Pasca-Head of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran, dan Rio Tinto pada Kamis 12 Juli 2018 muncul, demikian banyak respons dari berbagai kalangan yang pada intinya “membingungkan” lawan dan kawan.
Bagaimana tidak membingungkan bila keterangan dari seorang pejabat yang mengatakan bahwa HoA itu sudah di-locked dan Pejabat lainnya berkata HoA itu tidak mengikat.
Belum lagi demikian banyak pendapat yang dilontarkan oleh para “ahli” dan atau “pengamat” pertambangan dan banyak lagi lainnya yang sulit untuk dapat dilacak garis atau benang merahnya. Singkat kata, masyarakat awam menjadi bingung.
Sangat patut dimaklumi kebingungan yang terjadi di masyarakat luas, karena memang masalah Freeport, terutama sekali format HoA, adalah sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk dapat dimengerti oleh orang awam.
Lebih-lebih lagi masalah tentang Freeport sudah terlanjur menjadi sebuah pemahaman yang sering diletakkan pada posisi yang beda-beda tipis dengan bentuk neo kolonialisme, VOC, mafia tambang, pemerasan, perampokan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kejahatan.
Freeport nyaris tidak pernah dilihat sebagai sebuah bentuk dari Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia yang keberadaannya tidak mungkin terjadi tanpa ijin resmi dan pengawasan ketat dari sebuah pemerintahan yang sah.
Kembali kepada kebingungan yang terjadi terutama pada pasca-penandatanganan HoA, mungkin penjelasan Prof Rhenald Kasali di acara sebuah televisi swasta dapat sedikit memberikan pencerahan kepada kita semua.
Pada kesempatan itu, Prof Rhenald mengatakan bahwa penjelasan dari berbagai pihak yang membingungkan itu semata berakar kepada masalah mendasar tentang kompetensi dan persepsi.
Menjadi sangat masuk akal bahwa penjelasan apapun dari seseorang yang tidak kompeten di bidangnya serta disertai dengan persepsi yang keliru pasti akan “membingungkan”.
Selain membingungkan, HoA disebut juga sebagai sebuah hasil yang memakan waktu panjang dan sangat alot. Dalam hal ini, Said Didu, pelaku perundingan dengan Freeport di tahun 2015, pada acara televisi memberikan informasi tentang fakta-fakta bahwa masalah Freeport memang pelik dan bahkan sangat “simalakama” bagi pemerintahan siapapun atau bagi siapapun Presidennya.
Menurut Said Didu, skandal “papa minta saham” telah membubarkan negosiasi-negosiasi yang ada. Ada banyak sekali benalu-benalu di Freeport ini.
Perunding-perunding yang datang ke Jakarta selalu diinjak kakinya. Jadi, menurut Said Didu, benalu-benalu Freeport itu ada di Jakarta, bukan di mana-mana.
Said Didu menyimpulkan bahwa masalah Freeport terlalu banyak muatan politknya. Dengan ini, mungkin maksudnya adalah terlalu banyak orang atau pihak yang turut campur dalam urusan Freeport yang seharusnya dapat diselesaikan bila diserahkan saja kepada mereka yang berkompeten dengan mengacu kepada Undang-undang dan regulasi serta ketentuan yang ada.
Selama ini banyak orang mencampur adukkan masalah bisnis (PMA) dengan masalah kedaulatan negara. Itu sebabnya perundingan menjadi memakan waktu lama dan sangat alot.
Dari sekian banyak informasi yang beredar dan membingungkan selama ini tentang Freeport, mungkin penjelasan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani di pesantren saat menjawab pertanyaan para santri dapat memberikan pencerahan bagi kita semua tentang posisi Freeport selama ini di Indonesia.
Kalau suatu perusahaan di-manage sama orang yang beda sama kita, memangnya dia merugikan kita? Itu suudzon atau memang ada evidence (fakta)-nya?” kata Sri Mulyani. Selanjutnya Sri Mulyani menjelaskan bahwa seluruh kewajiban PT Freeport kepada negara terhadap usaha yang sudah dilakukannya dibayarkan dengan baik. Dia bilang, yang terpenting apapun usaha yang dijalankan di Indonesia melakukan prinsip usaha yang benar dan membayar kewajibannya kepada negara, dalam hal ini pajak dan penerimaan lainnya.
“Kalau perusahaan tidak dijalankan dengan bagus, perusahaan rugi, jangankan bayar pajak, bayar karyawan saja enggak bisa. Jadi prinsip pengelolaan usaha, mau dimiliki siapa saja, kalau tidak dikelola dengan baik, manfaatnya enggak akan ada,” kata Sri Mulyani. (kutipan dari detik.com)
Mungkin masalah Freeport akan dapat diselesaikan dengan baik oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang tugasnya mengoordinasikan kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal.
Dengan Koordinasi BKPM bersama para pejabat dan instansi serta institusi yang posisi dan kompetensinya terkait maka masalah ini akan jauh lebih mudah untuk diselesaikan.
Dalam konteks penyelesaian masalah terutama masalah yang rumit, maka selalu di tuntut kejelasan yang tegas menyangkut wewenang dan tanggung jawab tentang “siapa” yang mengerjakan “apa”. Laksana benda langit di galaksi yang tetap terlihat “harmonis” dan “indah” karena semua benda langit yang tidak terhitung jumlahnya itu tetap konsisten berada dalam posisinya masing-masing dan bergerak “hanya” pada garis orbitnya masing-masing. Maha besar Sang Pencipta Alam Semesta yang memberikan pelajaran berharga kepada kita semua.
Ada yang mengatakan bahwa hidup bukanlah tentang siapa yang terbaik akan tetapi tentang siapa yang mau berbuat baik. Kesulitan akan selalu lebih mudah mencair bila dilandasi oleh sebuah kejujuran dan tanggung jawab.