BILA kita berbicara tentang industri pertahanan, maka ada hal-hal yang sangat mendasar sekali sifatnya. Industri pertahanan perlu biaya investasi belanja modal yang sangat tinggi.
Seiring dengan itu, ia juga harus selaras dengan kebutuhan yang diinginkan oleh pihak dan atau satuan penggunanya.
Oleh karena itu, industri pertahanan akan sulit berjalan tanpa dukungan pendanaan dari negara dan perencanaan strategis yang terpadu. Industri ini membutuhkan sandaran kebijakan pemerintah yang konsisten dan konsekuen lintas rezim.
Industri pertahanan sangat tergantung kepada kebijakan tingkat tinggi pemerintah yang terkait langsung dengan kebijakan nasional.
Mencermati kemajuan teknologi, kaderisasi, dan jaringan dalam sebuah pengelolaannya, ciri khas industri pertahanan adalah waktunya yang panjang. Maka, konsistensi amatlah penting.
Tidak cukup hanya berpikir dalam irama lima tahun belaka. Semua itu harus dituangkan dalam sebuah master plan.
Biaya besar yang harus diinvestasikan dalam industri ini sangat rawan dengan masalah miss management. Oleh karena itu, pengelolaan finansial amatlah penting. Hal lain yang tak kalah penting adalah kontrol kualitas yang sifatnya sangat teknis.
Masalahnya, penyediaan dana yang besar versus pelaksanaan proses produksi persenjataan bukanlah hal yang mudah untuk dirumuskan. Apalagi jika landasan perencanaannya tidak matang.
Pengalaman menunjukkan, banyak proses pelaksanaan dari pengadaan sistem senjata yang “bubar” di tengah jalan.
Tak cukup kegagalan yang pernah terjadi hanya disesali. Harus ada jiwa besar untuk melihatnya sebagai pelajaran yang bermanfaat agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.
Pelajaran dari PTDI
Kisah PTDI adalah pelajaran mahal bagi kita. Dengan perjalanan panjang dan jatuh bangunnya, PTDI belum juga mampu memposisikan diri sebagai industri pertahanan yang dapat diandalkan oleh Angkatan Udara.
Bermula dari mengambil alih atau meniadakan Nurtanio, kemudian berganti-ganti nama hingga berujud sebagai PTDI sekarang.
Ada beberapa proyek pengadaan produksi out put PTDI yang kurang memuaskan dalam realita lapangan di Angkatan Udara yang bahkan sempat “diputihkan”.
Demikian pula musnahnya satu skadron CN-235 di AU dan lenyapnya armada CN-235 di MNA kiranya dapat menjadi pelajaran yang amat berharga.
Sukses terbesar yang pernah diraih PTDI adalah proyek CN-235 versi sipil dan militer yang sayangnya terpaksa berakhir sebelum produk tersebut mencapai posisinya sebagai produk unggulan.
PTDI sebagai sebuah pabrik pesawat terbang tidak dapat begitu saja meraih reputasi yang membanggakan tanpa melakukan kaderisasi tanpa jeda para tenaga ahlinya dan senantiasa meng-upgrade peralatan teknis kebutuhan sebuah pabrik pesawat terbang.
Instalasi terowongan angin yang dibangun di Serpong, Banten, yang diniatkan sebagai terowongan angin terbesar di Asia Tenggara, terbengkalai sebelum sempat digunakan.
Ini adalah beberapa contoh betapa industri ini membutuhkan profesionalitas pengelolaan yang berkesinambungan.
Contoh lain, tes pilot yang benar-benar lulusan sekolah tes pilot kini tak ada lagi di PTDI. Kaderisasi flight test engineer juga sudah terhenti sejak tahun 1990-an sebagai akibat terhentinya lini produksi pesawat.
Kebanggaan, nasionalisme, dan patriotisme sebagai negara penghasil produk industri pertahanan harus berawal dari produk industri yang berkualitas dan dapat diandalkan. Pembeli pasti akan membeli produk-produk yang berkualitas.
Jangan sampai pembeli “dipaksa” membeli barang yang kurang berkualitas semata-mata atas nama kebanggaan, nasionalisme, dan patriotisme. Ini hanya akan menjadi bumerang di kemudian hari.
Semoga industri pertahanan Republik Indonesia dapat berkembang menjadi lebih baik.