Pendahuluan
Selesai dilakukannya reshuffle kabinet yang diumumkan oleh Presiden pada tanggal 22 Desember 2020 yang lalu, maka yang tampak sekali menyolok adalah bersatunya kedua calon presiden dan wakil presiden kedalam satu jajaran pemerintahan. Sebuah reshuffle kabinet yang berhasil memadukan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang tadinya bersaing keras dalam memperebutkan kekuasaan dengan memegang konsep dan prinsip masing-masing yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Pasti sebuah kejadian yang sangat amat sulit dipercaya pada awalnya, terutama pada masa kampanye persiapan pemilihan presiden dan wakil presiden. Dua pihak yang demikian keras dan kukuh dalam pendapat masing-masing yang bertentangan amat tajam, tiba-tiba saja mencair dan dengan ringan masuk kedalam satu kotak yang sama. Apapun alasannya, momen ini benar-benar menjadi sebuah adegan yang masuk dalam kategori “aneh tapi nyata”.
Respon sementara dari berbagai pihak yang muncul kepermukaan pun pada umumnya tidak jauh dari kategori yang menyandang terminologi “aneh tapi nyata” itu. Banyak yang sangat bergembira dan menyambut hangat reshuffle kabinet tersebut dengan mengutarakan bahwa dengan demikian tercapailah persatuan dan kesatuan yang tengah didambakan bersama. Ada pula yang mengatakan bahwa dengan demikian maka berakhirlah “permusuhan” yang sudah terlanjur terjadi belakangan ini. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah simbol yang merefleksikan “jiwa besar” dari mereka yang kalah untuk mau bergabung dengan “pesaing” nya yang pada dasarnya sangat berbeda konsep dan prinsip pada awalnya. Ada pula komentar yang mengatakan bahwa reshuffle tersebut merupakan strategi jitu dari presiden terpilih untuk merangkul “lawan” nya untuk dapat bekerja-sama. Intinya adalah banyak yang sangat menghargai reshuffle kabinet itu sebagai langkah yang jitu dalam mengambil keputusan strategis terutama dalam meredam “permusuhan” yang sudah terlanjur terjadi dan berkembang belakangan ini.
Tidak disadari bahwa reshuffle kabinet yang menghasilkan berpadunya dua calon presiden dan wakil presiden kedalam satu kubu, telah mencederai para pendukung fanatik masing-masing kubu. Para pendukung fanatik yang sudah terlanjur bersikap “pejah gesang nderek” bos nya masing-masing, hidup mati mendukung calon mereka masing masing kemudian menyaksikan junjungan mereka semua dengan enteng mencair bersatu padu seolah tidak ada perbedaan sama sekali diantara mereka sebelumnya. Sebuah realita yang sama sekali tidak ada dalam perkiraan mereka di awalnya. Sebuah surprise yang terjadi dan mengantar pada sebuah kesimpulan mengapa tidak dari sejak awal saja mereka bersatu padu. Pendukung kedua kubu sudah terlanjur saling berhadapan dengan keras, sudah terlanjur “bermusuhan” mati matian mempertahankan prinsip perjuangan masing masing dan kemudian menyaksikan realita yang menunjukkan bahwa apa yang selama ini diperjuangkan menjadi tidak ada artinya sama sekali. Perlu digaris bawahi disini bahwa sama sekali tidak ada yang salah dengan bersatunya kedua kubu dalam satu wadah menjalankan kekuasaan pada sebuah roda pemerintahan. Akan tetapi yang pasti adalah momentum bersatunya kedua pesaing yang sejak semula sangat bertentangan dalam prinsip dan pendirian tersebut telah memunculkan “kebingungan” dari para pendukungnya. Hal ini tidak pelak lagi memunculkan kesimpulan kecil bahwa itulah demokrasi yang pada titik ini telah memunculkan atau menghasilkan sebuah kebingungan besar bagi kedua kubu pendukungnya. Demokrasi yang pada realitanya telah membingungkan lawan dan kawan.
Pola demokrasi yang sejak awalnya berjalan dalam proses memilih pemimpin A atau pemimpin B dengan segala pertentangan dalam memegang konsep dan prinsip yang sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan, kemudian berakhir dengan bergabungnya A dan B. Pertanyaan besarnya adalah mengapa harus bersusah payah melakukan sebuah ritual pemilihan yang sangat melelahkan dan memakan ongkos besar serta berdampak terjadinya “permusuhan” akan tetapi kemudian berakhir dengan bergabungnya kedua calon yang saling berhadapan satu dengan lainnya. Sekali lagi tidak ada yang salah sama sekali dalam hal ini, akan tetapi menjadi sangat menarik untuk mengambil pelajaran dari hal tersebut. Memaknai agar kedepan kita tidak terlanjur membuang waktu dan dana besar yang percuma hanya untuk sebuah proses “pertempuran” dalam memilih calon pemimpin dengan mekanisme dua kubu yang berseberangan, apabila nantinya toh mereka akan “berjiwa besar” untuk bersatu dalam satu kubu. Diperlukan revisi dari aturan permainan atau “rules of the game” yang lebih efisien dalam mekanisme mencari pemimpin yang konon disebut sebagai berlandaskan demokrasi itu. Sebuah revisi bagi penyempurnaan sistem pemilihan presiden yang mengacu kepada sistem demokrasi. Demokrasi yang seyogyanya tidak membingungkan kawan dan lawan.
Diperlukan sebuah pemikiran tentang bagaimana melaksanakan sebuah proses dalam memilih pemimpin bangsa yang tidak diawali dengan sebuah prosesi “like and dislike”. Proses yang sejak awal bertendensi menghasilkan “permusuhan” dan perpecahan yang merusak persatuan bangsa. Permusuhan yang melebar berkepanjangan dari para pendukung masing masing calon yang diusungnya, sementara sang calon sendiri ternyata terlihat baik baik dan santai saja untuk dapat duduk rukun dan damai seketika prosesi pemilihan pemimpin telah usai. Sebuah prosesi yang kemudian tampak dipermukaan sebagai ritual bagi-bagi kekuasaan yang tentu saja akan diikuti dengan bagi bagi rejeki. Memunculkan kesan mereka semua dengan enteng meninggalkan pendukungnya. Kemungkinan tidak disadari bahwa momen yang seperti itu sebenarnya telah melahirkan opini negatif tentang “tidak bisa dipercaya” nya omongan para calon dan para pemimpin oleh para pengikut dan pendukungnya. Tidak disadari bahwa langkah para pemimpin tersebut sebagai sebuah tingkah laku yang jauh dari tinjauan tentang keteladanan, salah satu pilar kepemimpinan.
Itu semua adalah ujud dari tampilan demokrasi di Indonesia yang cukup membingungkan. Membingungkan, karena sejauh ini demokrasi dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang “ideal”, yang “adil”, yang mewakili kepentingan rakyat banyak. Demikian “sakti” nya arus demokrasi, sehingga terlihat ada ketakutan tiap negara apabila tidak menjalankan pemerintahannya dengan sistem demokrasi. Apabila ditarik lebih jauh lagi sejarah ke belakang , maka sebenarnya Indonesia sudah memperoleh pelajaran mahal dari harga sebuah demokrasi pada awal kemerdekaan. Tugas-tugas yang dibebankan lembaga konstituante yang tidak kunjung usai dan bahkan menimbulkan kegaduhan di tataran elit bangsa kemudian melahirkan “dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959”. Dekrit yang memunculkan sebuah rezim yang nantinya di tuduh “otoriter” walau tetap menggunakan jargon “demokrasi terpimpin”. Lebih jauh lagi terutama di bagian belahan timur dunia tidak terlihat satu negara pun yang berhasil sukses mensejahterakan rakyatnya dengan pemerintahan yang demokratis. Contoh berantakannya beberapa negara ketika menjalankan sistem pemerintahan dengan sistem demokrasi justru bermunculan. Hal ini mulai memunculkan “excuse” bahwa demokrasi memang hanya cocok sebagai sistem pemerintahan di negara negara barat, tempat demokrasi dilahirkan. Demikian pula berkembang pendapat bahwa demokrasi harus di sesuaikan dengan budaya dan tradisi local agar dapat dijalankan dengan baik.
Dalam perkembangannya kemudian, menjadi lucu juga ketika demokrasi ternyata memunculkan juga “kebingungan” di negara “mbah” nya Demokrasi , Amerika Serikat ketika Obama seorang warga kulit hitam pertama yang dapat terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Sahabat saya warga kulit putih Amerika, di penghujung proses selesainya pemilihan presiden yang mengindikasikan terpilihnya Obama sebagai presiden, mengatakan kepada saya, “wah Pak Chappy – kedepan ini saya akan menjadi kelompok minoritas di Amerika Serikat” mengomentari rasa kecewa dan juga “bingung” seiring dengan berhasil menangnya Obama sebagai Presiden Amerika. Ketika Donald Trump berhasil memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat, sahabat saya yang lain seorang kulit putih Amerika Serikat curhat kepada saya tentang rasa malu nya menjadi warga negara Amerika Serikat ketika itu sesaat setelah Donald Trump di umumkan sebagai pemenang pemilihan presiden Amerika. Pada titik inilah, maka sebenarnya demokrasi tidak hanya telah membingungkan kita di Indonesia , akan tetapi tidak terkecuali di Amerika Serikat sebagai negara yang banyak dianggap sebagai “contoh” keberhasilan sistem demokrasi yang telah dilaksanakan lebih dari 100 tahun di permukaan bumi ini. Demokrasi yang selama ini diunggulkan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang ideal menjunjung hak asasi manusia dalam proses tata kelola menuju negara yang makmur dan sejahtera akhirnya memunculkan juga titik kelemahannya. Demokrasi yang selama in dipromosikan keseluruh dunia, bahkan dengan tekanan-tekanan kepada negara lain ternyata memunculkan juga kebingungan ketika seorang kulit hitam dan juga seorang tokoh kontroversial terpilih menjadi presiden. Demokrasi telah membingungkan lawan dan kawan.
