ?
Jakarta , 23 Nopember 2010
Chappy Hakim