Sahabat saya seorang kontraktor bangunan. Dia saya ketahui meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh orang tuanya. Jadi dia adalah generasi kedua yang menjalani pekerjaan yang buat saya terlalu rumit. Rumit dalam pengertian, sebagai kontraktor, dia harus mencari sendiri pelanggan atau klien nya. Setelah dapat, masih banyak daftar panjang yang harus dikerjakannya, antara lain belanja bahan bangunan dan mengelola SDM yang mulai dari arsitek sampai dengan para tukang, batu, kayu dan juga mandornya masing-masing. Baru kemudian dapat menghitung keuntungan yang pantas untuk diraih walaupun masih akan berhadapan dengan banyak variabel lainnya. Bagi saya kalkulasi ini akan sangat ribet dalam menghitungnya, karena antara belanja barang, upah pekerja dan laju kenaikan harga serta jasa angkutan adalah hal yang tidak sederhana untuk dapat di prediksi.
Singkat kata, teman saya ini memang memiliki kemampuan itu karena telah lama magang kepada orang tuanya sendiri. Perusahaan kontraktor nya ini sangat taat azas. Selalu sejauh mungkin menaati peraturan yang berlaku dan mempertahankan kualitas bangunan seperti menjaga nama baik dirinya sendiri. Inilah yang dia peroleh dari almarhum ayahnya, seorang kontraktor yang otodidak dan sangat sukses dijamannya. Kesuksesan orang tuanya, telah juga membawa teman saya itu untuk dapat menimba ilmu di Amerika Serikat. Kebanggaan yang tiada tara bagi keluarganya.
Agak kurang beruntung, teman saya ini, karena komitmennya yang kuat terhadap etika dan nama baik serta kehormatan perusahaannya, maka otomatis menjadi sulit untuk memperoleh “proyek” dari instansi yang berhubungan dengan pekerjaan bangunan. Karena biasanya, tidak semua tentunya, proyek-proyek itu kemudian harus bertarung dengan hal-hal yang sangat “siluman” sifatnya. Dengan status dan pendiriannya yang seperti itu, maka dia hanya memperoleh proyek-proyek tertentu saja. Sekali lagi, hal ini antara lain karena dia agak “sulit” untuk bisa menyisihkan sebagian dari nilai proyek nya untuk uang saku sang pemberi proyek. Dia paham sekali, bahwa apabila hal tersebut dilakukan maka hanya satu pilihannya, yaitu kualitas bangunan akan tergerus, dan dia tidak mau mengorbankan kulaitas kerjanya.
Demikianlah, ia hanya menjadi langganan dari mereka yang menginginkan kualitas dan menjaga kehormatan diri dalam melaksanakan tugas. Dengan berjalannya waktu, memang kemudian jelas terlihat, diantara sesama kontraktor, siapa-siapa saja yang akan selalu menerima order dan siapa yang hanya akan nyaris menjadi penonton saja. Akan tetapi dengan berjalannya waktu pula terlihatlah siapa-siapa yang dapat bertahan dan siapa pula yang dalam waktu relatif singkat perusahannya sudah bubar atau terbelit masalah tentang hasil kerjanya yang jauh dari kualitas yang seharusnya. Kompetisi alamiah terjadi disini, walaupun tetap saja perusahaan “kongkalikong” (bubar sebentar kemudian muncul kembali dengan nama baru dan seterusnya )mendapatkan sendiri wilayah kerjanya. Namun demikian dia memperoleh apa yang dikenal dengan “brand image“, yaitu bila ingin bangunan yang bagus ya pilih lah perusahaan itu.
Setelah menjalani pekerjaannya itu selama hampir belasan tahun, dia memperoleh hasil kerja kerasnya. Suatu saat pemerintah Jepang memberikan bantuan dari satu yayasan yang berpengaruh di negaranya untuk pemerintah Indonesia, yang antara lain berupa proyek bangunan. Pihak Jepang ternyata sudah mengetahui reputasi perusahaan teman saya itu, dan mereka memilih nya menjadi salah satu calon utama yang akan mereka “test” untuk dipercayakan melaksanakan proyek mereka. Hampir tidak ada hambatan sedikit pun, teman saya itu lulus dengan mudah pada tahapan seleksi tersebut, dan mulailah dia bekerja.
Sangat mengejutkan, karena ternyata bekerja dibawah pengawasan Jepang dia memperoleh banyak hal yang “baru” sifatnya. Hal yang sederhana sekali, misalnya tentang adukan semen. Komposisi dari adukan semen, ternyata sudah menjadi masalah yang serius. Pihak jepang memeriksa dengan teliti sekali mulai dari kualitas pasir yang akan digunakan dan juga merek semen yang akan dicampurkan dan juga takarannya masing-masing. Belum lagi dengan bahan-bahan bangunan lainnya. Semua diperiksa secara teliti dan satu persatu, sampai dengan peralatan yang akan digunakan. Mereka sangat cerewet terhadap bahan yang akan digunakan serta proses mengerjakannya. Setiap hari pengecheckan terhadap hal yang sama dan berulang secara rutin, tidak pernah mereka tinggalkan. Tidak ada sedikit pun yang dapat mereka berikan kompensasi. Kesalahan sekecil apapun, mereka memilih untuk mengulangnya lagi dari pada membiarkan untuk dilanjutkan. Jangankan yang memeriksa, teman saya mengatakan yang mengerjakannya saja sampai bosan di buatnya. Namun itulah yang terjadi.
Berikutnya, setelah satu bulan berlalu, datanglah orang dari pusat kantor nya di Jepang yang akan melakukan inspeksi proyek. Nah, disini terlihat lagi bagaimana rumitnya bekerja dengan Jepang. Pada waktu menuju tempat proyek untuk di periksa, teman saya dan orang Jepang pengawas bangunan di Indonesia, tidak boleh berada di satu mobil dengan para Inspektur yang datang dari kantor pusat itu. Pemeriksaan yang di lakukan lebih heboh lagi. Karena mereka adalah Inspektur yang memang profesional, maka mereka tahu betul apa dan mana-mana yang harus mereka periksa. Lagi-lagi kualitas bahan bangunan secara rinci menjadi obyek pemeriksaan yang jauh dari basa basi. Beberapa temuan langsung ditulis dan kemudian dimintakan penjelasannya oleh kontraktor yang mengerjakan dan juga kepada pengawas bangunannya. Pemeriksaan sangat detil dan koreksi dilakukan sangat jelimet. Hebatnya lagi, setelah tiba saat makan siang, mereka makan di satu restoran dekat proyek. Ternyata ada aturan, mereka tidak boleh duduk satu meja dengan kontraktor . Mereka langsung mengatur sendiri meja dan tempat duduk nya dan juga membayar sendiri makanannya, dan itu adalah aturan mainnya. Jadilah teman saya itu terheran-heran bagaimana orang Jepang dapat berlaku seperti itu. Pendek kata mereka bekerja sesuai aturan yang berlaku. Tidak ada celah sekecil apapun untuk mereka mau melanggar aturannya. Dengan demikian, mereka ternyata cukup melaksanakan pengawasan yang satu atau dua tingkat saja sesuai besaran proyeknya. Dan Proyek dapat dipastikan mutu pekerjaan yang sesuai aturan. Sang pengawas, tidak harus lagi diawasi oleh pengawasnya pengawas dan pengawasnya pengawas tidak harus diawasi lagi oleh pengawasnya pengawasnya pengawas.
Sahabat saya mengakhiri curhatnya, dengan mengatakan, biasanya sih, bila bukan dengan Jepang ,yang kerap terjadi pengawasnya banyak sekali dan dana akomodasi, transport dan makan harus ditanggung kontraktor, dan ironisnya terkadang tidak ada yang diperiksa alias hanya basa basi doang, dan pulang minta amplop, hua ha ha ha ha ha ha . Terus bagaimana caranya untuk dapat mempertahankan mutu atau kualitas kerja? Boro boro harga diri ?
Tetapi, sekali anda bekerja dengan Jepang, maka jangan kaget ! anda akan mendapatkan pelajaran-pelajaran yang sangat fundamental sifatnya, berkait dengan etika bekerja yang sebagian besar sarat dengan pesan “moral” yang berkait dengan “harga diri” sebagai seorang “profesional“. Mungkin begitu kalau mau maju !
Jakarta 14 April 2012
Chappy Hakim
4 Comments
Apa krn kelamaan dijajah Belanda ya? Trus Jepang hanya 1per 100 nya….!!!
Benar sekali Marsekal Chappy, kami pernah kerja sama dgn perusahaan Jepang , kita harus susun program kerja hari ini apa , dibuat urutan item pekerjaan, target selesai kapan , kalau tidak selesai kenapa , itu harus dibuat setiap hari , lalu menyusun pekerjaan utk besoknya ditambah sisa pekerjaan yg belum selesai , begitu setiap hari buat action plan plus nulis laporan hasil kerja , pokoknya tidak ada kesempatan santai , pantes negara Jepang maju karena disiplinnya yg tinggi itu. Salam.
Saluut pak Chappy…Itulah kondisi real kita di Indonesia. Unfortunately, terjadi hampir merata di seluruh penjuru Tanah Air… Kapan negara kita bisa berjalan direl yang benar?
disiplin?sebenarnya orang indonesia khususnya muslim sdh diajari disiplin dari dulu oleh agama.contohnya sholat ketika waktunya sholat kita tdk sholat tepat waktu.jadi jgn harap disiplin.pendidikan di indonesia juga tdk menerapkan kedisiplinan yg baik.jika kita bisa menerapkan apa yg ada di ajarkan oleh agama.hasilnya tentu lbih baik dari jepang.