Pagi hari kemarin tanggal 9 Mei 2016, saya diminta memberikan pembekalan kepada lebih kurang 50 orang student pilot yang akan diwisuda minggu depan di Bandung. Betapa bangganya melihat anak-anak Indonesia usia remaja yang begitu bersemangat menghadapi tantangan global dengan mencoba berprestasi sebagai pilot Indonesia.
Sudah menjadi rahasia umum, 10 tahun bekakangan ini, Indonesia kekurangan pilot. Itu antara lain yang merangsang cukup banyak orang melihat peluang bisnis dalam mengelola sebuah “Flying School”.
Konon, sampai saat ini sudah terdapat tidak kurang dari 20 Flying School di Indonesia, di luar miliki pemerintah (Kementrian Perhubungan) di Curug dan Banyuwangi.
Hebat, sekolah pilot tumbuh subur, namun penyaluran para lulusannya tidak tertampung dengan baik dalam satu sistem baku untuk mengisi kekurangan tenaga pilot di maskapai-maskapai penerbangan nasional.
Dari segi keterampilan, anak-anak Indonesia sebenarnya memiliki keistimewaan termasuk dalam menerbangkan pesawat terbang. Di samping itu, cukup banyak anak-anak muda yang menaruh minat menjadi pilot.
Sayangnya, sekali lagi sangat disayangkan belum ada satu perencanaan yang matang dalam mengelola sumber daya manusia penerbangan terutama pilot dalam kaitannya dengan pertumbuhan penumpang pengguna jasa angkutan udara yang cukup pesat di tanah air tercinta belakangan ini.
Banjir pilot asing
Animo yang begitu besar tidak dapat tertampung di sekolah pemerintah, sementara sekolah swasta biayanya amat sangat mahal. Inilah cikal bakal penyebab semakin banyaknya pilot asing berdatangan ke Indonesia mencari nafkah.
Yang sangat disayangkan lagi adalah belum ada regulasi yang mengatur keberadaan pilot asing di Indonesia dalam hubungannya dengan upaya melindungi eksistensi pilot pribumi.
Pilot asing mulai membanjiri Indonesia sejak tahun 2007. Keberadaan pilot asing kerap memberikan kekeliruan persepsi dari sementara orang yang beranggapan bahwa hal tersebut adalah sangat positif agar pilot kita dapat juga belajar dari pilot asing.
Agak keliru karena pada kenyataanya pilot asing yang masuk ke Indonesia pada umumnya adalah pilot-pilot yang masih bau kencur alias anak kemarin sore dengan jam terbang minim.
Justru mereka menggunakan kesempatan emas di Indonesia untuk memperoleh jam terbang yang cukup untuk kemudian pulang menjadi pilot senior di negaranya sendiri atau negara lain. Indonesia adalah surganya pilot hijau dari luar negeri karena mudah mendapatkan kesempatan terbang dibanding di negeri mereka sendiri.
Mereka tidak begitu mementingkan berapa dibayar, karena targetnya adalah memperoleh jam terbang yang cukup untuk bisa bekerja di negara lain.
Berbeda dengan pilot Indonesia yang bekerja di luar negeri yang hanya akan dapat memperoleh “provisional license” (jika keluar dari maskapai tempat bekerja tidak bisa otomatis pindah ke maskapai lainnya di negeri itu).
Sementara pilot asing di Indonesia langsung mendapatkan “fixed license”, yang memungkinkan mereka untuk berpindah dengan mudah dari satu maskapai ke maskapai lainnya di dalam negeri.
Dengan pola yang seperti itu, maka ada beberapa di antara pilot asing tersebut saat ini sudah berhasil mengikuti “Captaincy Training” (proses latihan peningkatan kualifikasi dari Co Pilot menjadi Captain Pilot) pada beberapa maskapai penerbangan swasta Indonesia. Inilah kemudian yang menjadi ironis sekali.Sekedar gambaran yang sederhana saja, saat ini sudah lebih dari 500 pilot anak Indonesia yang baru lulus dan belum mendapatkan pekerjaan, sementara ada sekitar lebih dari 564 pilot asing yang bekerja di Indonesia.
Pilot Indonesia menganggur
Sungguh menyedihkan. Pengangguran di negerinya sendiri. Lulusan sekolah pilot Curug di tahun 2016 ini sudah mencapai angka lebih kurang 100-an orang, kabarnya tidak lebih dari 10 orang saja yang sudah memperoleh pekerjaan.
Sekali lagi, ternyata memang belum terbangun satu sistem penyaluran dari para lulusan sekolah pilot di Indonesia dalam kerangka pemenuhan kebutuhan pilot di maskapai penerbangan.
Garuda sebagai maskapai pembawa bendera, sebenarnya berhasil dalam upaya membatasi kehadiran para pilot asing pada tahun 2011. Kita masih ingat ada gerakan pilot Indonesia yang mogok dan kemudian menyusun ulang aturan main internal Garuda dalam terkait kiprah para pilot asing di perusahaan itu.
Gejolak tersebut antara lain mengenai besaran gaji dan pembatasan pilot asing pada “rating” pesawat yang memang tidak ada orang Indonesianya dengan batas waktu yang hanya untuk 2 tahun saja.
Celakanya, ya itu tadi mereka tidak peduli dengan besaran gaji, karena target mereka adalah memperoleh jam terbang saja. Sebagai catatan, di banyak negara, ada batasan minimum jam terbang untuk pilot fresh graduate sebelum dapat aktif sebagai pilot operasional di sebuah maskapai penerbangan, apalagi yang sekelas dengan maskapai pembawa bendera atau The Flag Carrier Airlines seperti Garuda Indonesia.
Gerakan di Garuda tersebut harus dilihat semata berdasar kepada “rasa bangga” akan kemampuan anak bangsanya sendiri di negerinya sendiri. Rasa bangga dalam menjaga harkat dan martabat sebagai “saya orang Indonesia”.
Menjaga dan memelihara pride dan dignity sebagai pilot Indonesia untuk tidak tampil inferior bila berhadapan dengan orang asing.
Sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur tentang komposisi pilot asing di Indonesia. Salah satu maskapai yang cukup besar yang bergerak di banyak rute penerbangan perintis bahkan komposisi jumlah pilot asingnya sudah mencapai 90%.
Bagi sekolah pilot yang tumbuh subur, semakin banyak siswa yang masuk tentu akan semakin senang. Akan tetapi siapa yang mengurus penyalurannya setelah mereka lulus? Sampai kini belum jelas siapa yang harusnya bertanggung jawab.
Sementara pilot asing sudah ada agen-agen yang melayaninya, begitu mereka hengkang (selesai memperoleh jam terbang yang cukup), ke luar negeri maka penggantinya “junior pilot” sudah datang menjelang.
Garuda Indonesia, belakangan ini sudah terlihat sebagai “kebanyakan” pilot, sementara maskapai penerbangan lain sudah nyaman dengan jumlah pilot yang agak pas-pasan dan cenderung agak enggan pula menambah pilot yang hanya akan menambah cost belaka.
Di sisi lain, ada gejala setiap maskapai kini justru berlomba untuk memiliki sekolah pilotnya sendiri sendiri. Dengan demikian yang terjadi belakangan ini, dalam keadaan kekurangan pilot, ada banyak pilot muda yang baru lulus sekolah pilot yang menganggur.
Di sisi lain, ada banyak pilot asing bekerja di sini yang sebagian besar hanya mencari jam terbang belaka untuk nantinya berkarier di negara lain.
Luruskan kesimpangsiuran
Intinya, kesimpangsiuran informasi yang beredar belakangan ini bahwa Indonesia masih membutuhkan banyak pilot perlu diluruskan.
Sebenarnya, berapa jumlah kebutuhan pilot berbanding dengan jumlah pesawat dan dihadapkan dengan jumlah lajunya pilot yang pensiun harus terinformasi dengan valid dan resmi.
Komposisi perhitungan jam terbang dan waktu istirahat di setiap maskapai pun seyogyganya menjadi syarat menghitung komposisi perbandingan jumlah pesawat dan pilot. Misal saja idealnya untuk satu pesawat narrow body, harus tersedia 4 hingga 5 set pilot (terdiri dari captain & first Officer ).
Sementara itu, realitanya sekolah pilot milik pemerintah (STPI Curug ) yang dulu “gratis” , sekarang juga sudah di pungut biaya, sehingga untuk menjadi pilot saat ini syaratnya adalah “harus punya uang”.
Dengan demikian, kesempatan bagi putra bangsa terbaik untuk dapat dengan bebas bersaing untuk diseleksi dan ikut mendapat beasiswa sudah tidak seperti dahulu lagi.
Sebagai tambahan catatan, perlu diketahui dalam soal kualitas, sekali lagi skill anak-anak Indonesia tidak kalah dengan bangsa lain. Banyak pilot Indonesia yang juga laku dan sangat disegani di berbagai Maskapai penerbangan luar negeri.
Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa dari sisi kualitas sebagai seorang pilot, orang-orang Indonesia tidak kalah dari pilot asing. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat bersama-sama memandang persoalan serius ini untuk dapat dipecahkan bersama dengan baik.
Pasar angkutan udara global yang kini tengah membaik sebenarnya berada dalam pusaran kawasan Pasifik. Dikawasan Pasifik ini, pasar angkutan udara yang paling menjanjikan adalah di Indonesia tercinta, “our beloved country” tempat bermukimnya sang Ibu Pertiwi.
Menurut Mahatma Gandhi: “It may be possible to gild pure gold, but who can make his mother more beautiful?”
Itulah sekelumit kisah tentang nasibnya anak bangsa.
Sumber : Kompas.com
Editor : Wisnu Nugroho