Pada tanggal 10 Mei yang lalu telah terjadi hal yang sangat fatal dalam dunia penerbangan kita, yaitu lolosnya penumpang dari luar negeri tanpa pemeriksaan imigrasi.
Terjadi di Cengkareng dan beberapa hari kemudian di Bali. Sebuah kecerobohan atau keteledoran fatal dari manajemen sebuah maskapai Penerbangan.
Menjadi lebih fatal lagi karena ternyata Kementrian Perhubungan sebagai National Civil Aviation Authority mengetahuinya bukan dari aparat jajaran petugasnya di lapangan, akan tetapi justru dari media sosial.
Pengaduan berupa curhat dari seorang warga negara yang memiliki tanggung jawab yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara yang baik.
Kondisi itu menjadi wajar saja memunculkan dugaan banyak orang bahwa sebenarnya hal itu adalah sebuah kejadian yang biasa terjadi. Sebab bila tidak muncul di media sosial maka kitapun semua tidak ada yang tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang sangat fatal dan sudah menyentuh aspek “keamanan nasional”.
Keamanan nasional dalam konteks ancaman global menghadapi terorisme dan bahaya narkoba.
Coba kita bayangkan, bagaimana proses pengelolaan dari perpindahan penumpang internasional ke penerbangan domestik.
Lebih-lebih arus barang dari penerbangan domestik ke penerbangan internasional dan sebaliknya yang sering menggunakan pesawat yang sama. Dimana pemerikasaan dilakukan atau bahkan mungkin tidak dilakukan pemeriksaan yang kesemua itu telah menjadi titik rawan yang sangat kritis dalam konteks pengelolaan “keamanan nasional”.
Kementrian Perhubungan dengan sigap kemudian menjatuhkan sanksi berupa pembekuan sementara ground handling yang bekerja pada saat itu dan maskapai penerbangan memecat sang supir yang dianggap sebagai biang kerok karena membawa penumpang asal luar negeri ke terminal kedatangan domestik.
Yang menambah meriah lagi adalah munculnya perlawanan dari pihak maskapai penerbangan terhadap keputusan yang dijatuhkan sebagai sanksi kelalainnya itu.
Seperti biasa yang muncul adalah kehebohan luar biasa, semua orang ribut dan mempermasalahkan kejadian tersebut dan muncul secara sporadis tuntutan untuk menghukum siapa-siapa saja yang dianggap bersalah.
Dengan mudah diramalkan kehebohan ini akan berlangsung sebentar saja dan kemudian kita semua akan sudah melupakannya sampai nanti terjadi lagi kejadian fatal lainnya. Sebagai ilustrasi sedikit saja yaitu tentang kejadian fatal sebelumnya yaitu tabrakan pesawat di Halim di bulan April yang lalu.
Jumlahnya justru bertambah
Saat itu ribut-ribut yang memunculkan kehebohan luar biasa dan dalam waktu sebentar saja sudah hilang ditelan bumi.
Kemudian terjadi kejadian fatal berikutnya yaitu penumpang asal luar negeri dapat keluar dari terminal domestik.
Inilah suatu kebiasaan yang memang tengah kita lakoni bersama. Satu kebiasaan yang “sangat luar biasa”, karena tidak hanya sampai pada titik dilupakan saja akan tetapi ada proses penambahan persoalan yang sama untuk diulangi kembali.
Sesaat setelah kejadian tabrakan di Halim, hanya selang beberapa hari saja terjadi lagi dua peristiwa mirip yaitu “hampir” atau nyaris tabrakan pesawat yang fatal .
Tidak ada pembahasan mendalam, selain kemudian justru kini sedang digodok bagaimana menambah lagi rute penerbangan komersial di Halim menjelang liburan Lebaran nanti.
Realitanya, beberapa waktu setelah kejadian tabrakan di Halim justru jumlah penerbangan komersial menjadi bertambah banyak yaitu ditingkatkan menjadi lebih kurang 100 take off dan landing penerbangan komersial dalam satu hari.
Sudah tidak diketahui lagi bagaimana nasib 4 skadron udara yang berpangkalan di Lanud Halim Perdanakusuma dalam melaksanakan operasi dan latihan penerbangannya sehari-hari.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan mudah dapat dikaji dengan akal sehat dan pemikiran yang jernih yaitu ada kesalahan mendasar dalam pengelolaan penerbangan kita secara keseluruhan yang sudah terlanjur terjadi bertahun-tahun lamanya.
Direktur Utama Angkasa Pura dan Menteri Perhubungan yang baru adalah pejabat yang menjadi “korban” harus menghadapi tantangan luar biasa berat untuk menerima kondisi dunia penerbangan kita yang sudah terlanjur “amburadul”.
Indikasi amburadul ini dengan sangat sederhana dapat dilihat pada kondisi 10-15 tahun belakangan ini yang menunjukkan pesatnya pertumbuhan penumpang yang tidak diiringi dengan ketersediaan sumber daya manusia penerbangan (antara lain pilot, teknisi dan Air Traffic Controller) serta kesiapan infrastruktur.
Ditambah lagi minusnya kemampuan unjuk kerja Kementrian Perhubungan yang antara lain sudah mengalami penyakit kronis kekurangan Inspektor Penerbangan.
Indikasi yang sangat mencolok dan terang benderang dalam hal ini adalah, penjelasan dari pihak Angkasa Pura sendiri beberapa tahun lalu bahwa kapasitas Cengkareng yang sudah hampir tigakali lipat dari kemampuan pelayanannya.
Bandara yang didisain hanya untuk 22 juta penumpang per tahun kini harus melayani lebih kurang 60 juta penumpang setiap tahunnya. Hasilnya adalah delay penerbangan yang begitu parah terjadi.
Lebih parah lagi, kesemrawutan itu justru kini dipindahkan ke Halim.
Laporan terkahir adalah banyak penumpang yang mengeluh saat tiba di Halim yang harus berputar-putar dulu di atas lebih kurang satu jam untuk baru bisa landing.
Circle of uncertainty
Ternyata setelah tabrakan pesawat di Halim yang kemudian terjadi adalah justru jumlah penerbangannya ditambah (believe it or not).
Percaya atau tidak, silakan cek jumlah penerbangan setiap harinya pada saat tabrakan terjadi dengan jumlah penerbangan setelah kejadian tabrakan. Yang pasti beberapa hari lalu sudah masuk permohonan penambahan rute penerbangan baru di Halim dari dua maskapai penerbangan yang beroperasi di dan dari Halim.
Dunia penerbangan kita benar-benar tengah berada dalam lingkaran yang berputar tidak menentu, berada dalam circle of uncertainty.
Permasalahan yang muncul tidak pernah ditangani dengan baik, dalam arti tidak pernah menyentuh akar dari permasalahan sebenarnya. Solusi yang dipilih kerap justru memperparah keadaan
Demikian pula dengan respons maskapai penerbangan sebagai operator yang berupaya melakukan perlawanan terhadap terhadap sanksi yang dijatuhkan Kementrian Perhubungan sebagai otoritas penerbangan nasional.
Respons ini merupakan satu refleksi dari kebiasaan maskapai penerbangan yang kemungkinan besar tidak biasa tunduk dengan aturan, tidak biasa menjadi pelaku yang harus mau diatur oleh regulator pemegang otoritas penerbangan.
Satu kebiasaan dari sebuah maskapai penerbangan yang tidak nyaman dengan posisinya sebagai obyek yang harusnya tunduk dengan aturan yang dikeluarkan oleh otoritas penerbangan.
Satu refleksi dari kebiasaan yang tidak atau kurang memahami rules of the game dunia penerbangan. Pemahaman yang keliru tentang dimana posisinya berada, sebagai operator penerbangan dalam menghadapi otoritas penerbangan.
Jangan-jangan, mudah-mudahan tidak benar, bahwa justru sang maskapai selama ini memang berada dalam posisi yang “mengatur” sang regulator. Paling tidak di sini tercermin betapa kurang dipahaminya bahwa siapa yang harus mengatur dan siapa yang harus diatur.
Menjadi wajar kemudian mereka melakukan “perlawanan” terhadap sanksi yang diterimanya.
Di Cengkareng ada unit Otoritas Penerbangan, ada institusi pengela bandara yaitu Angkasa Pura 2 dan ada satuan polisi berwujud Polres Metro Bandara Soekarno Hatta.
Disamping itu ada personil TNI termasuk pasukan marinir yang jumlah seluruhnya ratusan orang. Dengan kondisi seperti itu, tetap saja terjadi penumpang dari luar negeri yang dapat keluar melalui terminal domestik.
Ini adalah obyek dari sebuah kajian menarik dari siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan mutlak dalam penyelenggaraan pengamanan Bandara Cengkareng dan bandara-bandara lainnya di Indonesia.
Dunia penerbangan dikenal dengan dinamikanya yang sangat cepat, bahkan sering dimunculkan jargon-jargon yang mengingatkan orang-orang yang berada didalamnya untuk memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi.
Antara lain misalnya penerbangan adalah simbol dari “Speed – Power – Accuracy”. Dunia penerbangan yang sangat bergerak cepat juga selalu melibatkan banyak sekali unit kerja yang berada di dalamnya yang harus berada dalam sistem roda gigi yang penuh keteraturan.
Dengan tuntutan seperti itulah maka diperlukan adanya “Authority” dengan wewenang komando dan pengendalian yang terpadu. “Command and Control” yang berada dalam naungan “Unity of Command” , komando tunggal yang terpadu.
Kesemua itu diperlukan, karena dunia penerbangan yang berada dalam garis depan kemajuan teknologi menuntut sebuah keteraturan yang tanpa kompromi yang harus dibangun dalam disiplin yang tinggi.
Disiplin yang tinggi akan mustahil tanpa dijalankannya pengawasan yang ketat terus menerus atau “continues closed monitoring”.
Disisi lain harus pula selalu diikuti dengan hukuman berefek jera dan tiada maaf bila terjadi pelanggaran terhadap aturan, ketentuan dan regulasi yang berlaku.
Lingkungan penerbangan memang kemudian menjadi tidak nyaman, karena terlalu banyak aturan dan harus diikuti tanpa kompromi. Kelalaian sedikit saja sudah cukup untuk membuka peluang bagi kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Dunia penerbangan sangat menuntut keteraturan dan itulah sebabnya pula kemampuan mengatur harus seimbang dengan jumlah yang diatur baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Disinilah inti sarinya dari sebuah dasar-dasar prinsip manajemen dalam dunia penerbangan yang unik itu.
Selama tidak dilakukan satu langkah yang fundamental sifatnya dalam membenahi dunia penerbangan kita yang sudah terlanjur amburadul, maka berhentilah mengharapkan keamanan dan keselamatan dalam dunia penerbangan kita.
Jakarta 20 Mei 2016,
Chappy Hakim
Sumber – Kompas.com , Editor – Amir Sodikin