Pagi hari tadi, saya bersama Prof.Priyatna Abdurrasyid SH, pakar hukum udara/ruang angkasa dan Dudi Sudibjo, wartawan senior kompas dan pemimpin majalah Angkasa, hadir di Pengadilan Negeri Sleman. Kedatangan kami bertiga, hanya untuk keperluan menghadiri pembacaan vonis hakim dalam sidang pengadilan yang mengadili Capt. Marwoto. Menghadiri disini adalah manifestasi dari ujud rasa simpati mendalam kami terhadap Capt. Marwoto. Kami bertiga tidak mengenal Marwoto, tidak ada hubungan pertemanan, persaudaraan dan apapun, kecuali hubungan spirit orang-orang yang bergiat dibidang kedirgantaraan. Hubungan yang sangat dekat dalam naungan semangat memberikan yang terbaik bagi bangsa dibidang matra udara.
Kami tidak hendak membela secara membabi buta Marwoto yang diduga lalai dan mengakibatkan kematian orang lain, akan tetapi kami bersimpati dan membela agar Marwoto memperoleh keadilan yang sesuai dengan apa yang pernah dilakukannya. Kami membela, agar kemudian dunia penerbangan kita tidak menjadi hancur lebur, hanya karena kekeliruan dalam mengambil langkah “mempidanakan” seorang Pilot dalam kasus kecelakaan pesawat terbang.
Sudah banyak tulisan saya turunkan berkait dengan hal ini. Intinya adalah, tetap dalam sikap menghormati terhadap majelis pengadilan, kami berpendapat proses peradilan yang berlangsung itu, tidak akan pernah mencapai kesimpulan yang benar. Karena para jaksa dan hakim yang bertugas mengadili Pilot Marwoto adalah terdiri dari orang-orang yang sangat tidak mengetahui tentang dunia penerbangan. Mereka tidak tahu bahwa dalam dunia penerbangan, kecelakaan pesawat terbang tidak pernah terjadi karena disebabkan oleh sebab yang tunggal.
Kami bertiga merasa iba, kasihan dan sesekali terpaksa tertawa saking lucunya, pada saat tim Hakim membacakan uraian tentang keputusan pengadilan yang menjatuhkan vonis dipagi hari itu. Sebagian besar naskah yang dibacakan itu adalah uraian yang menyangkut masalah penerbangan dan tentu saja berisi banyak terminologi tentang penerbangan.
Sangat jelas terkesan Hakim ketua dan seluruh Hakim anggota tidak tahu sama sekali tentang penerbangan. Tidak itu saja, maaf, membaca terminologi bahasa Inggris pun, mereka tidak mampu. Sekedar contoh “touch down”, dibaca sebagai “tuj don”, dan masih banyak lagi. Sekali lagi maaf, tetapi banyak lagi ucapan-ucapan dalam bahasa Inggris yang menjadi sangat menggelikan. Bagaimana bisa, orang-orang ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa si Pilot bersalah.
Dalam salah satu penjelasannya Marwoto mengatakan, antara lain bahwa bukan dia tidak mengindahkan peringatan Co Pilot untuk “go – around”, menunda pendaratan dengan menaikkan kembali pesawat keketinggian tertentu, akan tetapi dia mengalami “elevator jammed”, bidang kemudi vertikal “ngeblocked” tidak bisa digerakkan. Itulah yang konon menyebabkan dia tidak punya pilihan lain, selain harus mendarat walaupun dengan risiko akan keluar landasan. Nah ini kan harus dibuktikan dulu, apakah benar atau tidak. Pembuktian ini harus diuji oleh penerbang senior yang berpengalaman serta para teknisi senior dibidang “aircraft structure”, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa ternyata “elevator jammed” itu terjadi karena sebab apa, dan baru dari situlah kemudian bisa sampai kepada siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian itu.
Hal yang sangat teknis seperti ini, agak mustahil bisa dibahas oleh para ahli hukum pidana. Jadi Pilot Marwoto, divonis dengan hukuman penjara 2 tahun, sebelum dapat dibuktikan bahwa dia bersalah.
Lainnya lagi adalah, Hakim menyebutkan bahwa mereka menggunakan CVR,Cockpit Voice Recorder, bagian dari Black Box sebagai salah satu referensi dalam menentukan amar putusannya. Padahal jelas dalam Annex 13 ICAO regulation ditentukan bahwa Black Box tidak diperbolehkan digunakan sebagai barang bukti di pengadilan.
Masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan dalam proses perjalanan pengadilan ini. Namun, majelis Hakim dan juga Jaksa tetap bersikap “maju terus pantang mundur”, walaupun dalam salah satu rangkaian jalannya sidang, mereka mencoba mendapatkan keterangan dari salah satu investigator Australia, yang ditolak mentah-mentah dengan mengatakan bahwa bila dia memberikan keterangan hasil penyelidikan kecelakaan pesawat terbang di pengadilan, maka menurut hukum Australia dia bisa langsung dipenjarakan selama 3 tahun ! Hakim tetap saja jalan terus dan sampai pagi – siang tadi membacakan vonisnya.
Vonis telah jatuh, dan “semakin cemar” lah dunia penerbangan kita dimata internasional. Sangat Memalukan ! Saya pribadi merasa kasihan kepada majelis pengadilan sleman ini seraya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga dosa-dosa mereka diampuni hendaknya. Saya yakin, mereka bukan Arogan, akan tetapi memang tidak mempunyai cukup pengetahuan. Pengetahuan yang cukup dalam bidang penerbangan.
Kini, vonis telah jatuh, dan dampaknya adalah : semua penerbang di Indonesia dan juga semua penerbang yang terbang diwilayah yurisdiksi Indonesia akan merasa takut dan tidak nyaman untuk terbang, mereka takut di “pidana”kan, mereka takut di “marwoto” kan ! Takut dan tidak nyaman, sekali gus membuat semua penerbangan di Indonesia saat ini menjadi tidak aman, karena di “piloti” oleh para penerbang yang sedang ketakutan ! Dunia penerbangan kita berada diambang kehancuran ! Apabila seluruh Pilot Indonesia tidak bersedia terbang, terus bagaimana?
Pekan Baru 7 April 2009
4 Comments
Bapak. saya wina dari radio MQ YOGYAKARTA.
kami ingin interview langsung dengan bapak hari rabu (8/4) pkul 20.15 WIB sekitar 10 menit terkait vonis kepada Capt. Marwoto. Jika berkenan kami boleh tahu no telpon bapak?
terimakasih
OK, nanti saya hubungi. Terimakasih. salam, CH
saya sangat setuju bahwa para hakim adalah orang “awam” di dunia penerbangan. mungkin mereka menganggap bahwa pilot sama dengan supir “metro mini” dimana kalau nabrak dipenjara. padalah untuk menjadi penerbang saja memerlukan tes yang ketet seperti medical, psikologi dan lain lain sehingga mereka dianggap “qualify” sebagai seorang penerbang. dunia aviasi juga menggunakan prosedur yang ketat. apakah para hakim mengerti prosedur tersebut? dan penggunaan KUHPidana dalam memutus perkara ini saya rasa tidak tepat. salah satunya KHUP yang berlaku sebagai hukum positif di indonesia dibuat pada 1917 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
mungkin juga karena hakim Indonesia tidak menggunakan peraturan Internasional dalam dunia penerbangan, Indonesia masih di “ban” dari Uni eropa hehehe
salam
Terimakasih Riko untuk komentarnya, salam, CH.