Demikianlah demokrasi ternyata memang memperlihatkan dirinya sendiri yang sarat dengan kelemahan kelemahan bahkan yang sangat fundamental sifatnya.
Kelemahan-kelemahan Demokrasi:
Demokrasi dalam penampakannya selama ini di Indonesia banyak sekali terlihat kelemahan kelemahannya. Pada prosesi memilih Presiden dengan cara yang dianut dalam demokrasi sudah dapat dipastikan tidak memilih pemimpin yang kompeten. Presiden dipilih dengan cara mengacu kepada perolehan suara terbanyak pasti tidak akan memperoleh pemimpin yang memiliki latar belakang kepemimpinan atau leadership baik dari sisi pengetahuan apalagi pengalaman. Lebih buruk lagi yang terjadi adalah proses jual beli suara dan pasti akan memberikan peluang yang jauh lebih besar bagi mereka yang memiliki banyak uang. Pengalaman Pilkada dan banyaknya pejabat pimpinan daerah yang tertangkap dalam kasus korupsi merupakan bukti nyata yang tak terbantahkan bahwa demokrasi ternyata menghasilkan pejabat yang korup. Demokrasi telah merusak ahlak bagi banyak dari mereka yang haus kekuasaan dan kekayaan. Memberikan contoh buruk kepada generasi muda bangsa tentang tata cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.
Memilih Pemimpin
Selain proses memilih pemimpin yang berpotensi memecah belah karena para pendukung calon masing masing dalam keberpihakannya tidak bisa menghindarkan diri dari retorika yang saling menjelekkan satu dengan lainnya, kelemahan yang menonjol adalah kompetensi , pengalaman dan pengetahuan dari calon pemimpin menjadi jauh dari pertimbangan yang harus diperhitungkan. Singkat kata pemimpin yang dipilih tidak berdasar kepada memilih seorang yang cakap dan berpengalaman untuk memimpin. Kriteria mendasar yang harus dijadikan patokan baku dalam hal memilih seorang yang akan ditugasi memimpin negara menjadi terabaikan.
Tentang proses pemilihan Presiden dengan latar belakang pengetahuan, pengalaman berjenjang dalam memimpin dan kompetensi serta kepantasan sebagai seorang pemimpin di ulas antara lain oleh Prof Eric Xun Li , Doktor di bidang Ilmu Politik dalam ceramahnya yang terkenal pada forum TED yang berjudul “A Tale of two political system”, berikut kutipannya :
China’s new president, Xi Jinping, is the son of a former leader, which is very unusual, first of his kind to make the top job. Even for him, the career took 30 years. He started as a village manager, and by the time he entered the Politburo, he had managed areas with a total population of 150 million people and combined GDPs of 1.5 trillion U.S. dollars. Now, please don’t get me wrong, okay? This is not a put-down of anyone. It’s just a statement of fact. George W. Bush, remember him? This is not a put-down. (Laughter) Before becoming governor of Texas, or Barack Obama before running for president, could not make even a small county manager in China’s system. Winston Churchill once said that democracy is a terrible system except for all the rest.
Disebutkan bahwa Presiden Xi Jinping dalam mencapai kedudukan sebagai Presiden dia telah menjalani karier panjang, dimulai sejak dari nol setingkat village manager bertahap berkelanjutan meningkat selama 30 tahun untuk sampai di kedudukan sebagai orang nomor satu di China. Bandingkan dengan Presiden Amerika Serikat George W.Bush dan juga Barrack Obama saat maju sebagai calon presiden bahkan belum pernah berpengalaman memimpin setingkat small country manager seperti dalam sistem di China. Leadership, pengalaman dan jenjang kepemimpinan sama sekali tidak menjadi pertimbangan dalam memilih pemimpin di negara demokrasi.
Masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Mengenai korupsi para pemimpin yang dipilih dengan sistem demokrasi, menarik untuk dicermati sebuah kutipan dialog dari sumber terbuka sebagai berikut:
Merespon hasil dari reshuffle kabinet yang memadukan secara utuh para Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam satu wadah pemerintahan Jokowi, sempat muncul komentar “pembenaran” seperti ini :
Pada Hakekatnya. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Sementara itu sebagai bagian dari proses politik, pemilu adalah proses untuk memilih seseorang atau sekelompok orang yang akan diberi andate mengelola negara mewujudkan kebaikan bersama bagi rakyat. Oleh karenanya itu tidak ada salahnya ketika yang terpilih dan yang tidak terpilih dalam Pemilu bekerja bersama dalam pengelolaan negara sepanjang untuk kebaikan rakyat. Sehingga para pemilih atau pendukung calon peserta pemilu semestinya tidak perlu uring-uringan, lalu merasa patah hati ketika para pilihannya bekerja bersama dalam mengelola negara. Bukankah dalam pemilu seharusnya tidak ada istilah kalah-menang. Adanya terpilih dan tidak terpilih. Yang tidak terpilih dalam pemilu boleh memilih bekerjasama dengan mereka yang terpilih, atau menjadi oposisi. Begitu pula para pemilih boleh tetap mendukung pilihannya yang tidak terpilih dalam pemilu, atau seumur hidup meratapi kekecewaannya karena pilihannya yang tidak terpilih bekerja sama dengan mereka yang terpilih dalam pengelolaan negara. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti beresiko.
Tua itu pasti, Dewasa adalah pilihan.
Komentar tersebut di respon oleh Lukas Luwarso dengan kalimat pendek
Insya Allah, Tapi bagaimana jika ternyata politik adalah usaha yang ditempuh untuk mewujudkan kebaikan para politisi (teori Lord Acton “kekuasaan cenderung korup”)
Dijawab : Gap papa, itu kan bagian dari “jikanologi”
Respon Pak Lukas : Dalil Lord Acton itu selalu terbukti. Teori Aristoteles yang nggak pernah terbukti. Baru setahun dilantik dua menteri Jokowi korupsi. Itu yang ketahuan.
Demikian dialog terbuka di ruang publik yang menghadirkan bukti nyata dari opini yang mewakili masyarakat luas dalam memandang merajalelanya korupsi di era demokrasi.
Selain dialog yang menarik tentang korupsi yang berkembang di era demokrasi diatas, berikut in tidak kalah menarik pula tentang apa yang di sampaikan Mahfud MD, Menko Polhukam sebagai berikut :
MENTERI Koordinator Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut korupsi di era demokrasi lebih ganas dibandingkan saat orde baru. Korupsi di era reformasi bahkan lebih terstruktur. “Faktanya korupsi makin banyak, sejak era reformasi korupsi makin kurang enggak dari orde baru? Tidak itu makin banyak,” kata Mahfud di Jakarta, hari ini.
Mahfud membandingkan perilaku korupsi saat era orde baru dengan masa demokrasi. Menurutnya, saat orde baru korupsi dibangun melalui sistem otoriterisme yang membuat korupsi hanya akan dilakukan oleh orang yang paling berkuasa di negeri. Namun, saat masa demokrasi korupsi dilakukan secara berjamaah.
Tiap orang bisa melakukan korupsi dengan dalih demokrasi. “Sekarang semua orang karena demokrasi, karena kebebasan itu sudah melakukan korupsinya sendiri-sendiri melalui berbagai bidang,” ujar Mahfud. Contoh lain sikap korupsi di tengah demokrasi yakni, lobi-lobi pasal. Mahfud nilai lobi-lobi pasal sudah sering terjadi antaranggota parlemen. “Misalnya gini, kalau mau membuat sesuatu yang salah dibuatlah undang-undangnya melalui DPR, berdebat-berdebat akhirnya tawar menawar, kalau anda masukkan pasal ini nanti saya masukkan pasal itu.
Kalau anda minta ini nanti saya minta itu,” ujar Mahfud. Menurut Mahfud sikap koruptif ini bukan didasari oleh sistem ideologi negara. Namun, kata dia, sikap koruptif terlahir dari sikap tamak pimpinan lembaga atau instansi negara. “Karena jalan untuk korupsi itu sering sekali disepakati melalui kekuatan formal demokratis sehingga di situlah korupsi itu masuk,” ujar Mahfud.
(Sumber:https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/335790/mahfud-sebut-demokrasi-makin-bebas-korupsi-makin-ganas)
Jelas sekali pernyataan Mahfud MD diatas yang intinya menyebut dengan tegas bahwa Korupsi di era demokrasi ternyata lebih ganas dan korupsi itu sering sekali disepakati melalui kekuatan formal demokratis.
Dengan demikian tidak hanya sebatas pergunjingan di masyarakat akar rumput berkembang opini dalam merespon maraknya bukti nyata korupsi di era demokrasi, bahkan Mahfud MD sebagai pejabat publik pun jelas jelas mengkonfirmasi mengenai gejala dan tindakan korupsi yang sangat merusak tatanan pemerintahan terjadi dalam negara yang dikelola berdasar sistem demokrasi.
Tidak cocok dengan budaya setempat.
