Lewat tengah malam tepat pukul 0110 waktu setempat, saya on board pesawat B-777 dengan nomor penerbangan SQ 282 yang take off dari Jean Batten International Airport Auckland menuju Singapura. Semua berjalan lancar dan wajar saja dalam arti tidak ada keanehan sedikitpun sampai dengan pesawat menjelajah pada ketinggian 39.000 kaki. Karena sedikit mengantuk, beberapa saat setelah take off itu sayapun sudah melonjorkan badan untuk segera saja tidur.
Sesudah terbang selama lebih kurang 7 jam, dan pesawat baru saja melintasi ujung utara pantai benua Australia, terlihat seorang penumpang yang sangat gelisah dan mondar mandir ke toilet. Ternyata, dia muntah-muntah dan kemudian juga buang air besar. Kembali ke kursi nya, terlihat tetap gelisah dengan sebentar-sebentar berdiri untuk kemudian duduk kembali dengan wajah yang tidak tenang. Segera saja seorang awak kabin menghampirinya untuk coba membantu memperbaiki perasaan dan kondisi tubuhnya. Dia adalah seorang lelaki tengah baya yang sedang bepergian dengan isterinya, dari Auckland menuju ke Singapura dengan tujuan Frankfurt. Dari dua sampai tiga orang awak kabin yang berkomunikasi dengannya, terlihat ada kesulitan yang disebabkan oleh karena yang bersangkutan hanya bisa berbahasa Jerman.
Tidak lama berselang, awak kabin mengumumkan kepada seluruh penumpang, yang apabila ada yang bisa berbahasa Jerman untuk dapat membantu awak kabin dalam menangani seorang penumpang yang tengah menghadapi masalah. Karena kemudian diperoleh penjelasan bahwa sang penumpang merasakan tidak enak disekujur tubuhnya, serta merasa nyeri dibagian dada kiri dan leher serasa tercekik dengan disertai muntah-muntah, maka awak kabin sekali lagi mengumumkan kepada seluruh penumpang yang isinya apabila ada yang berprofesi sebagai dokter untuk dapat membantu penumpang yang sakit ini.
Tidak berapa lama, datang seorang dokter dan seorang perawat. Dokter yang kelihatan sebagai orang timur tengah serta perawat adalah perempuan berkulit putih berkebangsaan Selandia Baru. Sang dokter, dibantu oleh penerjemah bahasa Jerman, seorang berkebangsaan Indonesia, perawat Selandia Baru, serta tiga awak kabin, langsung saja menjadi satu tim yang mencoba menangani penumpang yang sakit tersebut. Rupanya, para awak kabin SQ benar-benar sangat cekatan dalam menangani masalah seperti ini. Sang awak kabin langsung menerangkan kepada dokter tersebut, bahwa mereka mempunyai prosedur tetap yang harus dilakukan yaitu segera menghubungi ground staff SQ medical center yang terdiri dari tim SOS, yang akan segera memberikan bantuan. Sepertinya, mereka sangat ”well trained”, terlihat kemudian salah seorang diantaranya langsung berhubungan dengan telepon ke kantor pusat SQ yang kemudian segera saja sudah tersambung dengan tim dokter ahli dari SOS yang merupakan mitra kerja tetap pihak SQ dalam menangani masalah kesehatan penumpang di udara.
Berikutnya adalah, terlihat, bagaimana sang Dokter, yang kemungkinan hanya dokter biasa, bertindak dengan penuh percaya diri melakukan perintah-perintah yang datang via telepon yang dihubungkan oleh para awak SQ tadi. Sesekali terjadi dialog antara dokter dipesawat dengan tim dokter dibawah yang memberikan petunjuk-petunjuk tindakan yang harus diambil terhadap pasien. Disisi lain sang dokter pun melaporkan ke pihak SOS semua reaksi yang terjadi dari tindakan yang diambilnya.
Aktivitas ini dapat dengan mudah diikuti, karena hubungan telepon di set dengan membunyikan ”speaker” dari sambungan telepon tersebut. Demikianlah kegiatan dari “Long distance On The Air Medical Treatment” berlangsung didalam pesawat. Terlihat kemudian beberapa awak kabin lainnya membantu dengan mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan oleh Dokter dan Perawat. Ternyata di dalam pesawat SQ, sudah tersedia dua BOX palang merah yang masing-masing terdiri dari “first aid kit” dan satunya lagi adalah “doctors emergency kit”. Peralatan terlihat sangat lengkap, dari jarum-jarum suntik dengan obat dalam ampul sampai dengan peralatan kompres serta alat infus tersedia dalam paket yang sudah siap pakai. Sang dokterpun dapat dengan nyaman dan cepat mengerjakan instruksi-instruksi yang diberikan, karena peralatan yang lengkap serta keterampilan awak kabin dalam mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan. Saya baru sadar, tentang gunanya sambungan telepon pesawat yang dibuat dalam mode “speaker”, sehingga perawat dan awak kabin dapat secara bersama dengan cepat mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan berkait dengan instruksi tim SOS dari bawah. Dokter tinggal mengerjakannya saja dan kemudian melaporkan respon pasiennya.
Kerja sama yang kompak dan juga perhatian semua penumpang yang sangat membantu dalam proses pengobatan jarak jauh ini terlihat sangat mengharukan. Kita semua berhadapan dengan seorang yang kita tidak kenal yang tengah menghadapi sakaratul maut. Berbagai tindakan telah dilakukan , antara lain memberikan oksigen, beberapa obat dan juga kompres di dua tempat ditubuh sang pasien, namun kelihatannya tidak juga kunjung membaik. Dokter mencoba untuk menenangkan pasien agar tidak panik, dan akhirnya si pasien mengatakan bahwa dirinya sudah tidak tahan lagi menahan sakit.
Segera dokter melaporkan ke SOS di bawah, yang kemudian berhubungan dengan Captain Pilot memberikan instruksi untuk segera mendarat ditempat yang terdekat, untuk menyelamatkan jiwa pasien. Pilot pun lalu menghubungi Denpasar, Bali untuk minta ijin landing di Bandara Ngurah Rai, diluar rencana penerbangan sebagai akibat dari “serious illness on board” dan “request special medical care on arrival” . Pilot dengan tenang mengumumkan terlebih dahulu kepada seluruh penumpang, bahwa untuk menyelamatkan seorang penumpang yang diperkirakan mengalami serangan jantung , maka pesawat diluar skedul harus mendarat sejenak di Bandara Ngurah Rai Bali. Pesawat turun meninggalkan ketinggian 39.000 feet menuju Bali. Tepat jam 0340 Witeng, pesawat mendarat dengan mulus di Bali.
Tidak lama kemudian ternyata tim dari SQ dan SOS sudah siap di Bandara, namun penanganan pertama di apron, menurunkan pasien dari pesawat, sesuai aturan harus ditangani oleh otoritas airport terlebih dahulu. Dari penjelasan petugas yang saya tanyakan langsung , diketahui bahwa saat itu di Bandara Ngurah Rai tidak ada dokter yang stand by. Sang petugas mengatakan, seharusnya di Karantina bandara selalu ada dokter siaga 24 jam, namun kali ini mungkin karena hari minggu, dan jam menunjukkan baru pukul 0340, jadi tidak ada dokter yang siap.
Drama berikutnya adalah, begitu pesawat parkir dan pintu dibuka, sang pasien langsung saja tergeletak kaku dan kemudian terdengar seperti “ngorok” sampai tiga kali. Namun sang dokter dengan tidak kalah sigap langsung saja mengerjakan pernafasan buatan/bantuan dengan alat yang tersedia di pesawat. Menekan-nekan dada pasien yang sempat terhenti detak jantungnya sejenak, namun kemudian terlihat dapat bernafas kembali. Segera setelah itu, pasien pun dibopong untuk turun dari pesawat menuju ambulance, ditemani isterinya, menuju BIMC, Bali International Medical Centre yang jaraknya lebih kurang 6 sampai 7 km dari bandara Ngurah Rai. Dokter tersebut, ternyata telah cukup berpengalaman dalam membantu pasien yang mengalami serangan jantung.
Atas kebesaran Tuhan, satu unjuk kerja yang sangat profesional diperlihatkan oleh para awak SQ, mulai dari penerbang, purser serta seluruh awak kabin, dan juga partisipasi penumpang yang terdiri dari penerjemah bahasa Jerman, Dokter dan Perawat serta juga pengertian yang mendalam dari para penumpang lainnya, telah menyelamatkan nyawa seorang penumpang berkebangsaan Jerman yang tengah dalam perjalanan pulang ke Frankfurt yang mengalami “heart attack”.
Demikianlah drama penyelamatan nyawa dari ketinggian 39.000 feet, yang terjadi diatas perairan utara Australia, pada saat fajar menyingsing tanggal 29 Maret 2009.
1 Comment
merinding membacanya. terima kasih, marsekal…
sebuah cerita yang memberi gambaran utuh, di mana perusahaan penerbangan sangat menjunjung tinggi nilai penumpang. keselamatan lebih penting, siapapun dia.
terima kasih marsekal chappy..