Sindo terbitan Minggu 28 Oktober 2007 memuat berita antara lain yang mengatakan bahwa : Badan Kehormatan (BK) DPR meminta Menhan Juwono Sudarsono segera membuat aduan resmi mengenai calo alutsista yang diduga melibatkan anggota DPR. Selanjutnya disebutkan juga agar Menhan mau membuka siapa saja yang terlibat dalam masalah tersebut. Menanggapi permintaan BK DPR, Menhan Juwono Sudarsono mengatakan siap bertemu dengan DPR untuk menjelaskan persoalan calo tersebut. Asalkan hal itu didasari atas undangan, bukan sebagai panggilan. “Saya akan datang jika diundang. Tapi bukan dipanggil”, ujar Menhan saat menghadiri seminar di Kampus UI Salemba Jakarta.
Disini terlihat jelas, arogansi banyak oknum anggota DPR, yang selalu berkoar-koar akan memanggil si A atau si B berkait dengan berbagai masalah yang sedang mencuat. Kekuasaan memang membuat orang mudah lupa dengan budi pekerti serta sopan santun. Lebih-lebih pada mereka yang tingkat intelektualitasnya rendah. Mereka lupa bahwa menghargai orang lain adalah pada hakikatnya merupakan refleksi dari bagaimana dia menghargai dirinya sendiri. Begitu menjadi anggota DPR mereka lalu merasa bahwa semua orang di negeri ini sebagai bawahannya.
Pernyataan seorang Menteri sekaliber Juwono Sudarsono sudah dapat dipastikan bukanlah sekedar omong kosong yang tidak berdasar. Mungkin akan lebih baik, apabila kemudian di tempuh pendekatan yang biasa dilakukan oleh kalangan terpelajar dalam menghadapi permasalahan yang akan diselesaikan dengan cara yang pantas. Mengundang untuk duduk bersama, mendiskusikannya serta membahasnya dengan kepala dingin untuk dapat segera diperoleh solusi yang akan sangat bermanfaat bagi negara dan bangsa. Tidak kemudian berteriak-teriak kebakaran jenggot serta mengatakan akan memanggil Menhan dan menyuruh membuktikannya serta apabila tidak bisa dibuktikan akan menuntut nya. Reaksi yang semacam ini justru akan membuat dan memberikan kesan kepada orang banyak, bahwa sinyalemen tersebut adalah benar adanya. Reaksi yang over reaktif biasanya adalah sebuah konfirmasi.
Apabila kita melihat lagi dengan kepala dingin tentang peran dari DPR, maka akan menjadi jelas bahwa memang DPR memiliki Hak Budget. Hak yang akan menentukan seberapa besar anggaran yang akan dialokasikan kepada bidang-bidang tertentu dalam konteks pelaksanaan suatu pemerintahan. DPR adalah Lembaga Tinggi negara, sesuai dengan namanya akan mewakili kepentingan rakyat dalam menentukan besaran anggaran belanja negara. Mereka merumuskan berapa alokasi yang harus diberikan pada bidang pendidikan atau kepada bidang pertahanan dan bidang lainnya agar pada akhirnya itu semua akan menuju kepada efisiensi penggunaan sumber dana. Efisiensi penggunaan dana tentu saja berorientasi kepada tujuan mensejahterakan rakyat yang diwakilinya.
Dengan demikian DPR berada pada tingkat yang sangat tinggi dan terhormat, berada pada “strategic level” yang akan hanya menentukan besaran strategis dari dana yang akan digunakan untuk keperluan pembangunan negara dan bangsa. Itu sebabnya para anggota DPR disebut sebagai anggota yang terhormat. Sebagai anggota yang terhormat tentu saja mereka kemudian digaji dengan jumlah besaran uang yang sangat tinggi untuk ukuran pegawai negeri sipil. Demikian pula dengan sekian banyak tunjangan, sehingga pendapatan anggota DPR setiap bulannya akan mencapai angka yang sangat besar untuk ukuran negara Indonesia yang tengah berada dalam kondisi seperti ini. Rakyat yang diwakilinya harus antri ber jam-jam hanya untuk memperoleh 1 atau 2 liter minyak tanah, misalnya. Oleh sebab itu untuk pengadaan alutsista tidak tepat lagi misalnya , para anggota DPR mengikuti kemana dana itu akan mengalir, dan akan dibelikan apa atau merek apa dan dari pabrik mana serta rekanannya siapa. (Fungsi pengawasan penggunaan anggaran sudah ada lembaga yang bertugas untuk itu, seperti misalnya BPK). Hal ini tidak saja akan menurunkan derajat kehormatan lembaga negara yang tinggi stratanya, namun juga tidak akan ada gunanya.
Selain juga akan menjadi kontra produktif. Masalah nya sederhana, karena para anggota DPR tidak memiliki pengetahuan teknis tentang barang-barang yang akan dibeli, terlebih mengenai alutsista TNI misalnya. Alutsista TNI adalah merupakan barang yang sangat “complicated” sifatnya. Tidak bisa dikatakan bahwa untuk barang yang diperlukan harus mencari yang harganya murah agar efisien. Hal ini karena barang tersebut akan sangat tergantung kepada spesifikasi teknis, system pemeliharaan, kualifikasi sdm yang mengawakinya dan penggunaan yang berkait dengan taktik dan strategi serta siasat dibidang pertahanan. Itu sebabnya yang mahal atau murah itu menjadi tidak ada korelasi langsung dengan efisiensi penggunaan dana. Ini semua memerlukan pendidikan berjenjang dan pengalaman yang bertahun-tahun untuk dapat menguasainya dengan baik. Jangankan anggota DPR, bahkan para rekanan alutsista yang terkaitpun tidak akan mengerti secara detil mengenai spesifikasi teknis tersebut. Jadi dalam hal ini akan lebih baik, menyerahkan saja tentang hal tersebut kepada ahlinya.
Apabila DPR terlalu jauh mencampuri penggunaan dana , serta ikut menentukan dalam proses pengadaan alutsista, maka DPR akan turun derajatnya menjadi sebuah lembaga pengadaan barang. Hal ini haruslah dihindari. Apabila tidak, maka akibatnya adalah, secara otomatis, sebagai konsekuansi logis maka akan berbondong-bondonglah para rekanan alutsista antri menuju Senayan untuk “membantu” para anggota DPR dalam proses pengadaan barang.
Dengan demikian, akan lebih baik apabila BK DPR sajalah yang merespon hal ini dengan sikap yang elegan, mengundang Menhan, mendiskusikan dan membahasnya, berkait dengan tugas BK DPR yang tugas pokoknya adalah menjaga kehormatan lembaga tinggi ini. Bagi para anggota DPR lainnya terutama dari Komisi yang terkait, tidak perlu kemudian kebakaran jenggot, berteriak-teriak akan memanggil Menhan untuk segera membuktikan ucapannya dan apabila tidak dapat membuktikan akan dituntut dan lain-lain.
Yang pasti, semua orang tahu bahwa membuktikan hal-hal tentang KKN sangat sulit, kecuali bila tertangkap tangan. Kalau memang tidak berbuat mengapa harus tersinggung? Yang pasti ucapan seorang Menteri adalah dapat dipastikan akan berdasar kepada latar belakang yang diketahuinya. Pasti bukan sembarang omong. Untuk itulah, mungkin akan tepat sekali BK DPR yang bereaksi dalam tata hubungan ketatanegaraan yang sudah ada aturannya untuk menyelesaikan masalah ini. Sudah waktunya kita tidak mempertajam friksi-friksi yang terjadi yang merupakan hal wajar terjadi dalam proses pembangunan bangsa yang berdasarkan demokrasi. Justru mencari penyelesaian bersama dengan baik untuk menuju kebersamaan dalam mencapai cita-cita bangsa akan jauh lebih bermanfaat. Masing-masing lembaga memiliki kekuasaan sesuai dengan bidang tugasnya, tetapi paralel dengan itu mereka juga dituntut tanggung jawabnya dalam pelaksanaan tugas kekuasaan tersebut. Yang diperlukan disini adalah sikap yang saling menghormati agar kemudian masalah-masalah yang muncul diperjalanan menuju kemajuan negara, dapat diselesaikan dengan baik dan dapat mempercepat pencapaian cita-cita bersama. Yang harus diingat adalah, bahwa belakangan ini kita terlalu sibuk dengan keributan-keributan yang dihasilkan sendiri, yang kesemuanya itu hanya menghasilkan kesemrawutan disegala bidang.
Kita tidak punya pilihan lain bila ingin maju, kecuali apabila kita memang akan menuju kepada negara yang “full semrawut”. Ingat, belakangan ini negara-negara kecil disekeliling kita tengah menorehkan kemajuan demi kemajuan. Singapura, Malaysia Vietnam dan Thailand tengah bergerak maju dengan pesat, demikian pula India dan China serta Korea. Apabila kita tetap mempertahankan irama kerja yang seperti ini, maka tidak mustahil kita harus bersiap untuk menjadi bangsa kuli, ditengah-tengah negara maju. Amit-amit.