Tanggal 9 Juni 2015 pimpinan DPR menerima surat yang menjelaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memilih Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal pengganti Jenderal Moeldoko.
Surat tersebut merupakan bab penutup dari rangkaian penjelasan yang disampaikan sebelumnya oleh beberapa orang pejabat antara lain Menteri Sekkab Andi Wijayanto dan Wapres Jusuf Kalla. Penjelasan-penjelasan tersebut pada hakikatnya mengemukakan penekanan yang kuat tentang hak prerogatif Presiden dan penafsiran subjektif mengenai tidak atau ada ketentuan yang mengharuskan bahwa jabatan panglima TNI itu “harus” bergiliran.
Dari penjelasan para pejabat itu, sebenarnya sudah jelas apa makna yang terkandung di dalamnya yaitu bahwa panglima TNI bukan atau tidak akan berasal dari Angkatan Udara. Pandangan orang awam yang lugu, karena TNI itu adalah AD, AL dan AU, pemikiran logis dan masuk akal, panglima TNI adalah sama dan sebangun yaitu AD, AL, dan AU.
Dengan demikian, setelah dijabat AD, logikanya adalah AU, karena sebelumnya adalah dari AL. Nah, untuk memutarbalikkan logika dan pemikiran yang masuk akal itu memang diperlukan penjelasan yang dapat “memaksa” orang maklum dan memahaminya. Tidak juga ada yang salah dengan hal tersebut karena “politik” memang sulit untuk dapat dipahami oleh akal sehat, pemikiran logis, dan lugu orang awam.
Sah dan biasa-biasa juga tentunya mengenai hal tersebut karena politik orientasinya adalah semata kekuasaan yang kalau perlu dapat saja mengabaikan logika dan bahkan etika. Tetapi, ada hal yang sangat tidak mendidik dalam episode perjalanan proses pergantian panglima TNI selama ini.
Seharusnya pada setiap prosesi pergantian jabatan panglima TNI jangan sampai secara telanjang selalu terbuka pada semua prajurit dan bahkan semua orang tentang terjadinya “rebutan” jabatan yang sayup-sayup terdengar telah terjadi di balik layar. Pernyataan kedua pejabat itu telah mengantarnya ke atas permukaan, pernyataan yang merefleksikan apa gerangan yang tengah terjadi.
Sekali lagi, sangat tidak mendidik. Bayangkan para prajurit yang dengan sukarela telah mempersembahkan jiwa dan raganya untuk mengabdi negeri ini dan telah dituntut selalu berada dalam lingkup yang penuh disiplin dengan mengembangkan jiwa ksatria dan sikap patriotisme, kemudian melihat dengan terang benderang pada setiap pergantian panglimanya, terjadi “perebutan” yang melibatkan pejabat-pejabat penting negara.
Sungguh sesuatu yang sangat kontradiktif yang secara sengaja atau tidak telah terhidang secara terbuka di haribaan masyarakat luas. Jabatan panglima TNI telah telanjur “hanya” dilihat dari sisi kekuasaan lengkap dengan atribut “privilese” yang mengikutinya belaka. Apabila “jabatan” dilihat juga dari sisi tuntutan tanggung jawab dan tugas berat yang harus diemban, dipastikan hal tersebut akan menghilangkan selera untuk memperebutkannya seperti yang terjadi pada banyak kasus pelanggaran HAM misalnya. Dengan demikian, “giliran” atau harus “bergantian” akan menjadi satu keniscayaan karena bila sudah terhubung dengan masalah tanggung jawab, kebanyakan orang lebih memilih untuk menghindar, hal yang sangat manusiawi sekali.
Memperjuangkan kesetaraan dan keadilan angkatan dalam konteks peningkatan esprit de corps TNI secara keseluruhan tidaklah mudah. Dalam periode 2002 sampai 2005, panglima TNI bersama jajaran kepala staf angkatan sudah cukup berhasil mengelola dengan baik (walau kemudian ternyata tidak berlanjut) upaya ke arah itu.
Jabatan bintang tiga dibatasi hanya ada tiga (kasum, irjen TNI, dan sesko TNI) dan akan selalu diisi berimbang dan merata darat, laut, udara, sesuai anatomi dari TNI sendiri yang terdiri dari AD, AL, dan AU. Pada era itulah pula untuk pertama kali sepanjang sejarah negeri ini berdiri, AU diberi kepercayaan memegang juga jabatan sekjen Dephan.
Demikian pula untuk jabatan kasum yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijabat lagi oleh perwira AU. Puncaknya, di bawah kepemimpinan Jenderal TNI Endriatono Soetarto, jajaran pimpinan TNI berhasil meyakinkan Presiden SBY (keduanya dikenal sebagai perwira AD yang memiliki visi) untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perwira AU yang merupakan bagian integral dari TNI menjabat sebagai panglima TNI untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.
Kesimpulannya, kesetaraan dan keadilan dalam pengelolaan TNI sebagai sebuah Angkatan Perang NKRI memang harus diperjuangkan bersama. Termasuk di dalamnya upaya untuk menyebarluaskan melalui media, peristiwa Bawean yang dibantu oleh Saudara Dudi Sudibyo dari salah satu harian nasional, agar seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyadari betapa negara kepulauan yang luas dan strategis ini sangat memerlukan keberadaan sebuah kekuatan udara sebagai pengawal dirgantara Ibu Pertiwi.
Demikian pula diskusi yang intens dan tidak kenal lelah bersama Jenderal Endriartono dalam mencari sosok yang tepat dan dapat diterima semua pihak untuk jabatan panglima TNI. Pada akhirnya pemerintahan negeri ini berhasil untuk mendudukkan perwira AU sebagai panglima TNI walau melalui proses yang tidak ringan termasuk fit and proper test di DPR yang berlangsung lebih dari 12 jam. Proses yang tidak pernah dialami para calon pejabat panglima TNI mana pun untuk panjang waktu yang memecahkan rekor itu.
Bahasa lugas dan jujur yang berlandas Sumpah Prajurit dan Sapta Marga memang sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami. Keputusan sudah keluar, sebuah keputusan yang pastinya berlandas pada kepentingan politik. Bila sudah memasuki ranah politik, kata dan kalimat yang jelas pun dapat dengan mudah di ”goreng-goreng” untuk kemudian menimbulkan salah pengertian yang fatal.
Politik telah membuat semua menjadi sulit dimengerti walau diberi embel-embel hak prerogatif Presiden (yang diutarakan berkali-kali, paralel dengan ritual pegangkatan anggota kehormatan kepada sang Presiden) dan penilaian subjektif tentang tidak ada ketentuan yang mengharuskan bergiliran atau bergantian. Politik memang kerap berada jauh dari blantika etika dan sikap ksatria, apalagi masalah patriotisme.
Machiavelli berkata orientasi politik adalah kekuasaan, titik. Apa pun yang terjadi, begitu keputusan sudah keluar, memang tidak tersedia pilihan bagi prajurit sejati selain “siap laksanakan”. Panglima TNI dijabat (lagi-lagi) oleh AD kembali. Selamat dan semoga sukses selalu.
Tulisan ini jauh dari sekadar upaya membela salah satu angkatan, tetapi lebih kepada membela kepentingan TNI secara luas sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan dan kehormatan negara tercinta. Menjaga TNI agar terlepas dari kepentingan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dan bahkan tidak jelas diketahui hendak mengarah ke mana.
NKRI, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak pada posisi yang sangat strategis, sudah harus mulai melihat kenyataan sejarah. Negeri ini selama ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun lalu telah menjadi sapi perah kekuatan asing yang dapat dengan mudah menduduki Nusantara, terutama sebagai akibat dari wilayah Nusantara yang sampai sekarang tidak pernah memiliki kekuatan armada laut yang mumpuni.
Peter Carey mengatakan bahwa bangsa yang tidak mampu memetik pelajaran dari sejarahnya, dia akan menjadi bangsa yang tidak tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi. Sistem pertahanan negara RI sebagai negara kepulauan sudah harus didesain ulang sebanding dengan era perang modern yang harus menghadap keluar dan terdiri dari kekuatan wilayah perairan yang memadai. Angin segar telah bertiup dari era pemerintahan baru dengan slogan terkenal “Poros Maritim Dunia”.
Namun, tanpa mengurangi rasa hormat atas ide cemerlang itu, kemajuan teknologi yang begitu cepat dan masif telah membuat kekuatan poros maritim tanpa berjalan paralel dengan membangun air superiority dan air supremacy pasti akan sia-sia belaka. David Ben Gurion menggaris bawahi, pada 1948 bahwa “The high quality of Life, reach culture, spiritual, economic and political independence are impossible without Aerial Control” Keutuhan sebuah Angkatan Perang dari satu negara kepulauan seperti Indonesia ini seyogianya harus dapat terjaga.
Harus terjaga steril dari kepentingan perorangan-golongan dan atau kelompok tertentu. Apabila tidak, kita semua akan terjerumus pada posisi yang disebut oleh Bung Karno sebagai bangsa kuli dan atau kulinya bangsa-bangsa. Lebih dari itu, dalam dekade mendatang, perhatian kepada geostrategi dan geopolitik dalam disain sistem pertahanan sebuah negara sudah tidak cukup lagi. Aeropolitik dan Aerostrategi sudah muncul sebagai aspek yang akan sangat menentukan dalam merumuskan strategi jangka panjang yang penuh dengan tantangan ke depan.
Chappy Hakim
dimuat di Harian Sindo
Sabtu, 20 Juni 2015