Sejarah penerbangan di Indonesia dapat dikatakan masuk dalam jajaran paling depan pada tataran dunia penerbangan global. Hanya 10 tahun setelah pesawat terbang pertama di terbangkan oleh Wright Bersaudara di North Carolina, di Surabaya telah berlangsung Pameran Kedirgantaraan atau Air Show yang memamerkan pesawat terbang jenis Fokker.
Penerbangan ini, yang berlangsung pada tanggal 19 Februari 1913 adalah merupakan penerbangan perdana sebuah pesawat terbang bermesin di bumi Nusantara. Dalam bidang Pendidikan keudaraan, Indonesia juga merupakan salah satu pelopor dari pengembangan pengetahuan dalam Ilmu Hukum bidang atau jurusan “air and space”.
Menurut Prof Atep, Fakultas Hukum jurusan Air and Space Law Unpad adalah merupakan yang pertama di Asia. Jurusan Air and Space Law di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, didirikan oleh Prof. Dr. Priyatna Abdurrasjid.SH. MH. pada tahun 1964.
Sementara itu, salah satu dari penerbangan bersejarah yang tercatat dalam perkembangan “International Aviation History” sejauh ini antara lain adalah penerbangan jarak jauh yang sangat spektakuler di jamannya , yaitu pada tahun 1924 antara Amsterdam ke Batavia yang mendarat di Tjililitan.
Pesawat F-VII Nederlandse Vliegtuigenfabriek milik Anthony Fokker mendarat dengan selamat di pangkalan udara Tjililitan Batavia pada tanggal 24 Nopember 1924, setelah terbang dengan total jam terbang 127 jam 16 menit.
Dengan teknologi yang masih sangat sederhana , pesawat F-VII berhasil mencapai Batavia atau Jakarta dari Amsterdam di Negeri Belanda setelah transit di 22 tempat persinggahan. Dalam perkembangannya kemudian pangkalan udara Tjililitan yang kemudian ditulis sebagai Cililitan dan berganti nama menjadi Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma.
Sejarah penerbangan Indonesia terutama penerbangan militer yang menyandang tugas pertahanan keamanan negara Republik Indonesia banyak tercatat di pangkalan ini. Jejak sejarah AURI sebagian besar terukir dalam pengoperasian pangkalan Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma.
Lanud Halim telah menjadi bagian dari perjalanan panjang perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam hal ini peneyelenggaraan penerbangan dalam konteks pertahanan keamanan negara. Bidang kegiatan yang merupakan bagian dari penyelenggaraan “National Air Defence System”.
Pada sisi lainnya, penerbangan sipil di Indonesia juga bergerak dengan cukup cepat dalam menghadapi tantangan kemajuan teknologi penerbangan global.
Pemerintah Republik Indonesia, dalam upaya memajukan dunia penerbangan nasional telah membangun Akademi Penerbangan Indonesia di Curug dengan kemampuan mendidik tenaga ahli bidang penerbangan antara lain Pilot , Teknisi dan tenaga ATC (Air Traffic Control).
Tahun 1954 Akademi Penerbangan Indonesia (API) sudah berdiri sebagai penjuru atau leading sector dari bidang Pendidikan dan Latihan Penerbangan di Indonesia. API telah menjadi pelopor bidang Pendidikan dan latihan penerbangan di Asia. API yang kemudian pada tahun 1969 berkembang menjadi LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) dan terakhir berubah bentuk menjadi STPI (Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia).
Pendidikan dan Latihan penerbangan
Lembaga Pendidikan keudaraan yang belokasi di Curug ini telah menjadi salah satu Lembaga Pendidikan penerbangan yang cukup disegani pada tataran global.
Cukup banyak pemuda harapan bangsa yang bergelut di bidang penerbangan yang kemudian berhasil lulus dari Curug serta menjadi tulang punggung perkembangan pembangunan penerbangan nasional dalam berbagai bidang. Tercatat pemuda dari berbagai negara mempercayakan pendidikannya di Curug. Iran, Malaysia, Bangladesh dan Singapura tercatat dalam sejarah Pendidikan di Curug sebagai negara yang pernah menitipkan para kader penerbangannya untuk dididik dan sukses keluaran Curug.
Dalam bidang Pendidikan dan Latihan penerbangan maka Curug telah menjadi bagian utuh dari perkembangan dunia penerbangan Republik Indonesia.
Yang sangat disayangkan adalah, perkembangan belakangan ini Lanud Halim telah lebih banyak mengakomodir penerbangan sipil komersial dari pada aktivitas penerbangan yang bergerak pada bidang pertahanan keamanan negara dalam hal ini pertahanan udara nasional.
Bahkan tidak itu saja, karena dalam waktu dekat Halim juga akan dikembangkan sebagai Stasiun Induk Kereta Api Cepat Jakarta Bandung. Kesemua itu menjurus kepada pengembangan Halim sebagai pusat transportasi umum nasional, dimana tersedia layanan penerbangan sipil komersial yang cukup padat dan juga sebagai induk stasiun kereta api cepat yang canggih. Halim sebagai sub system dari system pertahanan nasional yang seharusnya merupakan Kawasan tertutup atau terbatas bagi kegiatan publik, kelihatannya memang harus segera mengakhiri perannya.
Sebuah peran yang bernilai amat sangat strategis di Cililitan sejak awal kemerdekaan RI, dalam mengemban perjalanan pembangunan bangsa dengan sangat menyedihkan kelihatannya akan segera sirna.
Demikian pula peran besar Curug dalam membangun kader bangsa dibidang penerbangan yang diakui dunia kelihatannya juga akan segera berakhir, bila pembangunan International Airport di Lebak akan direalisasikan.
Lebak sebenarnya secara “feasibility study” sudah ditolak mentah-mentah pada Nopember 2014 oleh Kementrian Perhubungan, karena memang jauh dari memenuhi syarat keselamatan terbang. Disampng itu keberadaan Lebak dipastikan akan serta merta menghapus eksistensi STPI Curug, sebagai salah satu sekolah Pilot tertua di Asia, karena ruang udara nya yang akan menjadi tumpang tindih.
Perencanaan yang tidak bersandar kepada pengetahuan dan kompetensi memang kerap akan menjadi malapetaka. Orang kemudian tidak lagi menghargai sejarah bangsanya sendiri, bila sudah mulai berorientasi semata pada keuntungan finansial belaka. Kini kita tengah berada dalam bayang-bayang akan lenyapnya Cililitan dan Curug yang sudah mengukir sejarah perjuangan dalam pembangunan dan perkembangan kedirgantaraan yang mengiringi keberadaan dan martabat serta harga diri negeri ini.
Peter Carey, sejarawan Inggris yang juga penulis terkenal pernah menyebutkan sebagai berikut :
“Tanpa cinta dan kecintaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan kemana mereka pergi”
Ditambahkannya lagi :
“Indonesia akan bergerak dari kekuatan ekonomi dunia terbesar ke -16 menjadi yang ke-7 pada tahun 2030, maka ia hanya akan menjadi sebuah kapal yang berlayar tanpa kompas”