Dunia kedirgantaraan Internasional di tahun 2019 ini tengah menyambut 100 tahun Konvensi Paris 1919, sebuah kesepakatan antar bangsa tentang bagaimana memandang kedaulatan negara di Udara. Kedaulatan Negara di Udara yang kemudian dikukuhkan dalam Konvensi Chicago tahun 1944 dengan menyebutkan bahwa kedaualatan negara di udara adalah “complete and exclusive”. Pada tataran inilah maka semua negara membangun kekuatan dan potensi kekuatan udara nasionalnya dengan penjuru utama kekuatan negara di udara yang dapat diberikan tugas pokok menjaga kedaulatan negara di udara, dikenal sebagai Angkatan Udara.
Kemajuan teknologi keudaraan sejak awal tahun 1900-an telah berkembang dengan amat pesat dan mencapai titik yang sangat canggih sedemikian rupa sehingga membuat banyak para ahli pertahanan dan kedirgantaraan “kedodoran” dalam menyikapinya. Sejak perang udara berkembang mulai dari Battle of Birtain, serangan udara Luftwaffe ke Inggris yang menjadi satu-satunya perang udara yang dimenangkan oleh pihak yang diserang, karena untuk pertamakalinya “Radar Pertahanan Udara” digunakan oleh RAF, Angkatan Udara Inggris dalam ajang sebuah perang udara.
Peristiwa serangan tak terduga ke Pearl Harbor, oleh Jepang terhadap kedudukan basis armada laut terbesar Amerika Serikat di Pasifik, telah merubah sama sekali pemikiran tentang perang dari para ahli pertahanan negara Paman Sam. George Friedman dalam bukunya “The Future of War” menyebut serangan Jepang ke Pearl Harbor sebagai “The Origin of American Military Failure”.
Pemboman Hiroshima dan Nagasaki Oleh Amerika Serikat tercatat sebagai serangan udara terbesar yang pernah dilakukan dengan menggunakan senjata pemusnah masal, bom atom , memakan korban lebih dari ribuan orang dan serta merta menghentikan laju perjalanan dari sebuah perang dunia kedua.
Terakhir, ditahun 2001 terjadi serangan teroris kejantung pusat kebanggaan dan kekuasaan negara Amerika Serikat menghancurkan Menara Kembar di pusat kota New York serta serangan ke Pentagon markas besar Angkatan Perang Amerika. Serangan yang kemudian ada yang menyebutnya sebagai The Second Pearl Harbor.
Dalam hal ini, rentetam kejadian itu menggambarkan dengan jelas betapa perubahan dari konsep perang yang berjalan begitu cepat sebagai risiko dari laju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan. Indonesia tidak luput dari pergolakan kemajuan teknologi penerbangan yang tergambar dan terukir dalam sejarah kemerdekaan pada serangan udara yang dilakukan oleh para kadet udara ke titik-titik kedudukan Belanda di Ambarawa, Semarang dan Salatiga.
Kemajuan teknologi memang menjadi sangat besar pengaruhnya kepada bagaimana sebuah negara membangun postur Angkatan Udaranya. Angkatan yang ditugaskan untuk menegakkan hukum dan kedaulatan negara di udara. Kemajuan teknologi kedirgantaraan yang usianya masih sangat muda namun berkembang dengan sangat fantastis telah menyebabkan “kebingungan” dari banyak negara dalam mendisain kekuatan perangnya di udara. Hal ini dengan mudah terlihat tentang bagaimana, baru-baru ini Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump telah menyodorkan ide visioner dengan menambah satu angkatan lagi kekuatan dalam jajaran Pentagon yaitu Angkatan Ruang Angkasa Amerika Serikat.
Demikian pula dengan apa yang terjadi di negeri ini, dimana Pangkalan-pangkalan Angkatan Udara sudah mulai terdesak dengan perkembangan slot penerbangan sipil komersial. Kebingungan mengenai mana yang harus didahulukan dalam konteks pembangunan nasional dalam aspek kesejahteraan masyarakat atau memperhatikan persoalan “National Security”.
Hal yang lumrah terjadi dalam sebuah pemerintahan negara berkembang. Itu sebabnya dalam hal menghadapi tantangan kedepan yang sangat sulit diduga dibutuhkan keseimbangan dalam pengembangan kedirgantaraan nasional. Mungkin salah satu solusi dalam memecahkan antisipasi masalah diperlukan “tempat belajar bersama” tentang kedirgantaraan nasional. Demikian pula apakah sudah perlu diwujudkan sebuah institusi yang dulu pernah ada yaitu Dewan Penerbangan yang dapat berkontribusi dalam kebijakan nasional dibidang kedirgantaraan.
Tantangan kedepan memang akan sangat “membingungkan”, apalagi dengan berkembangnya teknologi “Drone dan Cyber-world”, akan menuju kemana nanti format dan postur sebuah kekuatan negara di udara yang selama ini dikenal sebagai Angkatan Udara. Kekuatan Udara tengah berada di persimpangan jalan menuju sosoknya yang “pas” dalam menyongsong abad baru era “Drone and Cyber World”.
Pada sisi lain, penguasaan tentang Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa telah menjadi kebutuhan yang mendesak dalam percaturan di tingkat Global. Angkatan Udara harus lebih banyak lagi menghasilkan para pemikir tentang kekuatan pertahanan keamanan dibidang kedirgantaraan dan para pakar Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa.
Angkatan Udara yang berbakti dalam menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa.
Dirgahayu Angkatan Udara ! 9 April 1946 – 9 April 2019