Banyak tulisan membahas tentang betapa sistem demokrasi tidak begitu cocok dengan budaya timur. Kebebasan yang diberikan dalam berdemokrasi telah memunculkan jargon sinis antara lain sekali merdeka menjadi merdeka sekali. Kebebasan yang begitu luas telah menurunkan ahlak etika masyarakat secara masif. Tercatat sejak reformasi berkembang pola tata krama pergaulan yang kasar dan jauh dari sopan santun. Banyak orang, terutama public figure dan terutama beberapa politisi yang tidak memperhatikan lagi etika dalam berbicara dan bertindak. Pola menghormati orang yang lebih tua sebagai kultur masyarakat orang timur telah ditinggalkan demi kebebasan berdemokrasi. Dengan berdemokrasi tampak sekali masyarakat kita seolah telah tercabut dari akar budaya dan tradisi ketimuran yang selama ini penuh dengan tata krama dalam saling menghormati satu dengan lainnya. Budi pekerti sudah lenyap dari permukaan bumi. Interaksi antara politisi dan tokoh masyarakat di ruang terbuka publik sudah tidak lagi memperhatikan etika moral yang sebelumnya sangat teguh di pegang bersama. Keteladanan sudah lenyap dan muncul di permukaan tokoh tokoh pejabat publik yang tidak memiliki integritas pribadi sebagai pemimpin. Demokrasi telah banyak melahirkan tokoh pejabat yang rakus dan tidak tahu malu, haus kekuasaan dan materi. Pola tingkah anggota DPR yang tertangkap tangan dalam kasus korupsi dan aneka perjalanan ke luar negeri dengan dalih studi banding yang ternyata tidak lebih dari jalan jalan dan belanja barang mewah banyak di ungkap di media massa. Anggota DPR yang sama sekali tidak mewakili rakyat akan tetapi tidak lebih dari mewakili dirinya sendiri dan partai masing masing. Kegaduhan memalukan yang sering terjadi di DPR dengan tingkah polah yang jauh dari disiplin diri sebagai orang terpelajar bahkan telah membuat Gus Dur menyebutnya sebagai Taman Kanak Kanak.
Tidak cocoknya penerapan sistem demokrasi di Indonesia mungkin terwakili dengan apa yang diutarakan oleh Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura. Mengapa Singapura tidak memilih demokrasi dalam sistem pemerintahannya menjadi sangat menarik untuk dicermati. Saya pernah menurunkan tulisan tentang hal tersebut berikut petikannya :
Mungkin ini sebabnya RI tertinggal dari Singapura
Indonesia, sejak reformasi bergulir selalu berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan, kalau tidak boleh menggunakan kata menyedihkan. Negara yang setiap hari ribut dengan hal-hal yang sangat tidak berguna. Negara yang seolah tidak ada pemimpinnya, semua berjalan sendiri-sendiri. Setiap hari hampir seluruh media memuat berita-berita yang hanya berkisar kepada perbedaan pendapat belaka, sementara didepan mata, bertumpuk permasalahan sosial yang tidak kunjung terlihat ditangani dengan baik. Jalan-jalan rusak, lalu lintas macet, fasilitas pelayanan masyarakat minim, sementara orang-orang yang berpengaruh sibuk dengan hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan upaya mengatasi masalah tersebut. Kita semua direpotkan dari satu masalah kemasalah lain, dari sejak kasus Century, Gayus Tambunan dan kini Nazaruddin dan entah apalagi setelah ini. Walau begitu kita semua merasa bangga karena dibilang sebagai negara yang paling demokratis nomor 3 di dunia ! Apa benar demokrasi berarti segala-galanya ? Untuk itu ada baiknya menyimak sedikit visi dari seorang pemimpin negara maju seperti Singapura,
Berikut ini, beberapa pandangan dari Lee Kuan Yew yang dikutip dan disarikan dari salah satu wawancaranya dengan salah satu majalah terkenal di Eropa
Lee Kuan Yew : Mengapa saya menentang demokrasi? Inggris datang ke Singapura tidak pernah memberi kepada saya tentang sesuatu yang bernama “demokrasi”. Dan saya tegaskan lagi bahwa saya tidak mungkin dapat menjalankan sistem di Negara saya dengan berdasarkan hukum atau aturan main mereka (demokrasi). Saya harus menjalankan sistem saya, system Singapura, yang harus mengacu kepada posisi dari rakyat Singapura.
Didalam masyarakat multirasial, anda tidak akan dapat memilih berdasar kepada kepentingan ekonomi dan sosial , anda pasti akan memilih dengan acuan ras dan agama. Katakanlah, saya menjalankan demokrasi disini, orang Melayu akan memilih Islam, India akan memilih India dan China akan memilih China. Apa yang akan terjadi ? Saya akan berhadapan dengan keributan yang terus menerus terjadi di DPR. Keributan ini tidak akan pernah bisa berakhir, karena China di Singapura adalah mayoritas dan mereka (sebagai mayoritas) akan selalu mengalahkan/menundukkan/menguasai dengan cara yang legal dan konstitusional para minoritas (Melayu dan India), itu sebabnya saya tidak akan menggunakan aturan Inggris itu (demokrasi).
Kemudian ada yang bilang, oh itu sebabnya secara de facto Singapura adalah Negara satu partai ! dan lebih dari itu, ada yang bilang bahwa Singapura adalah satu perusahaan besar miliknya Lee, dengan anak lelakinya ditunjuk sebagai Perdana Menteri serta menantu perempuannya menjadi Bos dari satu Agency Development yang Powerful di Singapura.
Lee menjawabnya : “ Eh, tidak itu saja, anda harus tahu bahwa anak lelaki saya yang lain adalah CEO dari S’pore Telecom dan anak perempuan saya memimpin National Institute for Neurology. Negara Singapura adalah Negara yang kecil dengan hanya berpenduduk 4 juta jiwa saja. Kami harus secara tegas menegakkan sistem Meritokrasi, (sorry, bukan Demokrasi )! Apabila Keluarga Lee Kuan Yew mengembangkan KKN dapat dipastikan sistem (Negara Singapura) akan menjadi Negara yang kolaps / ambruk / gagal !
Bila saya bukan Perdana Menteri, maka sebenarnya dan dapat dipastikan, anak saya telah menjadi Perdana Menteri beberapa tahun lebih awal ! Ingat ! sangat jauh dari kepentingan saya pribadi untuk mengijinkan keluarga saya yang tidak memiliki kompetensi untuk memegang suatu jabatan, apapun jabatan itu, karena hal tersebut akan menjadi sangat berbahaya bagi Singapura dan juga menjadi warisan saya yang sangat buruk bagi generasi muda Singapura. Itu tidak dapat untuk dibiarkan terjadi.
Demikian antara lain yang diutarakan Lee Kuan Yew.
Nah, itulah sekedar pencerahan untuk hari ini ! Selanjutnya…. terserah anda !
Jakarta 19 Agustus 2011
Chappy Hakim (Sumber : chappyhakim.com)
Dari uraian tulisan diatas dapat ditangkap beberapa pendapat Lee Kuan Yew yang memang sudah menjadi kenyataan seperti yang kita alami sejauh ini. Tentang masyarakat multi rasial yang menyebabkan tidak cocoknya sistem demokrasi, maka Indonesia jauh lebih multi rasial dari pada Singapura. Keributan yang terus menerus di DPR yang diantisipasi Lee Kuan Yew, itulah yang terjadi selama demokrasi di terapkan di Indonesia pasca Presiden Soeharto. Negeri yang tidak pernah berjalan maju karena tersandera dengan para elitnya yang setiap hari sibuk dengan kehebohan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan bangsa menuju cita citanya. Hasilnya tentu saja mudah diterka dengan realita demikian banyak anggota DPR yang bolos pada jadwal persidangan dan ditangkapnya sejumlah wakil rakyat yang terhormat dalam banyak kasus korupsi yang amat sangat memalukan.
Demikian pula dengan berkembangnya KKN dalam merebaknya proses kaderisasi kepemimpinan Kepala Daerah dan Partai Politik memperlihatkan dengan jelas sekali tokoh-tokoh bangsa yang sebagian besar ternyata kelihatannya jauh lebih mementingkan diri sendiri, golongan dan kelompoknya belaka.
Demokrasi dalam perspektif Pertahanan Keamanan Negara
Terorganisirnya struktur pemerintahan sipil dalam berdemokrasi seperti yang tengah berlangsung di negeri ini, menyebabkan masalah-masalah National Security menjadi kurang memperoleh perhatian. Dapat dipahami karena dalam aspek pertahanan keamanan negara dalam sisi tertentu justru terlihat sangat bertentangan dengan alam demokrasi yang digembar gemborkan sebagai harus memiliki hak mutlak pada kebebasan berpendapat, hak asasi manusia dan keputusan yang mengacu kepada suara terbanyak. Dalam alam demokrasi maka : “Satu hal yang paling penting bagi sistem kontrol sipil manapun adalah meminimalkan kekuatan militer. Kontrol sipil yang obyektif mencapai pengurangan ini dengan mem profesionalkan militer dengan mengubahnya menjadi steril dan netral dari politik “ (Samuel P. Huntington – Teori dan Politik Hubungan Militer Sipil – hal 91 )
Kesemua itu ditambah lagi dengan latar belakang pengetahuan para elit politik yang duduk dalam kekuasaan tentang pertahanan keamanan negara dan juga wawasan bernegara mengakibatkan kebijakan yang diputuskan banyak yang sulit dipahami. Beberapa diantaranya adalah :
Perhatian terhadap masalah-masalah National Security menjadi berkurang. Hal ini tampak jelas dalam masalah penguasaan wilayah udara kedaulatan RI pada kawasan yang sangat strategis dan kritis sejak 1946 hingga sekarang ini masih dibiarkan berada dibawah kendali otoritas penerbangan asing, dalam hal ini otoritas penerbangan Singapura. Walaupun sudah keluar instruksi Presiden di tahun 2015 untuk segera diambil alih, hingga saat ini tidak terdengar perkembangannya.
Penggunaan pangkalan udara militer, terutama pangkalan Angkatan Udara yang jelas – jelas merupakan kawasan terbatas bagi publik tetap dipergunakan bagi kepentingan lalu lintas penerbangan sipil komersial. Bahkan Pangkalan Angkatan Udara Halim Pedanakusuma yang merupakan pusat pengendalian dari sistem Pertahanan Udara Nasional yang padat dengan misi operasi pertahanan udara, hingga kini tetap harus memfasilitasi penerbangan sipil komersial yang nyaris menjadi kawasan bebas terbuka untuk umum.
Keharusan jabatan Panglima TNI untuk melalui Fit and Proper Test di DPR sebelum bertugas sangat tidak masuk akal. Salah satu saja alasan sederhana adalah, apabila negara berada dalam keadaan siaga, maka Presiden sebagai Panglima Tertinggi bisa saja membutuhkan pergantian Panglima sesuai dengan dinamika keadaan di lapangan dengan cepat. Bila proses pergantian harus melalui DPR maka akan sangat mengganggu kesiap siagaan TNI dalam pelaksanaan tugasnya. Disisi lain pengetahuan yang sangat minim dari para anggota DPR tentang seluk beluk sistem pertahanan keamanan negara menjadi pertanyaan besar terhadap legitimasi dari sebuah proses Fit and Proper Test. Belum lagi bicara tentang peluang KKN dalam proses mencari jabatan atas pengaruh para politisi yang memiliki interest tertentu.
Kerangka pembinaan generasi muda dalam konteks bela negara membuat Rancangan Undang-undang wajib militer menjadi sebuah momok bagi kalangan sipil untuk menyetujuinya. Dan masih ada beberapa lagi lainnya yang menjadi penghambat dalam pembinaan dan pembangunan postur pertahanan keamanan negara sebagai akibat kurang dipahaminya konteks National Security oleh para politisi sipil yang minim pengetahuan dan wawasannya.
Wajah Asli Demokrasi
Ketika naskah ini ditulis, terjadi sebuah tragedi demokrasi di Amerika Serikat pada tanggal 6 Januari 2021. Mengomentari hal tersebut saya menurunkan artikel pendek di Indo News.id sebagai berikut :
Demokrasi yang Menunjukkan Wajah Aslinya
(the origin of democracy)
Gedung Capitol Hill diserang oleh para pendukung Presiden Trump pada tanggal 6 Januari 2021. Serangan tersebut dilakukan oleh para pendukung Presiden Trump setelah keluar keputusan yang menyatakan Jo Biden sebagai pemenang pemilihan presiden Amerika Serikat. Mantan presiden Obama mengatakan setelah kerusuhan terjadi, “Sejarah akan mengingat kekerasan hari ini di gedung Capitol, yang dipicu oleh seorang presiden yang terus berbohong tanpa dasar tentang hasil pemilihan yang sah, sebagai aib besar dan memalukan bagi bangsa kita.”
Kejadian seperti ini tidak begitu aneh bisa terjadi, karena sistem pemilihan presiden ala demokrasi adalah dengan cara voting yang memungkinkan siapa saja bisa menjadi Presiden sepanjang berhasil memperoleh jumlah suara terbanyak. Artinya adalah bahwa pemilihan pemimpin dalam hal ini termasuk dan terutama presiden, maka faktor integritas moral kepribadian seseorang atau personal kredibiliti tidak menjadi ukuran untuk dipertimbangkan. Siapa saja, walau tidak memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin sekalipun, akan tetap bisa menjadi presiden dalam sistem demokrasi. Sekali lagi, sepanjang ia mampu memperoleh suara terbanyak. Itulah yang terjadi dengan presiden Donald Trump. Demokrasi Amerika Serikat telah mempertontonkan ke seluruh dunia betapa pola pemilihan suara untuk memilih presiden telah berakibat tragedi yang mengukir sejarah di tanggal 6 Januari 2021. Pada akhirnya demokrasi telah muncul memperlihatkan wajah aslinya.
Amerika Serikat sebagai negara mbah nya demokrasi dan yang telah mempromosikan demokrasi keseluruh dunia, pasca peristiwa 6 Januari 2021 akan kesulitan untuk mengatakan kepada dunia bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang “the best”. Amerika kini menjadi tontonan dunia tentang terjadinya perpecahan, kekerasan dan tindakan anarkis setelah memilih Donald Trump sebagai presiden. Kerusuhan dan perpecahan terjadi diantara rakyatnya yang harus dihadapi dalam proses menjalankan sebuah sistem demokrasi. Tentu saja kesemua ini tidaklah mewakili sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan rujukan baku terhadap penilaian dari sistem demokrasi. Akan tetapi paling tidak dunia tengah menyaksikan betapa Amerika Serikat mengalami peristiwa besar yang “agak” memalukan dalam peradaban umat manusia. Demokrasi yang sebelumnya sering dikatakan sebagai hanya cocok bagi sebuah negara yang sudah kaya, yang rakyatnya sudah berpendidikan tinggi, yang tingkat sosialnya sudah beradab dan lain sebagainya akhirnya tidak terbukti.
Diluar Amerika Serikat terutama di Asia tidak terdapat satu pun negara yang menganut demokrasi menjadi negara yang aman makmur dan sejahtera seperti yang di idam idamkan. Demokrasi memang tidak menjanjikan hal itu, akan tetapi diakui bahwa sistem yang paling dapat diterima dalam abad ini adalah demokrasi. Demokrasi bahkan telah dilihat dan diposisikan sebagai tolok ukur peradaban sebuah bangsa. Indonesia kadang sangat bangga disebut-sebut sebagai salah satu negara demokrasi no 2 atau nomor 3 terbesar di dunia. Demokrasi memang tampil dalam banyak varian dan model yang mengikutinya. Demokrasi juga banyak disebut sebagai harus disesuaikan dengan situasi kondisi, tradisi dan budaya lokal misalnya.
Sejak awal kemerdekaan RI, Indonesia telah menjalankan beberapa model demokrasi antara lain demokrasi terpimpin ala Bung Karno, demokrasi di era Soeharto dan demokrasi era reformasi. Realitanya adalah sampai dengan saat ini perpecahan yang terjadi sebagai akibat dari pemilihan pemimpin berdasar perolehan suara terbanyak masih tetap terasa. Pertentangan menjurus permusuhan yang mengantar kepada potensi perpecahan antar warga yang terjadi diantara kubu pendukung dan lawannya tidak pernah kunjung usai. Pertentangan menuju perpecahan bangsa yang akan secara terjadwal terjadi pada setiap 5 tahun sekali. Dengan pengalaman yang cukup panjang dari sejarahnya sendiri dan pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang baru saja terjadi dinegara mbahnya demokrasi, akankah Indonesia meninjau ulang untuk mencari model demokrasi yang paling cocok untuk diterapkan sebagai pengantar negeri tercinta ini menuju cita-citanya. Walahualam bisawab.
Yang pasti adalah kejadian 6 Januari 2021 adalah tanggal yang patut dicatat. Mungkin bisa saja, sebagai sebuah pelajaran akan dicatat sebagai hari dimana sang “demokrasi” memperlihatkan wajah aslinya, the origin of democracy.
Jakarta 9 Januari 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia
Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa demokrasi pada kenyataannya sangat membingungkan. Membingungkan kawan dan lawan, dalam arti bahwa para pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden dan lawannnya telah dibuat “kecewa” karena dengan mudahnya setelah kontes pemilihan presiden berlalu kedua calon justru dengan enteng bergabung menjadi satu. Minimal dalam konteks ini , maka pada realitanya ketika dalam masa kampanye konsep-konsep yang digunakan untuk berjuang apabila menang dalam Pilpres menjadi sesuatu yang tidak prinsip. Tidak prinsip dalam arti dengan mudah dibuang begitu saja pada saat akan bergabung ke dalam kekuasaan. Mungkin terminologi “bohong” terlalu ekstrim untuk digunakan dalam hal ini, akan tetapi minimal sudah masuk pada kategori tidak bisa dipercaya.
Yang sangat amat menyolok sebenarnya adalah sebuah mekanisme dari proses pemilihan pemimpin dalam hal ini Kepala Daerah – Gubernur dan terutama Presiden yang hanya berlandas kepada perolehan suara terbanyak, dipastikan berpotensi besar “salah pilih”. Tidak sekedar salah pilih, namun lebih parah lagi karena siapa saja yang bahkan tidak memiliki kapasitas sebagai pemimpin, tidak memiliki personal kredibilitas, moral kepribadian bisa saja terpilih asal memperoleh suara terbanyak. Contoh sudah banyak diantaranya, Adolf Hitler, Gubernur DKI dan Donald Trump dan lain lain.
Sebagai penutup saya perlu menggaris bawahi bahwa tidak sepenuhnya sistem demokrasi itu menjadi sebuah sistem yang sama sekali tidak layak untuk dijalankan, akan tetapi minimal perlu dikaji ulang pola penerapan demokrasi di negeri ini. Ada banyak yang harus dipikirkan untuk disempurnakan, disesuaikan dan dikaji ulang sisi sisi mana saja yang harus di lakukan penyesuaian. Apabila tidak, maka kita semua harus bersiap untuk kecewa berhadapan dengan kenyataan yang telah berulang sejak kita merdeka hingga waktu kedepan ini.
Jakarta 29 Januari 2021
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia