Belakangan ini banyak sekali orang membicarakan tentang FIR dan terlihat pula di berbagai banyak media perbincangan yang cukup “panas” mengenai FIR. Dipastikan satu atau dua minggu kedepan semua orang sudah akan melupakannya lagi. Selama ini kita memang belum memberi perhatian yang cukup bagi banyak hal dibidang penerbangan dan keudaraan. Saya sendiri sudah mengangkat masalah FIR sejak tahun 1970-an dan telah menulis ratusan artikel serta tiga buah buku tentang FIR.
Pemicu hangatnya isu tentang FIR yang telah mencuat menjadi trending topik minggu ini adalah diumumkannya persetujuan bersama Indonesia Singapura. Presiden sendiri menyatakan dalam pidato resminya bahwa sekarang ini FIR Jakarta telah mencakup seluruh wilayah teritori Negara Republik Indonesia, Alhamdulilah. Seperti diketahui , sudah sejak tahun 1946 wilayah udara kedaulatan RI di perairan Natuna dan Riau berada dibawah kekuasaan Otoritas Penerbangan Kolonial Inggris di Singapura dan kemudian berlanjut oleh Republik Singapura. Momentum ini, secara berseloroh saja dapat pula dipandang sebagai berakhirnya sisa sisa dan ampas dari era dan gaya kolonialisme dengan ciri khas yaitu menguasai wilayah kedaulatan negara lain.
Kesepakatan yang dicapai dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi tentu saja disambut dengan penuh antusias oleh masyarakat luas, terutama komunitas penerbangan Indonesia. Sudah cukup lama masyarakat penerbangan Indonesia merasa “tertindas” dalam aktifitas mereka di kawasan Riau dan Natuna yang pada hakikatnya adalah merupakan rumah mereka sendiri. Terbang berangkat dari Tanjung Pinang ke Natuna harus minta ijin terlebih dahulu dan kerap menunggu cukup lama untuk memperoleh “clearance” nya. Tidak ada kebebasan dan kemerdekaan bergerak dikawasan teritori kita sendiri, kecuali mohon ijin terlebih dahulu kepada negara tetangga. Sebuah kondisi yang sangat sulit dipahami bagi mereka yang tidak pernah mengalaminya sendiri.
FIR Jakarta pada akhirnya dinyatakan oleh Presiden sebagai sudah mencakup seluruh wilayah territorial Republik Indonesia. Sayangnya adalah, pengumuman ini diikuti dengan penjelasan bahwa Indonesia akan mendelegasikan kewenangannya kepada otoritas penerbangan Singapura untuk mengelola wilayah udara kedaulatan RI yang selama ini memang berada dibawah kekuasaan Singapura. Terutama pada ketinggian permukaan laut hingga 37.00 kaki. Dengan demikian, dilihat sekilas saja maka sangat wajar bila kemudian muncul respon keliru dan miring yang mengatakan bahwa “Sama Juga Boong”. Namun sebenarnya, kali ini paling tidak sudah ada “kemajuan” yang cukup jelas yaitu bahwa wilayah tersebut adalah milik RI dan kemudian RI yang mendelegasikannya kepada Singapura. Menjadi jelas siapa pemiliknya. Orang awam sama sekali tidak paham tentang ketinggian 0 sampai dengan 37.000 kaki adalah wilayah yang padat trafficnya dan tentu saja berdampak kepada besarnya pemasukan dana bagi pelayanan navigasi.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa di delegasikan. Kemungkinan jawaban hanya 2 yaitu bahwa secara internasional Indonesia tidak dipercaya dalam mengelola wilayah tersebut. Jawaban lainnya adalah kita sendiri yang tidak percaya diri untuk mengelolanya. Diperoleh penjelasan kemudian alasannya, bahwa traffic yang padat itu di delegasikan karena menghindari fragmented kewenangan di Bandara Changi. Penjelasan ini dapat diterima akal sehat, hanya apabila untuk ketinggian sampai dengan 10 atau 15.000 kaki saja. Kepadatan traffic take off dan landing hanya pada ketinggian tersebut, karena diatas 15.000 kaki kepadatan traffic tidak terjadi karena sudah atau masih terpencar titik kedatangan dan keberangkatannya. Walaupun masih dapat dipertanyakan juga bila fragmented mengapa di delegasikan, justru harusnya diambil alih seluruhnya saja sampai pihak Changi menerima matang di kawasan Changi Tower. Sekali lagi pertanyaannya mengapa didelegasikan.
Pertanyaan ikutannya adalah, apabila benar Indonesia tidak dipercaya dan atau tidak percaya diri, maka mengapa pula sampai 25 tahun dan bisa diperpanjang. Sebuah pernyataan yang dapat dipersepsikan keliru oleh banyak pihak bahwa hal itu merefleksikan rasa rendah diri Indonesia dalam kemampuan mengelola air traffic. Bila kita belum mampu , kiranya cukup memerlukan waktu 5 atau 10 tahun untuk mengejar kemampuan tersebut dan tidak atau jauh dari 25 tahun. Indonesia sangat mampu mengelola air traffic yang dibuktikan dalam pengelolaam FIR Jakarta dan Makassar selama ini. Bahkan pada titik tertentu kepadatan di Soekarno Hatta jauh diatas Changi. Bahkan tingkat pengelolaan air traffic penerbangan sipil komersial pada aspek keselamatan penerbangan Indonesia , hasil dari audit ICAO (International Civil Aviation Organization) terakhir adalah “above global avarage”, diatas rata rata nilai dunia. Sehingga agak sulit untuk mencari cari alasan sebagai upaya pembenaran dari pendelegasian yang berjangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menyelamatkan muka Presiden RI yang menyatakan bahwa FIR Jakarta sudah mencakup seluruh wilayah teritori Indonesia. Pernyataan yang diikuti dengan proses pendelegasian wewenang sampai dengan 25 tahun dan diperpanjang. Pernyataan yang dapat saja memunculkan penilaian keliru dan sinis bahwa hal tersebut “sama juga boong”. Sulit dipercaya bila Indonesia dinyatakan tidak mampu atau tidak berdaya mencapai kemampuan dalam mengelola air traffic diwilayah udara kedaulatannya sendiri. Sekali lagi bahwa sudah sejak puluhan tahun Indonesia mengelola FIR Jakarta dan Makassar lengkap dengan air traffic internasionalnya.
Terlepas dari kesemua itu, maka apapun yang telah kita capai sampai dengan adegan Presiden menyatakan dalam sebuah forum bergengsi bahwa kini Indonesia telah mencapai kemampuan mengelola air traffic diseluruh wilayah teritorinya patut di apresiasi dan dihormati. FIR Jakarta sekarang ini sudah mencakup seluruh wilayah udara teritori kedaulatan Indonesia.
Perjuangan berikutnya adalah tentang bagaimana cara untuk mengakhiri tenggang waktu “pendelegasian” yang mengundang “tanda tanya” itu. Pekerjaan rumah kita, kiranya semua pihak akan dengan senang hati membantu Pemerintah, Kementrian Perhubungan, Direktorat Perhubungan Udara untuk bekerja keras dan cerdas untuk ini semua. Selamat atas berperannya FIR Jakarta di Kawasan perairan laut Riau dan Natuna.
Ingalah Presiden Soekarno, sejak jauh hari memang telah berpesan “For the Fighting Nation there is no Journey’s end” Ayo maju pantang menyerah.
Jakarta 28 Januari 2022
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia