Pendahuluan
Belakangan ini telah berserakan drone di perairan nusantara yang telah memunculkan berbagai respon dari banyak pihak. Drone adalah ujud dari sebuah product teknologi mutakhir yang telah banyak membuat segala sesuatu menjadi jauh lebih efisien, simpel dan relatif berukuran kecil. Drone adalah unmanned vehicle yang dapat dikendalikan dari jarak jauh dan dapat menjalankan beraneka misi sesuai keinginan. Tentu saja penggunaan drone tidak terbatas kepada keperluan militer akan tetapi juga kegiatan lain yang berhubungan dengan hobi serta manfaat lain termasuk untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Drone telah banyak sekali dikembangkan oleh berbagai negara dan juga dengan banyak sekali tujuan yang hendak dicapai dalam penggunaannya. Drone juga telah dibuat dalam berbagai ukuran dan bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Drone telah berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi yang dikenal sebagai era digital dan Artificial Inteligent. Hal tersebut telah menjadikan drone dapat digunakan pada berbagai macam misi kemanusiaan dengan maksud damai maupun untuk keperluan pengintaian, mata mata, spionase, sabotase dan atau terror. Sebagaimana produk teknologi lainnya maka drone juga kerap mengalami “technical failure” seperti lepas kendali dan kemudian tercecer kemana-mana. Itulah yang terjadi di perairan kita belakangan ini, beberapa Unmanned Vehicle atau drone yang lepas kendali dan ditemukan oleh para nelayan. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa nelayan atau orang awam lainnya melihat drone tersebut sebagai “benda asing” atau “foreign object”. Dari bentuknya dipastikan nelayan dan orang awam tidak akan tahu tentang kegunaan dari benda asing tersebut apakah untuk maksud damai seperti penelitian atau riset bawah laut atau untuk keperluan pengintaian kandungan kekayaan alam, spionase, sabotase atau keperluan misi militer lainnya. Intinya adalah nelayan memberlakukan temuannya itu sebagai benda asing atau foreign object yang menyebabkannya kemudian menyerahkan temuan itu kepada pihak yang berwajib atau aparat keamanan setempat.
Berikut ini kisah panjang negara negara di dunia dalam menghadapi kemajuan teknologi berkait dengan foreign object atau benda asing dan kaitannya dengan masalah pertahanan keamanan negara.
Balon sebagai Foreign Object
Pada tanggal 23 April tahun 1784 Polisi Perancis mengeluarkan larangan khususnya kepada Montgolfier Brothers yang sedang bereksperimen membuat balon udara. Kepada Montgolfier Brothers hanya boleh menerbangkan balon percobaannya setelah menerima ijin terlebih dahulu dari pihak kepolisian. Larangan ini keluar dengan pertimbangan kepada keselamatan masyarakat yang berada disekitar kawasan percobaan. Balon ketika itu masih berstatus sebagai “benda asing” atau barang baru.
Menjelang tahun 1910, pemerintah Perancis menyatakan keberatan setelah beberapa kali balon udara milik Jerman yang kedapatan masuk kedalam wilayah terirori Perancis. Berdasar kepada keselamatan penduduk, dan pertimbangan terhadap sistem pertahanan keamanan negaranya, pemerintah Perancis mengajak Pemerintah Jerman untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan serius ini dalam sebuah persetujuan untuk kesepakatan bersama. Maka terselenggaralah Paris Conference pada tahun 1910, yang merupakan pertemuan Internasional pertama membahas kedaulatan negara di udara. Hasil awal yang dicapai adalah kesepakatan untuk tidak menganut teori “freedom of the air”, kebebasan bergerak di udara.
Ketika selesainya perang dunia pertama, pada tanggal 8 Februari 1919 untuk pertamakalinya dibuka perhubungan udara dalam jejaring antara negara yaitu penerbangan rute Paris – London pulang pergi. Penerbangan yang melewati batas negara segera saja mengundang tentang kebutuhan regulasi internasional yang harus dipatuhi masing masing negera. Atas nama pertahanan dan keamanan dalam aspek National Security Awareness, kewaspadaan nasional maka secara bertahap disepakati bersama tentang kedaulatan negara di udara. Selanjutnya maka kedaulatan negara di udara telah menjadi peran sentral dalam masalah penerbangan. Hal ini nyata sekali terlihat dalam persetujuan yang dicapai pada Paris Convention 1919 yang membicarakan tentang regulasi dari Aerial Navigation. Persetujuan itu kemudian dikukuhkan dalam Chicago Convention on International Civil Aviation di tahun 1944 yang menggaris bawahi bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif. Kesepakatan ini diakui sebagai sebuah persetujuan yang garis besarnya “sangat” berlatar belakang pemikiran militer dalam arti kepentingan pertahanan keamanan negara. (Introduction to Air Law-tenth edition- Pablo Mendes de Leon – publish by Kluwer Law Interntional B.V. The Netherlands – hal 3 dan 9. In France for instance, a police directive was issued on 23 April 1784 aimed directly and exclusively at the balloons of the Montgolfier Brothers, flight may not to take place without prior authorization, etc, etc )
Pearl Harbor
Serangan mendadak oleh Jepang merupakan kejadian yang sangat tidak diduga oleh Amerika Serikat. 7 Desember 1941 tanggal yang tidak akan dilupakan oleh Amerika Serikat sebagai bangsa. Sebuah serangan yang telah meluluh lantakkan pangkalan militer Amerika terbesar di Pasifik. Sebuah serangan yang digambarkan oleh George and Meredith Friedman sebagai The origin of American Military Failure dalam bukunya The Future of War. (Contemporary military thought was born on December 7, 1941. On that day, Lt. Kermit A. Tyler, an air defense officer in Hawaii, replied to radar reports of incoming aircraft with the memorable phrase, “Well, don’t worry about it” Tyler dismissed the reports because his common sense told him that the Japanese could not be attacking Pearl Harbor. No alarm was sounded and the American Pacific fleet was shattered. As the American fleet sank, an entire way of thinking about war sank with it. This was not merely a matter of aircraft carriers eclipsing battleship. A more fundamental change was taking place as well, a change in America’s understanding of war’s relation to politics and the relation of common sense to technical expertise. Common sense was inextricably linked with complacency. Planners turned to technology to overcome this. Pearl Harbor taught American Military thinkers that war might come at any moment and at any place. An attack on Pearl Harbor had been improbable, but it nevertheless happened)
Penyerangan terhadap Pearl Harbor bahkan sama sekali tidak pernah diantisipasi oleh warga Amerika Serikat pada umumnya dan terutama oleh mereka yang tengah bertugas di Pearl Harbor. (Conceiving the Inconceivable – One of the most beautiful countries, Japan is so crowded, she have developed both a unity of social grace and a national impulse of exceeding kindness to strangers. Those of us who love her and have been treated so well by her find it impossible to Imagine her war crimes of World War II, just as after so many decade as allies, it is impossible for most Americans to imagine our two countries at war. Etc, etc ….from a book “Pearl Harbor from Infamy to greatness” – Craig Nelson- Scribner – An Imprint of Simon & Schuster, Inc. 1230 Avanue of the Americas, New York, NY 10020) Terlepas dari itu semua , toh terjadi juga sebagai sebuah kenyataan tentang penyerangan yang dilakukan oleh Jepang terhadap pangkalan militer terbesar Amerika Serikat di Samudera Pasifik. Sebuah pembelajaran besar terhadap National Security Awareness.
Pada periode inilah muncul pemikiran pemikiran tentang pengembangan dari kewaspadaan nasional yang berkait dengan masuknya benda asing kedalam teritori sebuah negara yang dalam hal ini Amerika Serikat. Pada ketika itulah muncul ide yang berhubungan dengan ADIZ, Air Defense Identification Zone.
Konvensi Chicago 1944
Perhatian banyak negara di dunia terutama setelah berakhirnya perang dunia pertama terhadap National Security Awareness terus meningkat. Kekhawatiran terjadinya serangan mendadak terhadap kedaulatan negara terutama melalui udara terus meningkat seiring dengan laju kemajuan teknologi dirgantara. Pada tahun 1944 isu dari kedaulatan negara di udara semakin mengemuka yang berdasar kepada meningkatnya teknologi pesawat terbang yang semakin canggih dalam penggunaannya sebagai alat pengintai, mata mata dan bahkan untuk melakukan penyerangan. Keseluruhan kekhawatiran banyak negara serta keinginan yang besar dalam menuju perdamaian dunia , maka diperlukan komitmen antar negara yang harus dapat dihormati dalam menjaga kedaulatan masing masing. Demikianlah maka pada tahun 1944 Konvensi Chicago berhasil menyetujui sebuah kesepakatan mengenai kedaulatan negara di udara yang “Complete and Exclusive” yang tentu saja secara otomatis berpengaruh kepada pengaturan dan perjanjian hubungan udara internasional. (On 7 December 1944, fifty two states sign the Chicago Convention, together with two agreement annexed to it, that is, the International Air Services Transit Agreement and the International Air Transport Agreement etc, etc – From a book : Introduction to Air Law-tenth edition- Pablo Mendes de Leon – publish by Kluwer Law Interntional B.V. The Netherlands)
Dengan demikian maka untuk selanjutnya konvensi Chicago 1944 berkembang sebagai rujukan baku dari perjanjian internasional yang berhubungan dengan penggunaan wilayah udara kedaulatan sebuah negara. Hal yang sangat berkembang satu diantaranya adalah dalam tata kelola pada operasi penerbangan sipil komersial antar bangsa.
Pasca Perang Dunia II
Berkahirnya perang dunia ke II setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki telah membuka dunia baru dalam perjalanannya menuju perdamaian global. Semua negara melakukan konsolidasi dan bergabung kepada organisasi dunia yang dibentuk untuk menjadi wadah hubungan antar bangsa. Organisasi itu dikenal sebagai PBB, Perserikatan Bangsa Bangsa, United Nation Organisation (UNO)
Amerika Serikat sendiri, pasca perang dunia II melakukan review atau kaji ulang dalam upaya meningkatkan kewaspadaan nasionalnya. Amerika Serikat sangat berkepentingan dalam membangun dunia kembali yang harus dimulai dari negaranya sendiri. Dalam hasil kaji ulang tentang perang dunia II, Jenderal Henry H Arnold membukukan sebuah catatan tentang ramalan mengenai perang yang akan datang. Catatannya berbunyi sebagai berikut :
The next war, will not start with a naval action nor….. By aircraft flown by human being. It might be very well start with missiles being dropped on the capital of a country, say……Washington.
Dari catatan diatas , sangat jelas terkesan mengenai betapa kemajuan teknologi kedepan akan merubah banyak hal terutama sekali dalam persoalan keamanan nasional berkait dengan kewaspadaan nasional, berkait dengan perang. Catatan ini juga sangat jelas menggaris bawahi tentang “foreign object” yang dapat digunakan sebagai alat persenjataan perang. “Missiles” adalah peluru kendali yang unmanned dengan remote control. Sebuah ramalan ditahun 1940-an yang sekarang ini telah menjelma menjadi kenyataan.
Strategic Defence Intiative Ronald Reagan
Dimasa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan (1981 – 1989) telah digelar SDI, Strategic Defense Initiative. SDI ini dalam pengertian sederhana adalah membangun pagar imajiner yang bertujuan untuk melindungi negara-negara NATO dari serangan ICBM Inter Continental Balistic Missile dari negara Pakta Warsawa. (The Strategic Defense Initiative (SDI), nicknamed the “Star Wars program”, was a proposed missile defense system intended to protect the United States from attack by ballistic strategic nuclear weapons (intercontinental ballistic missiles and submarine-launched ballistic missiles). The concept was first announced on March 23, 1983 by President Ronald Reagan, a vocal critic of the doctrine of mutually assured destruction (MAD), which he described as a “suicide pact”, and called upon American scientists and engineers to develop a system that would render nuclear weapons obsolete. – Wikipedia) Pada intinya kesiapan SDI adalah terutama sekali dalam mewaspadai foreign object, benda asing yang pada ketika itu sudah bisa berujud peluru kendali antar benua yang pasti akan merupakan ancaman bagi pertahanan keamanan negara. Perjalanan panjang dari konflik antar negara atau antar aliansi negara atau sekutu beriringan dengan laju pertumbuhan teknologi dibidang persenjataan yang menuntut tingkat kewaspadaan yang senantiasa “up to date”.
Konsep Total Defense
Sejak berkembangnya penggunaan pesawat terbang dalam peperangan, maka wajah pertempuran berubah menjadi total sifatnya. Tidak ada lagi terminologi tentang garis depan dan garis belakang dalam pertempuran, karena tidak ada lagi wilayah musuh yang tidak dapat dijangkau untuk diserang. Anatomi perang yang bersifat total menjadi pertanda awal dari konsep pertahanan keamanan negara yang harus digelar secara total pula. Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah menyebabkan seluruh negara di permukaan bumi ini dipaksa untuk membangun Angkatan Perangnya yang harus berorientasi pada dua hal utama yaitu “rely on high technology and total defense”. Perkembangan ini terlihat sangat jelas pada metoda penyelenggaraan sistem pertahanan keamanan negara terutama negara negara maju. Implementasi dari konsep pertahanan total dan penggunaan teknologi telah di demonstrasikan oleh Australia pada Exercise Kangaroo 89. (Exercise Kangaroo was a joint warfare exercise that was held by the Australian Defence Force in the 1970s and 1980s. The first iteration of Exercise Kangaroo took place in 1974. The military units involved included the aircraft carrier HMAS Melbourne, which took part in the exercise in the Coral Sea, before returning to Sydney. In October 1976, Melbourne participated in Exercise Kangaroo II, before sailing to her namesake city for the carrier’s 21st birthday celebrations, then returning to Sydney on 5 November. The 1989 iteration of Exercise Kangaroo was the largest military exercise to have been undertaken in Australia during peacetime up to that time. It involved 28,000 Australian and American military personnel. The exercise next took place in 1992, with over 12,000 Australian and American personnel taking part. – Wikipedia) Konsep total defense yang sudah begitu pesat berkembang di banyak negara , akan tetapi mungkin Australia satu satunya negara yang pernah melatihkannya pada gladi berskala internasional. Kangaroo 1989 disebut sebut sebagai “the biggest ever defense exercise ever” oleh beberapa kalangan di Australia sendiri. Konsep pertahanan keamanan semesta yang di implementasikan dalam sebuah gladi yang bersifat internasional.
Tragedi 911
Tragedi 911 sering disebut dengan terminology “US under attack”, sebuah istilah yang menggambarkan betapa Amerika Serikat dapat diserang dari dalam negerinya sendiri. Serangan teroris yang menggunakan pesawat terbang sipil komersial benar-benar tidak pernah diantisipasi oleh Amerika Serikat. Tragedi 911 dapat dikatakan sebagai The second Pearl Harbor. Seperti diketahui , Pearl Harbor disebut dalam buku The Future of War sebagai The origin of American Military Failure. Peristiwa kedua kalinya Amerika Serikat diserang tanpa mampu diantisipasi sedikitpun tentang kemungkinanya yang akan terjadi. Tanggal 11 September adalah merupakan hari yang paling mengejutkan dan sekaligus menyakitkan sepanjang sejarah Amerika Serikat (September 11, 2001, was a day of unprecedented shock and suffering in the history of the United States – etc etc – from The 9/11 Commission Report – Final Report of the National Commission on terrorist attacks upon the United States – Printed in USA First Edition – Manufacturing by R.R Donnelley, Harrisonburg VA/Crawfordsvile. IN – W.W Norton & Company Inc. 500 Fifth Avenue, New York, NY 10110 ).
Ketidak siapan Amerika Serikat dalam penyerangan ini tergambar dengan jelas pada rekaman percakapan radio dari pihak FAA dengan perwira piket NEADS, North East Air Defense Sector. Ketika menerima laporan tentang terjadinya hijack yang diperkirakan dilakukan oleh teroris, operator NAEDS malah sempat bertanya : “Is this real-world or Exercise ? “ (From The 9/11 Commission Report – Final Report of the National Commission on terrorist attacks upon the United States – Printed in USA First Edition – Manufacturing by R.R Donnelley, Harrisonburg VA/Crawfordsvile. IN – W.W Norton & Company Inc. 500 Fifth Avenue, New York, NY 10110 – halaman 20 )
Tindak lanjut yang segera dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat adalah membentuk badan baru dalam jajaran pemerintahannya yaitu Department of Homeland Security dan TSA, Transportation Security Administration. Sejalan dengan itu pemerintah Amerika Serikat juga membenahi pengelolaan dari pengaturan lalulintas udara dengan memadukan pengawasan lalulintas udara sipil dan militernya. Dibangun Civil Military Air Traffic Flow Management System. Pada tataran ini terlihat jelas sebuah upaya dalam memadukan seluruh kekuatan nasional dalam satu sistem pertahanan keamanan negara yang terpadu. Terpadu dalam sistem komando dan pengendalian serta alur informasi dalam pengelolaan kesiapsiagaan dan kewaspadaan nasional pada masalah pertahanan keamanan negara – National Security Awareness.
Cyber World
Pada Air Show di Singapura tahun 2016 dalam seminar di hari pembukaan telah dimunculkan masalah yang tengah menjadi top issue yaitu Cyber World. Dikatakan bahwa Cyber World has become the fifth domain after land, water , air and space. Cyber world yang ditandai dengan fenomena digital dan Ai, Artificial Inteligent. Dengan fleksibilitas yang sangat canggih, maka cyber bisa menjadi ancaman bila tidak dicermati dengan baik . Dalam hal ini maka perkembangan drone yang telah banyak masuk kedalam cyber world secara otomatis sudah menempatkan dirinya menjadi salah satu ancaman yang harus menjadi perhatian bersama. Drone sebagai foreign object dapat melakukan apa saja, mulai dari sekedar hobi, peralatan untuk mendukung operasi bawah laut , penelitian dan pengembangan sampai pada misi misi terror, sabotase dan spionase. (Cyber sebagai salah satu ancaman – halaman 111 sd 113 – Buku Cyber athic dan Cyber Law – seri publikasi Atma Jaya Studies on Aviation, Outerspace and Cyber Laws – tulisan Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana – Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – Jakarta 2020)
Ancaman yang sangat serius dari cyber world sebagai domain ke 5 setelah daratan, perairan, udara dan ruang angkasa ini menjadi lebih berbahaya untuk diwaspadai, karena dia sangat berbeda dengan ke 4 domain lainnya. Hal ini ditegaskan juga oleh Prof Dr Supancana (Dalam batasan, cyber space atau cyber world adalah suatu dunia tanpa batas batas fisik, bahkan dalam kaitan dengan legislasi nasional dan internasional dst, dst – – Buku Cyber ethic dan Cyber Law Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana – Penerbit Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya – Jakarta 2020). Kesimpulannya adalah dunia Cyber menuntut kewaspadaan yang ekstra ketat dalam menghadpinya sebagai salah satu potensi ancaman.
Kesimpulan
Dari uraian diatas menjadi sangat jelas bahwa drone sebagai benda asing atau foreign object yang tidak berawak (unmanned) akan sangat berhubungan dengan masalah national security awareness. Tingkat kemajuan teknologi telah membuat drone bisa saja berbentuk atau berujud “sea glider” atau apapun namanya. Demikian pula telah membuat drone memiliki banyak kemampuan untuk menjalankan misinya sesuai keinginan. Drone bisa digunakan sebagai pengembangan hobi, pengembangan penelitian ilmiah akan tetapi juga sangat mungkin digunakan sebagai alat pengintaian, mata mata, spionase dan bahkan sabotase oleh teroris misalnya. Drone telah berada dalam domain cyber world yang dapat berperan multi mission capability.
Menjadi jelas sekali berserakannya drone diwilayah perairan kedaulatan negara sudah seharusnya menjadi perhatian bagi national security awareness. Kewaspadaan nasional dalam konteks pertahanan keamanan negara selayaknya turut berpacu dalam irama kemajuan teknologi dari cyber world. Pada titik inilah diperlukan keterpaduan kekuatan nasional dalam sistem pertahanan keamanan negara. Sebuah tantangan yang menuntut keterpaduan kekuatan perang dalam komando pengendalian dan komunikasi termasuk hardware dan software pada sinkronisasi alat utama sistem senjata didalam pengelolaan angkatan darat, laut dan udara. Pertahanan total telah ditunjukkan oleh tindakan nelayan kita yang patut di apresiasi karena telah sangat bertanggung jawab dalam turut serta menjaga pertahanan keamanan negaranya, dengan melaporkan kepada yang berwajib temuan “drone” yang meski katanya hanya “sea glider”. Kewaspadaan yang tinggi memang diperlukan dalam konteks pertahanan keamanan negara, sehingga tidak terjadi tragedi yang mengejutkan seperti Pearl Harbor dan 9/11 misalnya.
Make your check or break your neck !
Jakarta 20 Januari 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia