Demokrasi sampai sekarang masih tetap mengundang kontroversi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang terbaik. Di Indonesia sendiri yang konon menganut sistem demokrasi (yang katanya sistem terbaik) ternyata menghasilkan demikian banyak para elit yang korup. Bahkan ada yang melihat bahwa ekosistem perilaku korup sudah sangat mapan sebagai akibat sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang nyaris telah mengantar para elit untuk hanya berpikir 5 tahunan dari pilkada ke pilkada atau pilpres. Visi para Elit yang telah terbunuh pemikirannya. Bisa disimak, mulai dari seseorang tertangkap tangan, seakan sudah tersedia even organizer yang siap membantu mulai saat diadili di pengadilan, mengajukan penangguhan penahanan, urus keringanan vonis, masuk penjara, mengelola kenyamanan di dalam penjara sampai dengan yang mengurus proses pengurangan masa tahanan agar cepat bisa bebas bersyarat. Setelah semua itu berakhir, maka dia sudah siap lagi bertarung kembali dengan tenang tanpa rasa bersalah apalagi berdosa di pilkada atau pilpres berikutnya. Begitulah seterusnya mekanisme 5 tahunan bergulir dan seolah sukses dan banyak menghasilkan para kader koruptor dari masa ke masa. Sebuah realita dari negara yang dikelola berdasarkan demokrasi dengan mekanisme 5 tahunan pesta rakyat ber-tajuk pemilihan umum. Pada titik ini sulit dibantah bila ada yang mengatakan bahwa Demokrasi adalah sistem yang buruk.
Sir Winston Leonard Spencer Chrurchill, lulusan Royal Military College, Sandhurst, Perdana Menteri Kerajaan Inggris tahun 1940 sampai dengan 1945 dan tahun 1951 sampai dengan 1955 sekaligus pemenang hadiah Nobel bidang literasi pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi masih tetap yang “terbaik” yang kita miliki. Bayangkan, itu adalah pernyataan seorang Perdana Menteri dari salah satu negara pioner sistem demokrasi di dunia. Ia berkata bahwa :
“Democracy is the worst form of government, except for all the others that have been tried.”
Sejatinya demokrasi sebagai sebuah bentuk pemerintahan memang mengandung banyak kontroversi sebagai sebuah sistem yang dapat “menjanjikan” harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang dalam kebersamaan ber-negara.
Harus diakui bahwa memang belum banyak buku tentang demokrasi dalam bahasa populer di Indonesia yang ditulis oleh Orang Indonesia. Salah satu buku yang telah terbit pada tahun 2021 di tengah keheningan orang berhadapan dengan pandemi muncul buku tebal berjudul Demokrasi di Era Digital. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia itu inisiator sekaligus editornya adalah penulis kesohor Nasir Tamara. Buku dengan lebih dari 700 halaman tersebut adalah merupakan kumpulan tulisan para cerdik cendikia negeri ini dalam menanggapi sistem demokrasi di era digital.
Agak kurang jelas, dan kemungkinan besar ada kekeliruan informasi, sehingga sang Editor Bung Nasir Tamara meminta setengah paksa agar saya turut menyumbang tulisan untuk buku penuh gengsi tersebut. Demikianlah dengan kedangkalan pengetahuan mengenai demokrasi saya memberanikan diri untuk nekat meyumbangkan juga tulisan yang saya beri judul “Demokrasi yang Membingungkan Lawan dan Kawan” untuk buku tersebut.
Apabila di dalami sedikit saja tentang demokrasi maka sebenarnya sudah sejak sebelum Masehi para pemikir kesohor seperti Plato dan Aristoteles sudah mengkritik demokrasi. Artinya bukanlah sesuatu yang aneh bila banyak pihak sangat kecewa dengan demokrasi, terutama yang terjadi di Indonesia.
Pemikiran Plato dalam The Republic mengkritik demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang cacat. Ia berpendapat bahwa demokrasi memberi kekuasaan kepada massa yang sering kali tidak memiliki pengetahuan atau kebijaksanaan yang diperlukan untuk memimpin. Bagi Plato, demokrasi cenderung menghasilkan kekacauan karena setiap individu bebas bertindak sesuai kehendaknya, tanpa aturan moral yang jelas. Ia juga melihat demokrasi sebagai pintu menuju demagogi, di mana pemimpin yang manipulatif dapat memanfaatkan hasrat rakyat untuk memperoleh kekuasaan. Plato lebih mendukung bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh filosof-raja, yakni individu yang bijak dan memiliki kemampuan intelektual untuk memerintah dengan keadilan.
Sementara itu Aristoteles dalam Politics memiliki pandangan yang lebih nuansa terhadap demokrasi. Ia membedakan antara demokrasi (yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan “menyimpang”) dan politeia (pemerintahan oleh banyak orang untuk kepentingan bersama). Demokrasi, menurut Aristoteles, berisiko menjadi tirani mayoritas, di mana kepentingan kelompok tertentu mendominasi dan merugikan minoritas. Namun, ia juga mengakui nilai positif dalam partisipasi rakyat, selama dilakukan dalam kerangka yang memperhatikan kebaikan bersama. Bagi Aristoteles, bentuk pemerintahan terbaik adalah kombinasi elemen demokrasi dan oligarki yang seimbang, menciptakan stabilitas dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Pada sisi lain, Jean – Jacquest Rousseau seorang filsuf, penulis yang hidup pasca masehi, pada era pencerahan di Eropa tahun 1712 sampai dengan 1778, dalam bukunya The Social Contract menyatakan bahwa demokrasi ideal hanya tercapai jika masyarakat mengikuti kehendak umum (general will), yakni aspirasi kolektif untuk kebaikan bersama. Namun, konsep ini kontroversial karena sering ditafsirkan sebagai pembenaran bagi tindakan otoriter. Dalam praktiknya, gagasan ini pernah digunakan untuk memaksakan kepatuhan terhadap negara atas nama kebaikan bersama, yang menimbulkan kekhawatiran terhadap kebebasan individu. Jean-Jacquest Rousseau mengomentari tentang demokrasi dengan sinis dan bernada sentimentil penuh duka cita, tercantum dalam buku “The Social Contract” (1762), di mana ia menyatakan: “Man is born free, and everywhere he is in chains.” (“Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu.”)
Demikianlah sistem demokrasi memang bukanlah sebuah resep mujarab untuk mewujudkan cita cita dan Impian kemakmuran dan keadilan bagi sebuah negeri. Demokrasi di Indonesia ternyata telah banyak menghasilkan Koruptor.
Wifried Mbappe, ayah pemain bintang sepakbola Perancis asal Kamerun Kylian Mbappe mengatakan dengan tegas bahwa “corruption kills the dreams of a nation”
Apa boleh buat itulah demokrasi yang sarat kontrovesi, seperti apa yang dikatakan Churchil sebagai sistem yang buruk akan tetapi sekaligus sistem yang terbaik yang tersedia.
Selamat ber-demokrasi ria – Kita memang tidak berdaya, terbelengu dimana mana, padahal kita bebas saat dilahirkan seperti kata Rousseau – pemikiran yang sudah ratusan tahun berlalu.
Jakarta 27 Desember 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia.