Perkembangan Negosiasi Pengambilalihan FIR Singapura
Expert Meeting, Perkembangan Negosiasi Pengambilalihan FIR Singapura
Senin 21 Oktober 2019, Ruang Guru Besar, Kampus Fakultas Hukum UI Depok. Pukul 13.30 wib.
Nara Sumber : Chappy Hakim.
Kepala Staf Angkatan Udara RI tahun 2002 – 2005
Ketua Timnas EKKT tahun 2007
Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia
Pendahuluan.
Belakangan ini tersebar isu yang cukup hangat tentang FIR yaitu berkait dengan Pengambilalihan FIR Singapura. FIR Singapura adalah sebuah area pelayanan informasi penerbangan yang berada sebagian besar di wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan ini sudah lama berlangsung yaitu sudah sejak tahun 1946. Isu FIR baru muncul di permukaan setelah pada tanggal 8 bulan September tahun 2015 keluar Instruksi Presiden RI untuk mengambil alih FIR Singapura. Instruksi Presiden ini cukup mengagetkan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar negeri. Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri bidang Keamanan Singapura Theo Chee Hean mengadakan kunjungan kehormatan yang diterima Presiden Jokowi di Istana Merdeka Selasa 24 Nopember 2015, kurang dari 3 bulan sejak keluar perintah Presiden tentang FIR Singapura. Tentu saja yang dibicarakan adalah tentang “kaget” nya Singapura berkenaan dengan Instruksi Presiden untuk mengambil alih FIR Singapura. Di dalam negeri sendiri, hanya beberapa bulan sebelum keluar Instruksi Presiden Menteri Perhubungan menyatakan bahwa masalah FIR belum menjadi prioritas kerja Kementrian Perhubungan dalam waktu dekat ini dan ternyata sekonyong-konyong muncul Perintah Presiden untuk mengambil alih FIR Singapura. Semua “kaget” dengan keluarnya Perintah Presiden tersebut.
Masalah FIR selama ini mengganjal dan hanya diketahui oleh mereka yang dalam kegiatan profesinya memang berhadapan dengan banyak kesulitan dalam pelaksanaan tugas. Mereka itu antara lain adalah jajaran Angkatan Udara yang bertanggung jawab terhadap penegakkan kedaulatan Negara di Udara dan para Pilot serta petugas ATC (Air Traffic Control) dan beberapa pejabat di Kementrian terkait. Itu sebabnya tidak banyak yang mengetahui dengan benar persoalan FIR seperti mereka yang dalam kesehariannya berhadapan dengan banyak kesulitan sebagai akibat dari Otoritas Singapura yang mengelola wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia.
Sekali lagi, masalah FIR baru berkembang luas setelah keluar Perintah Presiden untuk mengambil alih FIR Singapura. Itu sebabnya , dapat dimaklumi kemudian banyak komentar-komentar bermunculan tentang FIR dari mereka yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai FIR. Salah satu yang menyesatkan dan selalu di ulang-ulang adalah penekanan tentang FIR yang disebut sebagai tidak ada hubungannya dengan Kedaulatan.
FIR dan Kedaulatan
FIR sangat melekat dengan persoalan kedaulatan dan tidak mungkin FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan. Semua negara anggota PBB secara otomatis menjadi negara anggota ICAO (International Civil Aviation Organization). Semua negara anggota PBB yang menjadi anggota ICAO terdiri dari negara-negara yang berdaulat. Itu sebabnya maka tidak ada satu pun negara yang mendapatkan pengakuan dari ICAO dan diberikan otoritas untuk menyelenggarakan pelayanan FIR yang merupakan negara yang tidak berdaulat. Ini saja sudah cukup menjelaskan dengan “loud and clear” tentang hubungan FIR dengan Kedaulatan.
FIR Singapura tidak bisa disamakan dengan kawasan Pulau Chrismast milik Australia dan wilayah Timor Leste yang didelegasikan wewenang pengelolaannya kepada otoritas penerbangan Indonesia. Pulau Christmas di lola pemerintah Indonesia atas permintaan Australia karena lokasinya jauh dari Benua Australia dan lebih dekat dengan Jakarta serta traffic nya hanya 1 sampai 2 pesawat saja dalam 1 minggu. Kawasan Udara Timor Leste di kelola Indonesia karena Timor Leste tidak mempunyai kemampuan untuk mengelolanya sendiri. Demikian pula FIR Singapura tidak dapat disamakan dengan apa yang terjadi di Eropa, karena Eropa sudah menyatu dalam Uni Eropa dan sistem pengelolaan lalu lintas udaranya sudah terpadu dalam satu institusi dibawah Uni Eropa bernama “Euro Control” dalam naungan EASA (European Union Aviation Safety Agency). Penekanannya dalam hal ini adalah pada kasus Christmas Island dan Timor Leste hal tersebut terjadi sebagai akibat permintaan dari Australia dan Timor Leste untuk mendelegasikan wewenangnya kepada Indonesia. Sedangkan pada kasus FIR Singapura, Indonesia tidak pernah meminta pihak Singapura untuk mengelola wilayah udara kedaulatannya. Di permukaan justru terlihat bahwa pihak Singapura yang menginginkan pihak Indonesia mendelegasikan wewenangnya kepada Singapura. Terlihat aneh, akan tetapi mejadi tidak aneh karena dengan kondisi yang seperti itu Singapura banyak memperoleh keuntungan besar dalam aspek pertahanan keamanan negara sekaligus keuntungan finansial dari biaya “air traffic” dengan kecenderungan yang terus meningkat setiap tahunnya.
Pasca Instruksi Presiden.
Instruksi Presiden di bulan September tahun 2015 benar-benar mengagetkan dan dapat di kategorikan sebagai “the wake up call”. Singapura segera terbangun dan langsung mengutus Wakil Perdana Menterinya ke Jakarta untuk mengkonfirmasi Instruksi Presiden tersebut. Sementara di Indonesia terlihat sekali Stake Holder Penerbangan dan semua pihak yang terkait tersentak dengan Instruksi Presiden yang sangat jelas dan tegas itu. Mereka seolah terbangun dari tidur nyenyak dalam masalah FIR yang ternyata sudah berlangsung sejak tahun 1946. Sementara pihak yang selama ini memang sudah merasa terganggu sejak lama dengan keberadaan FIR Singapura tentu saja menyambut dengan gembira Instruksi Presiden tersebut.
Sayangnya adalah, setelah keluar Instruksi Presiden tersebut justru di dalam negeri terlihat pecahnya menjadi 2 pihak yang merespon Instruksi Presiden tersebut. Satu pihak mendukung tanpa reserve dan siap melaksanakannya sementara pihak lainnya justru terlihat “enggan” untuk melaksanakan dengan segera Instruksi tersebut. Keengganan pihak tersebut memancar kemudian dengan pernyataan-pernyataan antara lain sebagai berikut :
FIR tidak ada hubungannya dengan Kedaulatan Negara dan hanya berhubungan dengan Aviation Safety.
Kita belum siap dengan tenaga sdm dan dana yang cukup.
Indonesia tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan Singapura dalam melayani penerbangan di wilayah FIR Singapura dan akan membahayakan lalulintas penerbangan internasional di Changi.
Indonesia harus tetap memberikan wilayah udara kedaulatannya kepada Singapura dan bahkan membenarkan tindakan sepihak Singapura yang mendeklarasikan “danger area” di wilayah udara kedaulatan RI. Indonesia harus memfasilitasi kawasan yang diberikan judul “traditional training area”. Khusus mengenai hal ini kemudian dihubung-hubungkan dengan UNCLOS 82.
Pernyataan-pernyataan diatas sangat disayangkan, karena telah menjadi “bola liar” yang memperlihatkan sebuah sikap yang kurang menyetujui Instruksi Presiden dalam hal pengambilalihan FIR Singapura. Pernyataan-pernyataan diatas sayup-sayup terdengar sebagai sebuah nada yang mewakili kepentingan pihak Singapura.
Sebelum Instruksi Presiden keluar, cukup banyak tulisan-tulisan saya yang beredar dan mendapatkan respon dari pihak Singapura. Anehnya setelah Instruksi Presiden keluar, tidak ada lagi tulisan atau pernyataan reaksi dari Singapura. Dengan mengacu kepada perkembangan ini dapat dipahami dan dilihat dengan jelas, bahwa “diam” nya pihak Singapura, bisa saja karena melihat bahwa kepentingan mereka sudah ada yang mewakili di Indonesia.
Penjelasan
Dalam membahas tentang FIR, setidaknya harus dipahami benar bahwa ada 3 hal penting yang berbaur didalamnya yaitu tentang Kedaulatan, Inter Nation Relationship dan International Civil Aviation Safety Regulation. Masalah hubungan antar negara dan persoalan keselamatan penerbangan Internasional sama sekali tidak dapat kemudian mengabaikan masalah “kedaulatan negara di udara” atau Air Sovereignty. Acuan standarnya adalah Konvensi Chicago 1944, yang menjelaskan bahwa kedaulatan Negara di Udara adalah Komplit dan Ekslusif.
Tentang kesiapan sdm dan dana dalam proses pengambilalihan FIR Singapura, sama sekali tidak ada masalah. Berulang kali kita sudah mendengar dari pihak Indonesia Air Nav tentang kesiapan mereka dalam urusan pengambilalihan FIR Singapura. Mengenai Dana akan sangat mudah memperoleh investor dalam pengelolaan ruang udara di atas kepulauan Riau yang Air Traffic nya cukup padat. Traffic yang padat berarti sebuah indikator ekspektasi pemasukan bagi keperluan pelayanan informasi penerbangan dapat di penuhi. Keberanian Singapura memfasilitasi jutaan dolar dalam mengelola FIR menunjukkan dengan gamblang bahwa bayangan pemasukan devisa akan segera diperoleh dan sangat menjanjikan dari terus berkembangnya lalulintas udara di kawasan tersebut yang terjadi setiap tahunnya.
Sinyalemen mengenai ketidak mampuan Indonesia menangani FIR Singapura adalah pernyataan yang sangat merendahkan. Indonesia memiliki FIR Jakarta dan FIR Makassar yang juga melayani traffic penerbangan Internasional. Belakangan ini justru sangat banyak permintaan penambahan slot penerbangan ke Indonesia antara lain ke Jakarta dan Bali. Semua menunjukkan bukti nyata tentang pengakuan dunia penerbangan Internasional terhadap kemampuan Indonesia melayani penerbangan dengan aman dan nyaman. Audit ICAO terakhir menunjukkan score Indonesia dalam hal keselamatan penerbangan sudah mencapai angka yang “above global avarage”. Disisi lain kepadatan take off landing pesawat di Changi tidak lebih padat dari yang terjadi setiap hari di Bandara Soekarno Hatta , Cengkareng.
Terakhir tentang danger area yang disebut-sebut harus difasilitasi dengan merujuk Unclos 82 kiranya perlu dibahas lebih lanjut, karena agak sulit untuk dapat dimengerti maksudnya. Penggunaan terminologi “traditional training area” harus dipahami bersama bahwa istilah tersebut sama sekali tidak acuan dalam hukum Internasional dan juga Hukum Nasional.
Kesimpulan dan Penutup
Proses pengambilalihan FIR Singapura sebagai sebuah tindak lanjut dari Instruksi Presiden seyogyanya dilaksanakan dengan transparan, sehingga masyarakat luas dapat mengerti dan mengikuti perkembangannya. Pelaksanaan negosiasi yang tengah berlangsung sekarang ini yang sudah memasuki tahun ke 4 sejak tahun 2015 terkesan tertutup. Pada dasarnya proses pengambilalihan FIR Singapura seharusnya berangkat dari kepentingan nasional NKRI, tidak sebaliknya justru ada kesan mengakomodasi kepentingan Singapura. Pada titik tertentu yang agak detil dan teknis seyogyanya didengar pendapat dari para praktisi di lapangan dan juga para akademisi , ahli hukum udara. Data-data di Angkatan Udara, dalam hal ini di Kohanudnas tentang pelanggaran wilayah udara kedaulatan Indonesia harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan. Urusan penerbangan di wilayah udara kedaulatan harus dapat dimengerti bahwa tidak hanya menjadi urusan Civil Aviation akan tetapi juga harus mempertimbangkan masalah pertahanan keamanan negara yang berkait langsung dengan mekanisme pengamanan wilayah udara nasional.
Sebagai penutup, Pengambilalihan FIR Singapura kiranya dapat menjadi sebuah langkah awal bagi Indonesia untuk menunjukkan kemampuan di pentas global dalam urusan pengelolaan penerbangan yang aman dan nyaman.
Jakarta 2 Desember 2019
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia