Kalau Bisa Dipersulit Kenapa Dipermudah
(Sebuah Renungan)
FIR adalah terminologi yang dipergunakan dalam tatanan pengaturan lalulintas udara atau Air Traffic Control Management. FIR sendiri adalah singkatan dari Flight Information Region, atau wilayah yang diberikan pelayanan informasi penerbangan.
Wilayah Udara Indonesia terbagi dalam 2 wilayah FIR yaitu FIR Makassar dan FIR Jakarta. Sayangnya diwilayah Indonesia Barat terdapat wilayah udara kedaulatan Indonesia yang sejak tahun 1946 berada dibawah pengelolaan otoritas penerbangan Singapura sebagai warisan sisa penjajahan pemerintahan kolonial Inggris di Singapura. Sisa dari format kolonialisme dengan ciri kekuasaan asing yang menguasai wilayah negara orang lain.
Persoalannya sederhana sekali akan tetapi sekaligus sangat teknis mengenai pengelolaan lalulintas penerbangan. Jadi sebenarnya sangat mudah diselesaikan oleh masing masing direktur perhubungan udara kedua negara bersama dengan ICAO, International Civil Aviaton Organizaton. Diselesaikan saja bahwa batas FIR kedua negara disesuaikan dengan garis batas kedua negara, selesai sudah. Sebagaimana halnya yang mudah terlihat dengan jelas pada batas FIR antara negara Singapura dengan Malaysia. Dalam hal ini sangat jelas, batas FIR Singapura dengan Malaysia tidak ada persoalan sama sekali, karena langsung ditentukan batas FIR kedua negara adalah mengacu kepada garis batas kedua negara.
Nah, mengapa batas FIR antara Singapura dengan Indonesia menjadi persoalan besar. Mengapa batas FIR Indonesia tidak bisa merujuk kepada batas kedua negara. Dengan merujuk pada format batas FIR antara Malaysia dengan Singapura yang sesuai batas perbatasan kedua negara, maka tidak ada persoalan sama sekali. Dalam hal pesawat pesawat terbang milik Malaysia dapat terbang bebas merdeka tanpa harus tergantung kepada negara lain. Demikian pula pesawat pesawat terbang Singapura dapat terbang diwilayah udaranya sendiri dengan bebas merdeka, tanpa harus minta ijin negara lain.
Sayang sekali tidak demikian yang terjadi dengan Indonesia. Batas FIR Singapura dengan Indonesia tidak mengikuti garis batas kedua negara. Batas FIR Singapura masuk jauh kedalam wilayah kedaulatan negara Indonesia. Hal itu mengakibatkan pesawat pesawat terbang Indonesia tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk terbang diwilayah udara kedaulatannya sendiri. Pesawat terbang Indonesia yang terbang diwilayah kedaulatannya sendiri harus memperoleh ijin dulu dari otoritas penerbangan Singapura. Ini adalah persoalan besar yang dihadapi. Persoalan martabat dan kedaulatan bangsa sebagaimana halnya yang terjadi pada otoritas penerbangan Malaysia berhadapan dengan Singapura. Tidak ada kewajiban pesawat terbang Malaysia harus meminta ijin terbang dulu kepada pihak Singapura. Pesawat terbang Malaysia memiliki kemerdekaan sesuai kedaulatan negaranya untuk terbang tanpa tergantung ijin negara lain.
Sekali lagi persoalan ini adalah persoalan sederhana dan persoalan yang hanya mengenai teknis penerbangan dan tentu saja dapat dengan mudah diselesaikan oleh kedua otoritas penerbangan masing masing bersama dengan ICAO. Diselesaikan dengan jalan meluruskan saja garis batas FIR Indonesia dengan Singapura dengan garis batas kedua negara, selesai. Seperti halnya dengan batas FIR antara Singapura dengan Malaysia. Sekali lagi sebuah masalah yang sangat mudah diselesaikan dengan melihat masalah pokoknya yaitu masalah yang berkait dengan masalah teknis penerbangan. Masalah pengaturan lalu lintas udara atau air traffic control management.
Contoh penyelesaian pada kasus yang sama terlihat saat pemerintah Kamboja menyelesaikan persoalan wilayah udara kedaulatannya yang dikuasai oleh Thailand. Cukup kedua direktur perhubungan udara Thailand dan Kamboja menyelesaikannya. Tentu saja setelah pihak otoritas penerbangan Kamboja mengajukannya terlebih dahulu ke ICAO.
Acuan secara internasional dalam hal kedaulatan negara di udara sudah tertuang dalam konvensi Chicago tahun 1944, bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif. Pengertian sederhananya adalah tidak ada ruang udara disebuah negara yang berdaulat yang dapat dipergunakan oleh negara lain tanpa ijin. Sekali lagi FIR adalah sebuah masalah yang gampang alias sederhana sekali. Sebuah masalah sederhana dan mudah yang kemudian direkayasa menjadi sebuah masalah yang rumit dan pelik. Tentu saja ada niatan tertentu yang melatarbelakanginya. Ada alasan kepentingan tertentu yang menyebabkan persoalan sederhana menjadi dipersulit luar biasa. Ini adalah sebuah contoh soal dari persoalan teknis penerbangan yang di giring untuk masuk ke ranah politik.
Menjadi Rumit
Masalah FIR Singapura yang masuk kedalam wilayah teritori kedaulatan Indonesia menjadi rumit, karena tidak ada niat baik dan saling menghargai kedaulatan masing masing negara. Bermula ketika wilayah udara kedaulatan Indonesia yang sejak tahun 1946 berada dibawah otoritas pemerintahan kolonial Inggris. Hal tersebut hendak dipertahankan statusnya oleh pihak Singapura yang tentu saja dengan menguasai wilayah udara negara lain dalam hal ini Indonesia mereka memperoleh banyak sekali keuntungan. Sayangnya, entah dengan latar belakang apa dan juga dengan alasan apa, ternyata hal itu didukung mati matian oleh beberapa pihak di Indonesia sendiri. Sebuah sikap yang teramat sangat sulit untuk dapat dimengerti. Sebuah sikap yang sangat logis mengundang kecurigaan besar bahwa jangan jangan mereka adalah pihak yang menikmati juga keuntungan yang selama ini dinikmati Singapura. Sebuah kecurigaan yang sangat masuk akal walau sulit untuk dapat mempercayainya. Lalu mengapa pula mereka sebagai orang Indonesia bisa bersikap bahwa garis batas FIR Singapura tidak harus mengikuti garis batas negara seperti halnya garis batas antara FIR Malaysia dengan Singapura. Apa yang menyebabkan mereka terlihat justru lebih “galak” untuk mempertahankan garis batas FIR Singapura harus masuk kedalam wilayah udara kedaulatan Indonesia, tanah air udaranya sendiri. Mengapa mereka bersikukuh dengan sangat kuat turut mempertahankan argumen dan setumpuk alasan dari pihak Singapura. Mempertahankan negara lain yang tidak menghormati kedaulatan negaranya sendiri.
FIR Singapura dengan banyak alasan yang sangat tidak masuk akal hendak dipertahankan untuk seakan akan tidak boleh berada dibawah kekuasaan otoritas penerbangan Indonesia. Terlihat sepertinya status wilayah udara kedaulatan Indonesia yang berada dibawah kekuasaan kolonial Inggris hendak dilestarikan, dalam hal ini diteruskan oleh otoritas penerbangan Singapura. Tentu saja, sekali lagi penyebabnya sangat masuk akal, karena sejak 1946 hingga sekarang ini wilayah udara kedaulatan Indonesia yang dikelola pemerintah kolonial Inggris dan kemudian oleh Singapura merupakan wilayah yang memiliki potensi menghasilkan keuntungan besar terutama secara finansial yang luar biasa. Siapa pun tidak akan pernah berkeinginan untuk kehilangan keuntungan besar yang telah dinikmatinya dan setiap tahun keuntungannya bertambah berkali kali lipat. Tentu saja upaya untuk melestarikan status tersebut, sebagai warisan kolonial yang menguntungkan perlu dicarikan berbagai alasan yang masuk akal agar bisa diterima dengan senang hati oleh Indonesia. Aneh bin Ajaib, beberapa pihak di Indonesia sendiri turut serta dengan berjuang all out untuk mendukung hal yang sangat tidak masuk akal itu. Inilah semua yang sebenarnya menjadi akar permasalahan, cikal bakal terjadinya kerumitan FIR Singapura di Indonesia. Mencari 1001 alasan agar status tersebut dipertahankan dan Indonesia diharapkan dapat menerima semua itu dengan senang hati. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah tentu saja, sebuah upaya dalam menegakkan benang basah. Mengapa hingga kini upaya tersebut tetap terlihat berhasil dengan sukses, jawabannya adalah karena ada pihak di Indonesia sendiri yang turut serta membantu sepenuh hati untuk menegakkan benang basah itu.
Alasan alasan yang dicari cari
Status wilayah udara Indonesia di sekitar perairan selat Malaka dan kepulauan Riau harus dipertahankan statusnya untuk tetap berada dibawah otoritas penerbangan Singapura. Untuk itulah maka terjadi kesibukan luar biasa termasuk dari beberapa pihak di Indonesia sendiri untuk turut serta mencari alasan alasan kuat yang dapat ikut mendukung argumen mempertahankan warisan pemerintah colonial Inggris tersebut. Diantara sekian alasan yang dikemukakan antara lain adalah :
Air Traffic di kawasan itu dilihat sebagai padat sehingga memerlukan pelayanan prima yang Indonesia dianggap tidak mampu mengerjakannya. (kenyataannya traffic yang lebih padat adalah yang berbatasan dengan Malaysia, karena tujuan dan arah datang penerbangan lebih banyak yang berasal dari Utara Singapura. Traffic yang berbatasan dengan Indonesia jauh lebih sedikit karena hanya ada Australia dan Selandia Baru sebagai titik keberangkatan dan kedatangan yang terletak di selatan Singapura/Indonesia.)
Yang diserahkan itu bukan kedaulatan negara akan tetapi hanya pengendalian udaranya saja. (Justru yang penting adalah pengendaliannya – dengan mengendalikan maka jelas menunjukkan siapa yang berkuasa disana yang memiliki otoritas dalam mengatur)
Yang didelegasikan itu “hanya” wilayah terbatas dengan ketinggian dari 0 level sampai dengan 37.000 ft saja. (ketinggian 0 sampai dengan 37.000ft adalah wilayah utama yang menghasilkan keuntungan secara finansial dan lebih penting sebagai wilayah rawan dalam konteks pengamanan wilayah udara nasional)
Pendelegasian itu “hanya” untuk 25 tahun saja dan dapat diperpanjang nanti. (kurun waktu yang tidak jelas maksudnya apa selain berusaha untuk menguasainya terus menerus. Padahal amanat UU no 1 Penerbangan tahun 2009 menyebut 2024 seluruh pendelegasian wilayah udara sudah harus diakhiri. Disisi lain secara tidak disadari menentukan rentang waktu 25 tahun tanpa ada perubahan adalah sebuah pernyataan terbuka bahwasanya Indonesia tidak memiliki rencana kedepan hingga 25 tahun dalam hal meningkatkan kualitas pelayanan penerbangan dalam konteks Aviation Safety Management System)
Di seluruh dunia terdapat sejumlah 55 dari 191 negara anggota ICAO yang juga mendelegasikan wilayah udara kedaulatannya kepada negara lain. (Alasan yang dicari cari, mengapa yang dicontoh 55 negara, mengapa tidak yang l36 negara lainnya yang diikuti sikapnya)
Pendelegasian bukan hal yang aneh , karena Indonesia juga menerima pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara kedaulatan Australia di kawasan pulau Chirstmas dan wilayah udara Timor Leste. (dalam kasus ini pemerintah Australia dan Timor Leste yang mohon bantuan kepada pemerintah RI, sangat jauh berbeda dengan kasus ini)
Indonesia tidak memiliki kemampuan dalam mengelola lalulintas udara di Kawasan itu. (Berulang kali pihak Indonesia Air NAV menyatakan tentang kemampuannya. Bahkan Audit ICAO terakhir memberikan penilaian pada Indonesia dengan nilai “above global average”)
Tidak terlihat kemauan yang kuat untuk berdaulat
Agak sedikit mengecewakan dalam nuansa kehebohan FIR belakangan ini ternyata hanya beberapa orang saja yang tampak bersemangat untuk melihat Indonesia berdaulat di wilayah udara kedaulatannya. Sebagian besar justru banyak pihak dari kita sendiri yang sibuk mencari alasan pembenaran bahwa sudah selayaknya wilayah udara kedaulatan Indonesia itu diserahkan saja kepada pihak Singapura. Saking geramnya mantan Menlu RI bahkan menyatakan keheranannya koq ada orang Indonesia yang jelas jelas bersikap sebagai Lawyer nya Singapura dalam hal FIR ini.
Kurang jelas juga tentang apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya. Bila pihak Singapura yang bersikap mati matian mempertahankan posisi untuk tetap berkuasa diwilayah kedaulatan negara lain dalam hal ini Indonesia jelas karena keuntungan besar yang hendak dipertahankannya. Bila orang Indonesia yang juga bersikap keras membela pihak Singapura menjadi kurang jelas apa yang melatarbelakanginya. Sulit dipercaya, apakah mereka itu, jangan jangan menjadi pihak yang juga memperoleh keuntungan selama ini dari status wilayah udara kedaulatan RI berada dibawah kekuasaan Singapura. Sekali lagi amat sangat sulit untuk mempercayai hal ini. Serendah itukah mereka bersikap, serendah itukah semangat kebangsaan yang dimilikinya, serasa tidak mungkin hal itu terjadi, sulit dipercaya. Sebuah masalah yang mengundang kita semua untuk merenungkan kembali masalah penting ini. Mungkin sekali bisa saja pemahaman tentang hakikat martabat bangsa dan kebanggaan sebagai warga negara sebuah negara besar belum dapat diresapi dalam konteks FIR ini. Bagi mereka yang tidak mengalami sendiri kesulitan yang terjadi di lapangan memang mungkin saja menjadi sulit untuk dapat dimengerti apa sebenarnya yang terjadi. Bagi mereka yang tidak mengalami sendiri pelecehan yang sering terjadi selama ini di lapangan bisa saja menjadi tidak mengerti untuk bersikap. Tidak mengerti bahwa kondisi itu telah menyebabkan demikian banyak penerbangan gelap tanpa ijin yang memasuki wilayah Indonesia.
Entah apalagi yang harus dikerjakan, mengingat pada realitanya sebuah keputusan telah diambil untuk mempertahankan status FIR Singapura yang masuk jauh kedalam wilayah udara kedaulatan Ibu Pertiwi. Untuk mempertahankan batas FIR antara Indonesia dengan Singapura menjadi jauh berbeda dengan batas FIR antara Singapura dan Malaysia, dengan batas FIR antara Indonesia dengan Malaysia. Batas FIR Singapura dengan Malaysia merujuk kepada batas negara Singapura dan Malaysia. Batas FIR Singapura masuk jauh kedalam wilayah udara kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Sebuah masalah yang memerlukan renungan tiada akhir dengan latar belakang sayup sayup menggema anekdot tentang kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah. Sebuah sikap yang merefleksikan tidak memiliki kebanggaan sebagai bangsa, tidak memiliki keinginan untuk merdeka. Sejatinya diluar dari kesemua itu barangkali sebuah cerminan pula dari bagaimana masalah teknis penerbangan yang dikelola dan diselesaikan oleh para Politisi bukan oleh para professional yang ahli dan berkompeten di bidangnya.
Sebagai penutup perlu dikutip penjelasan dari Samuel Huntington dalam bukunya The Soldier and the State yang antara lain mengatakan bahwa pebisnis dan politisi jelas yang dikejar adalah uang dan kekuasaan. Sementara para professional bekerja pada bidang profesi plus kompetensi dengan sepenuhnya merujuk pada tanggung jawab profesional sekaligus tanggung jawab sosial sesuai code of conduct alias kode etik.
Jakarta 18 Februari 2022
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia