Pagi ini saya membaca Koran Seputar Indonesia yang dihalaman mukanya memuat tulisan seorang Guru Besar Psikologi UI yang berjudul Logika Ketoprak. Tulisan yang bagus sekali dan saya merasa sayang bila tidak diposting disini, untuk diketahui oleh kita semua sebagai penambah wawasan.
Logika Ketoprak
AKHIRNYA Komisi III DPR beraklamasi untuk menerima calon tunggal Kapolri,Komjen Pol Drs Timur Pradopo sebagai Kapolri. Syukur alhamdullilah, karena isu tentang calon Kapolri bisa dihentikan di situ dan tidak berlanjut karena kalau berlanjut bisa berkembang liar tak terkendali. Sementara, buat Polri sendiri, sebagai organisasi profesional yang diikat dengan peraturan disiplin yang ketat, apalagi buat masyarakat awam, siapa pun yang jadi Kapolri tidak jadi masalah.EGP (emang gue pikirin?) deh,pokoknya.
Tetapi,yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana caranya Komisi III melakukan uji fit and proper test yang berlangsung sampai 20 jam itu (tidak termasuk kunjungan ke rumah, pemeriksaan rekening bank oleh PPATK dan sebagainya). Semua pertanyaan nampaknya diarahkan kepada penilaian atau evaluasi diri pribadi Timur Pradopo, seperti berapa duitnya di bank, bagaimana pertanggungjawabannya tentang keterlibatannya pada peristiwa Semanggi, mengapa dia menolak datang ketika dipanggil ke pengadilan HAM, bagaimana strategi dia untuk membangun Polri, kenapa dia “membiarkan” peristiwa Ampera, apakah dia mau berjanji akan selesaikan kasus Bank Century dan sebagainya, bahkan konon pertanyaan “apakah Timur Pradopo pernah selingkuh”, juga masuk agenda. Seakan-akan kalau Timur Pradopo- nya orang baik, seluruh jajaran Polri 2–3 tahunan ke depan (sesuai masa jabatannya) pasti baik,sebaliknya kalau Timur Pradopo orang jahat, seluruh Polri juga akan rusak.
Padahal kenyataannya, Bung Karno, pemimpin paling hebat bangsa Indonesia, ayahanda Megawati Soekarnoputri, beristri sembilan, dan hobinya nonton film barat yang dilarang di bioskop-bioskop umum (semasa saya sekolah di SMA Bogor,saya sering diajak ayah saya yang dokternya Bung Karno,nonton film barat di Istana Bogor bersama Bung Karno yang ketika itu selalu ditemani oleh Ibu Hartini Soekarno). Jadi, tidak bisa jatuh bangunnya sebuah organisasi hanya ditentukan oleh sosok pemimpinnya. Logika seperti itu adalah logika ketoprak (dan wayang juga) yang selalu menggambarkan kerajaan-kerajaan yang gemah ripah loh jinawi karena rajanya arif bijaksana,dan rakyat yang menderita ketika rajanya angkara murka.
Inti cerita cerita ketoprak juga selalu berkisar di sekitar intrik-intrik dan konflikkonflik di dalam istana yang kemudian membawa-bawa rakyatnya. Kalau seorang raja,misalnya,jatuh cinta kepada putri dari kerajaan lain, dan cintanya ditolak, maka raja itu akan mengajak rakyatnya berperang melawan kerajaan lain itu,dan seterusnya.Aneh sekali kalau dilihat dari paradigma demokrasi yang sekarang, tetapi ya itulah logika ketoprak. Dan logika aneh itu masih banyak penggemarnya, malah justru akan lebih aneh lagi kalau dalam ketoprak tiba tiba ada adegan debat,talk show,sidang komisi,dan voting.
Susahnya, logika ketoprak ini bukan hanya menghibur sebagai tontonan, tetapi juga dijadikan tuntunan, yakni dijadikan pola pikir baku oleh bangsa Indonesia, dan diterapkan dalam praktik politik sehari-hari. Bukan saja oleh orang Jawa, tetapi juga oleh suku suku lain yang tidak kenal ketoprak sama sekali. Contoh yang lebih mutakhir adalah isu tentang upaya menggulingkan Presiden SBY, yang konon dibahas dalam sebuah rapat menjelang 20 Oktober 2010, yaitu pas setahun masa kepresidenan SBY jilid II. Kalau ini benar, kan logika ketoprak lagi? Seolah-olah dengan mengganti SBY (yang ingin menjadi penggantinya sudah antre,walaupun malu-malu kucing), republik langsung beres dalam tempo 100 hari. Ini juga logika ketoprak lagi.
Mana ada manusia biasa yang bisa membereskan sebuah negeri hanya dalam 100 hari, wong para nabi pun tidak bisa membereskan dunia sampai hari ini. Tetapi dalam ketoprak bisa,malah hanya dalam dua jam pertunjukan saja. Ketoprak nampaknya lebih hebat dari tukang sulap namun itulah yang dijadikan tolok ukur para politisi, cerdik-cendekia dan media masa kita,sehingga patokan 100 hari selalu keluar sesudah setiap pemilihan, apakah itu pemilihan presiden (sejak Presiden Habibie), kepala daerah,atau Kapolri. Tentu saja gagasan penggulingan presiden ini jauh panggang dari api. Setidak-tidaknya itu menurut pendapat saya pribadi. Penggulingan seorang presiden tidak cukup dengan mengumpulkan sejuta facebookers dan unjuk rasa serta talk show di TV seperti kasus Prita.
