Ditahannya Bibit dan Chandra oleh pihak kepolisian telah menggulirkan opini di masyarakat yang tidak menguntungkan Pemerintahan Baru SBY. Dinamika yang terjadi belakangan ini sekaligus juga memperlihatkan potret dari model pemerintahan baru yang belum genap umurnya 100 hari sekalipun.
Pendapat masyarakat awam atau publik opinion, yang biasanya berujud sebagai “kritik sosial”, pada hakikatnya sulit sekali untuk dapat dibendung. Dia akan terus mengalir kemana saja, tergantung kepada saluran yang tersedia. Aliran itu baru dapat terbendung dan menjadi cair setelah mencapai tujuannya. Saluran yang tersedia biasanya adalah hanya ada tiga yaitu “Parlemen” atau “DPR jalanan” atau “kesejahteraan masyarakat”. Jadi sebenarnya sangat sederhana sekali.
Untuk kasus Bibit dan Chandra ini, apabila terjadi di era tenggang waktu 5 tahun pertama pemerintahan SBY, dapat dipastikan “hiruk pikuk” sudah terjadi lebih awal dan tempatnya adalah di Senayan (gedung DPR dengan squad “oposisi”). Biasanya, menurut pengalaman maka “kompromi” dalam gedung yang megah itu mudah sekali untuk dicapai. Beberapa kali negosiasi maka banyak masalah segera berkahir dan dapat diselesaikan “secara adat”.
Nah, karena sekarang ini kasus tersebut muncul di era pemerintahan kedua SBY, maka sesuai dengan tatanan yang ada, atau sesuai dengan saluran yang tersedia kasus inipun kemudian bergerak di “DPR jalanan” lengkap dengan perangkatnya yaitu media massa cetak dan elektronik dan bahkan internet melalui “facebook”. Sementara DPR di Senayan masih sunyi sepi, dan bahkan beberapa penghuninya masih sibuk dalam tampil sebagai iklan di televisi sebagai seleberiti.
Andaikata peristiwa serupa terjadi di Singapura, maka masalah ini akan segera menguap ditengah kesejahteraan rakyatnya, yang biasanya parallel dengan ketatnya peraturan pemerintah dalam menanggulangi masalah-masalah “internal affair” . Sekali lagi sesederhana itulah sebenarnya gambar besar dari penanganan manajemen konflik pada tatanan strategis.
Kembali kepada perkembangan akhir yang tengah kita hadapi . Koran ibukota pagi hari ini diluar kebiasaan menurunkan “headline” yang sama topiknya. Bahkan harian Kompas yang biasanya menjadi “trend setter” dalam topik halaman utamanya/lain dari yang lain, pagi ini meninggalkan sejenak kebiasaannya itu dan jadilah seluruh Koran Pagi mengangkat masalah Bibit Chandra menjadi “judul utama”. Semua memberikan dukungan kepada Bibit dan Chandra. Salah satu Koran menurunkan nya dengan judul besar yang cukup atraktif : “Bukti Diragukan, Dukungan Meluas”. Diikuti dengan sub judul : Tokoh nasional, akademisi, mahasiswa dan mayarakat luas bersatu mendukung Bibit dan Chandra.
Tidak hanya solidaritas yang tumbuh di “facebook” akan tetapi juga konon teman seangkatan Bibit di Akabri, lulusan 1970 telah pula menggalang kekuatan solidaritas bagi koleganya itu. Lebih dari itu yang cukup menarik adalah, Staf khusus Presiden bidang Hukum yang selalu keras sekali dalam membela SBY, kali ini komentarnya sangat berbeda. “Kalau melihat sampai sejauh ini, bukti yang dihadirkan, tidak mengherankan kalau menimbulkan keraguan dihadapan publik”, katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Kelihatannya masalah ini akan belum berhenti mengalir. Blunder kayaknya memang berawal dari pihak Kepolisian. Penjelasan pihak Polisi kepada masyarakat belum atau tidak atau kurang dapat dipahami benar oleh masyarakat banyak. Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Polisi sudah benar sesuai dengan aturan yang ada, namun karena masalah ini adalah menyangkut masalah yang sangat sensitif bagi hadirnya rasa keadilan orang banyak, maka penjelasan Polisi menjadi kurang “pas”. Disinilah kemudian banyak orang mempertanyakan “profesionalitas” dari kepolisian kita. Apa itu profesionalitas atau profesionalime?
Banyak definisi tentang profesionalitas atau profesionalisme yang dikenal saat ini, namun ada satu contoh rumusan yang lebih mudah untuk dapat dimengerti. Samuel Huntington mengatakan bahwa seberapa ahlinya seseorang atau suatu institusi, apabila dia tidak ada manfaatnya bagi masyarakat banyak, maka dia itu tidak dapat dikatakan “professional”!
Nah, berangkat dari pemahaman yang mudah ini, maka tuntutannya sekarang adalah, bagaimana Polisi dapat lebih professional. Kepolisian sudah banyak jasanya bagi upaya-upaya yang berkait dengan ketertiban dan keamanan masyarakat. Tentunya diharapkan dalam hal ini pun dalam masalah Bibit dan Chandra polisi dapat berperan sesuai dengan tugas pokoknya.
Dari kasus ini, ada yang berpendapat bahwa mungkin sudah waktunya untuk melihat kembali kedudukan Polisi yang selama ini berada dibawah Presiden. Mereka berpikir, terlalu jauh Presiden untuk dapat menyentuh komando dan pengendaliannya kepada aparat kepolisian. Dibanyak Negara maju, Kepolisian Negara selalu berada dibawah Departemen Dalam Negeri, bahkan dalam beberapa negera tidak terdapat Kepala Kepolisian, yang ada hanyalah Kapolda yang merupakan aparat dari Pemerintah Daerah. Mungkin saja, hal ini adalah satu upaya agar Polisi dapat terhindar dari penyalahgunaan oleh penguasa dan juga dapat terhindar dari perlaku yang sewenang-wenang. Beberapa teman purnawirawan Polisi pun sepaham dengan pemikiran ini.
Dengan demikian ditataran Nasional, dalam konteks manajemen konflik yang khusus berhubungan dengan masalah pendapat masyarakat/public opinion, yang biasanya adalah berbentuk kritik sosial, akan dengan mudah dapat diatasi. Benar-benar hanya masalah pilihan, yaitu apakah ada “oposisi” di DPR, ataukah melalui Parlemen jalanan dengan perangkat media massa, atau kesejahteraan rakyat dengan perangkat penegakkan hukum yang ketat seperti penerapan “security act” di Malaysia dan Singapura.
This is “multiple choice” !