Pada 1997, saya sebagai Gubernur Akademi Angkatan Udara di Yogyakarta menjadi tuan rumah kunjungan resmi Kepala Staf Angkatan Udara Pakistan, seorang jenderal berbintang empat. Dalam pembicaraan yang santai pada jamuan makan malam itu dia bercerita bahwa ini adalah kunjungan terakhirnya keluar negeri sebagai kepala staf angkatan udara. Dia akan segera melepas jabatannya sepulang dari Indonesia, walaupun dia secara aturan masih memiliki waktu dua tahun lagi memasuki usia pensiun.
Waktu saya tanyakan mengapa, jawabannya adalah dia sudah siap untuk pensiun dan Angkatan Udara Pakistan telah memiliki beberapa perwira tinggi yang juga sudah siap untuk menduduki jabatan kepala staf angkatan udara. Dia mengatakan bahwa kita harus menjaga angkatan udara untuk tetap dan selalu dipimpin oleh mereka yang muda, “Keep the Air Force Young”. Terasa norma “karakter” yang kuat dari Jenderal ini dan juga nuansa “tahu diri” yang kental serta “kebanggaan korps” yang menggebu-gebu untuk mengundurkan diri dengan ikhlas karena telah melihat adik-adiknya yang sudah siap untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan yang akan segera berkiprah untuk menjadi Angkatan Udara Pakistan menjadi lebih baik. Dalam kata yang singkat, ada “wisdom” dalam diri Jenderal ini.
Pada akhir Perang Dunia I dan kemudian menghadapi Perang Dunia II, Angkatan Udara Inggris, “Royal Air Force”, membentuk satu skuadron pengebom khusus. Di skuadron pengebom khusus ini yang berhak menjadi penerbangannya adalah para pilot yang berusia antara 18 sampai dengan 24 tahun saja. Begitu mereka berulang tahun ke-25, mereka segera harus pindah dari skuadron tersebut. Di samping itu, mereka harus berstatus bujangan. Sehingga, apabila mereka akan segera menikah, secara otomatis mereka harus pindah ke skuadron lain. Itulah aturan main yang ketat diberlakukan secara khusus di skuadron pengebom spesial ini.
Alasannya, skuadron ini mengemban tugas-tugas tempur sangat berbahaya, penuh risiko. Untuk itu, skuadron ini memerlukan anak-anak muda yang memiliki karakter kuat, kesehatan prima, kecerdasan tinggi dan keberanian serta semangat yang pantang menyerah. Mereka yang hanya akan memikirkan keberhasilan pelaksanaan tugas saja. Pendeknya, mereka yang hanya berpikir “sukses atau mati” dalam melaksanakan tugas. Dedikasi dan loyalitas menjadi sangat menonjol di sini. Untuk itulah kemudian skuadron ini mempunyai syarat-syarat yang ketat, dengan ciri khasnya pilot harus berumur antara 18 hingga 24 dan bujangan. Bayangkan, pemuda pilihan berusia muda dan belum menikah. Hanya satu fokus mencuat yang diutamakan di sini, yaitu fighting spirit.
Dari dua uraian di atas, dapat ditangkap bahwa dalam memahami umur biologis manusia, secara umum dapat dikatakan bahwa orang yang berkarakter adalah orang yang pada usia mudanya memiliki “spirit”, semangat tinggi yang dinamis, haus bekerja, loyal, dan berdedikasi. Sementara pada mereka yang telah menjadi senior dan mulai menua, wisdom akan muncul dengan serta-merta.
Berikut ini mari kita tengok sejenak, apa yang terjadi pada peristiwa peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober yang baru lalu. Kita menyaksikan salah satu ritual peringatan tersebut yang memunculkan tekad dan niat dari kaum “muda” yang ingin segera mengambil alih kepemimpinan kaum “tua” yang dinilainya telah berlumuran KKN dan tidak kunjung berhasil dalam membawa negara ini menuju cita-cita. Reaksi pun segera bermunculan dengan beraneka ragam bentuk, akan tetapi hampir seragam, yang pada umumnya menggunakan istilah atau terminology “dikotomi”. Antara lain dikatakan dengan lantang, tidak boleh ada dikotomi “tua” dan “muda”. Teriakan ini mudah diduga dating dari mereka yang merasa sudah digolongkan menjadi kaum “tua”.
Istilah dikotomi ini muncul dan menjadi lebih popular seiring bergulirnya era reformasi. Pada waktu itu, lebih banyak digunakan dalam jargon-jargon: “Jangan ada dikotomi sipil-militer”. Hal ini muncul sebagai reaksi keras setelah sekian puluh tahun negara ini dipimpin oleh lebih banyak personel militer daripada sipil. Bahkan, almarhum Mochtar Lubis pernah berkata bahwa anak-anak muda lebih banyak yang tertarik masuk Akabri dari pada perguruan tinggi lain. Hal ini karena masuk perguruan tinggi pasti harus jelas jurusan yang dipilihnya, misalnya masuk fakultas kedokteran ya pasti akan hanya bias jadi dokter dan seterusnya. Sementara masuk Akabri dikatakan Mochtar Lubis sebagai perguruan tinggi semua jurusan karena lulusan Akabri bisa jadi presiden, bisa jadi gubernur, bisa jadi bupati. Bisa jadi direktur utama perusahaan-perusahaan apa saja, bisa jadi direktur jenderal, dan masih banyak lagi.
Itu sebabnya apabila ada kepentingan sipil di dalam salah satu jabatan yang dibidik, maka kaum sipil akan berteriak jangan ada “dikotomi militer-sipil” dan demikian pula sebaliknya. Itu sebabnya dalam konteks munculnya tekad kaum muda dalam peringatan Sumpah Pemuda yang baru lalu ini, timbulah kembali terminology dikotomi. Dikotomi pastilah bukan berasal dari bahasa Indonesia. Dalam Oxford Concise Dictionary terdapat kata “Dichotomy” yang berarti “a division or contrast between two things that are opposed or entirely different”. Terjemahan bebasnya, kira-kira, bagian nyata dari dua benda yang berlawanan satu dengan lainnya atau berbeda secara keseluruhan.
Demikianlah istilah dikotomi memang kemudian hanya digunakan oleh mereka yang ingin memperoleh kekuasaan, atau ingin meraihnya dan juga tentunya yang berusaha akan mempertahankan kekuasaan yang tengah dipegangnya. Intinya, dikotomi adalah terminologi yang pasti akan digunakan oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Di situ kemudian terlihat, kita seolah yang sudah mulai “menua”, namun ternyata di sisi lain kita ini masih memiliki kaum “muda” yang “fighting spirit”-nya cukup tinggi.
Permasalahannya, bagaimana caranya kita memperoleh tempat di mana “wisdom” dan “fighting spirit” kemudian dapat berpadu dalam satu wadah yang cantik. Itu yang sebagian besar terdapat dalam intisari tanggapan dari para tokoh, kaum cerdik pandai dan peneliti dalam menanggapi munculnya tekad kaum muda untuk memimpin. Masalahnya adalah sangat mendasar, yaitu tidak adanya kaderisasi yang mapan dan sistematis di semua lini, kecuali di TNI karena memang mereka sudah terikat dengan aturan prosedur yang ketat dan sistemik.
Di ajang kepemimpian nasional, kesalahan besar yang telah terjadi adalah tidak adanya proses yang di dalam leadership dikenal dengan istilah “leader create leaders”. Para pemimpin kebanyakan telah sangat sibuk dengan kegiatannya sendiri sehingga lupa mempersiapkan para pemimpin calon penggantinya. Mereka lupa waktu berlalu dan musim berganti, usia pun bertambah. Kekuasaan memang sesuatu yang sangat asyik untuk dinikmati. Pada saatnya kemudian, terjadilah pergantian kepemimpinan nasional yang muncul dalam bentuknya yang sama-sama tidak kita kehendaki. Apakah kita akan melihat hal itu akan berulang lagi? Jawabanya, apabila kita tidak ingin hal tersebut berulang, maka persiapkanlah para pemimpin calon pengganti, jauh sebelum waktunya tiba.
Mudah-mudahan, tidak muncul lagi kata-kata “dikotomi”. Dikotomi lagi, dikotomi lagi. (*)
Dimuat di harian Sindo, 5 November 2007
3 Comments
memahami jabatan sebagai amanah akan membuat seseorang lebih legowo ketika di gantikan oleh generasi di bawah nya.. semoga kaderisasi di negeri ini dapat mencipatakan pemimpin yang bijak..
Mudah2an dengan terkuaknya kasus Anggodo ini, kita dapat berubah membuka lembaran baru proses hukum di Indonesia.
terbukti pak.. negara arab bergejolak.. kelamaan menjabat.
sukses selalu CH