Bagaimanapun,presiden masih panglima tertinggi TNI, dan seluruh jajaran TNI dan Polri (sejauh pengetahuan saya), belum ada yang tidak kompak dengan Presiden SBY pada saat ini. Begitu juga mayoritas Partai Demokrat dan partai-partai koalisi masih enggan untuk melepaskan dukungan pada SBY walau bicaranya sering kebablasan. Apa yang akan terjadi pascapenggulingan, tidak ada yang tahu. Anggota-anggota DPR ini yang sedang menikmati gaji yang tinggi plus berbagai fasilitas, apakah mau begitu saja melepaskan comfort zone-nya?
Republik Indonesia bukan kerajaan ketoprak. Secara pelan tetapi pasti,pascareformasi,tatanan negara ini makin terikat pada kisi-kisi hukum yang tahap demi tahap ditanamkan oleh para aktivis politik itu sendiri, baik yang ada di pemerintahan, legislatif, maupun yang di lembaga-lembaga swadaya masyarakat, ormas atau orpol (organisasi politik), termasuk mereka yang sekarang ingin menggulingkan SBY. Tentu saja masih banyak sekali kekurangan dalam hukum dan undang-undang kita, tetapi institusi- institusi yang sudah dibangun sesuai undang-undang pascareformasi, tentu akan berusaha untuk menjalankan peran masing masing sebaik-baiknya, sehingga suka-tidak-suka terjadi saling kontrol.
KPK tidak goyang walaupun diterpa kasus Cicak-Buaya. Mahkamah Konstitusi memenangkan Yusril Ihza Mahendra,dan memaksa jaksa agung segera diganti,walaupun kasus pidana Yusril berjalan terus. DPR berhasil memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani diganti sehubungan dengan kasus Bank Century dan sebagainya. Masih banyak contoh lain. Tidak semuanya saya setujui, atau Anda setujui. Tetapi itulah demokrasi yang sedang berjalan,yang tidak ditentukan lagi oleh satu orang saja,seperti dalam logika ketoprak, tetapi diatur oleh sebuah sistem yang berjalan sebagai hasil kinerja berbagai institusi atau unsur yang ada di dalamnya.
Para politisi sering menamakannya “dinamika”. Dinamika ini adalah sistemik (meminjam istilah Sri Mulyani), dan cara berpikir sistemik inilah yang seharusnya jadi pola pikir kita, bangsa Indonesia, terutama para elite politik, cerdik-cendekia, dan media massanya dalam menghadapi berbagai permasalahan,termasuk dalam pemilihan pejabatpejabat teras NKRI seperti duta besar, Gubernur BI (kalau pendekatannya sistemik tidak mungkin ada kasus travel check yang beredar di DPR),dan pemilihan Kapolri. Kembali kepada contoh prosedur fit and proper test(uji kelayakan dan kepatutan) Kapolri. Kalau pendekatannya sistemik, maka fokus perhatian uji kelayakan itu adalah bagaimana nantinya dinamika antara Kapolri sebagai Kepala Kepolisian dengan seluruh jajaran pimpinan Polri di tingkat Mabes bahkan sampai ke tingkat Polda.
Untuk itu, anggota DPR (khususnya anggota Komisi III, atau minimal sebuah tim khusus dari Komisi III) harus memahami betul budaya internal Polri, norma dan etika tak tertulis dari Polri,cara berpikir manusia yang kebetulan jadi polisi, tradisi, adat-istiadat, dan kebiasaankebiasan Polri yang selama ini berlangsung. Untuk mengetahui ini, perlu dikonsultasi atau diundang (jangan gunakan istilah “dipanggil”, sebab sekarang kesannya DPR lebih galak dari polisi karena menggunakan istilah itu) pihak-pihak yang tahu betul “budaya”polisi seperti Kompolnas, akademisi yang banyak meneliti tentang masalahmasalah kepolisian, para jurnalis senior yang berkecimpung dalam masalah kepolisian, dan sebagainya. Lebih baik lagi kalau Komisi III sendiri punya desk khusus yang meneliti masalah kepolisian secara permanen.
Kalau informasi-informasi itu sudah di tangan,baru DPR bisa melakukan uji kelayakan secara optimal. Inti pertanyaannya adalah apakah sosok Timur Pradopo pas untuk membawa Polri ke arah yang dikehendaki DPR (itu pun harus dirumuskan secara terukur) dalam lingkungan budaya yang seperti itu. Hasilnya pasti lebih baik daripada sekadar pertanyaan-pertanyaan awam yang dilemparkan dalam sidang Komisi III. Walau demikian, uji kelayakan model sistemik ini pun belum menjamin akan terpilih Kapolri yang betul-betul ideal. Tetapi kemudian timbul pertanyaan seperti ini,“Loh,bagaimana ini? Sudah susah payah, tetapi tetap belum tentu menjamin hasilnya. Susah banget, sih,mau pilih Kapolri saja?” Memang susah.
Bahkan jujur saja, tidak mungkin memilih pejabat teras dengan cara uji kelayakan seperti itu, apalagi kalau pengujinya awam seperti para anggota DPR yang terhormat itu. Jenderal AH Nasution,Ali Sadikin, Hoegeng, Soekarno, dan Soeharto adalah contoh pemimpin pemimpin masa lalu yang sukses dan mereka tidak pernah di-fit and proper test. Para presiden saja tidak pakai diuji-uji, cukup dengan pemilu. Termasuk Presiden Barack Obama. Waktu dan sejarahlah yang akan mengujinya. Karena itu, apakah fit and proper test bukannya kemubaziran belaka yang lahir dari logika ketoprak kita? (*)
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI