Sebuah pesawat milik maskapai Singapore Airlines mengalami kerusakan mesin sehingga harus melakukan pendaratan darurat di Bandar Udara Changi, Singapura, Senin (27/6/2016).
Penerbangan SQ368 itu seharusnya terbang dari Changi menuju Milan, Italia. Namun setelah sekitar dua jam mengudara, pilot melaporkan adanya masalah di mesin, yang memaksa pesawat kembali ke Singapura.
Pesawat Boeing 777 itu akhirnya mendarat pada sekitar pukul 7.00 pagi waktu setempat.
Tanpa diduga, saat pesawat menyentuh landasan, keluar percikan api yang seketika melalap sayap kanan pesawat itu. Dipastikan, tak ada korban luka dan 222 penumpang serta 19 kru pesawat dalam kondisi selamat.
Peristiwa ini tercatat sebagai sebuah kejadian yang mengagumkan, karena situasi dan keadaan darurat dapat ditangani dengan sangat baik, sehingga tidak ada korban yang berjatuhan.
Tidak heran banyak pihak yang memuji Singapore Airlines dan Bandara Changi atas tingkat profesionalitas yang dipertunjukkan dalam bidang tugasnya.
Dunia penerbangan adalah lingkungan yang sangat melekat dengan kemajuan teknologi. Semua yang berkait dengan kemajuan teknologi selalu berada dan menuntut keteraturan yang sangat hitam putih sifatnya.
Dalam operasi penerbangan, maka mekanisme kerjanya sudah dipagari dengan demikian banyak aturan ketentuan dan regulasi yang bertujuan memberikan jaminan keamanan bagi semua orang yang terlibat didalamnya.
Itu sebabnya, bila semua aturan, ketentuan dan regulasi yang telah ditentukan itu dipatuhi dengan baik maka kemungkinan terjadinya kecelakaan akan menjadi kecil sekali.
Prosedur
Semua ketentuan, regulasi dan aturan tersebut dituangkan dalam sebuah tata kerja yang dikenal sebagai “normal procedures”.
Menyadari benar akan keterbatasan dari kemampuan manusia dalam mengoperasikan apapun yang tetap masih akan tergantung kepada faktor lain, seperti cuaca, faktor teknis dan lain sebagainya, maka diantisipasi bahwa dalam operasi penerbangan pasti akan tetap berhadapan juga dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Untuk itulah dalam dunia penerbangan telah dibuat pula sebuah tata cara kerja untuk menghadapi kemungkinan kecelakaan yang dikenal dengan terminologi “emergency procedures”.
Dengan demikian menjadi jelas sekali bahwa dalam kegiatan operasi penerbangan memang telah ditentukan sebuah panduan agar dapat bekerja dengan aman dan selamat.
Panduan itu bernama “normal procedures”. Bila kemungkinan tentang kecelakaan yang mungkin saja dapat terjadi sudah pula dibuat panduan kerja untuk mengatasi agar kemungkinan atau bahkan kecelakaan yang sudah sempat terjadi, dapat diatasi dengan baik.
Dalam hal ini pengertiannya adalah korban dan akibat buruk kerusakan lainnyanya dapat di tekan ke tingkat yang paling minimal. Panduan ini disebut atau dikenal sebagai “emergency procedures”.
Nah, tingkat profesionalitas dari para praktisi dibidang penerbangan, terutama sekali akan diukur dari sejauh mana mereka menguasai dengan baik bidang kompetensinya termasuk keterampilan dalam melaksanakan “normal procedures” dan tingkat penguasaannya dalam antisipasi saat mengerjakan “emergency procedures”, bila terjadi kecelakaan.
Kedua hal tersebut, sangat memerlukan pendidikan dan latihan khusus yang ketat serta terus menerus.
Itu pula sebabnya, dalam dunia penerbangan dituntut disiplin yang ketat tanpa kompromi. Disiplin ketat tanpa kompromi akan sulit dapat terjaga dengan baik tanpa adanya pengawasan yang terus menerus.
Pengawasan yang terus menerus akan menjadi sia sia , apabila tidak ada tindakan dengan efek jera bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan, aturan dan regulasi yang berlaku.
Itulah garis besar dari anatominya dunia penerbangan, dari seluk beluk lingkungan yang sangat teknologis sifatnya.
Emergency procedures
Mekanisme dan tata kelola serta keterampilan kerja yang seperti itulah yang ditunjukkan pada kejadian kecelakaan pesawat Singapore Airlines di Changi tersebut.
Begitu Pilot melihat ada kelainan pada mesin pesawatnya, dia sudah tau bahwa hal tersebut sudah mencapai ke satu tingkat yang harus dilakukan tindakan “emergency procedures” yang dalam hal ini harus melaksanakan “return to base”, kembali ke titik pemberangkatan.
Pilot juga segera melaksanakan langkah “emergency procedures” lainnya berupa instruksi pembagian pekerjaan bagi awak pesawat lainnya sesuai bidang tugas masing-masing.
Pada perjalanan terbang kembali ke titik pemberangkatan, dalam hal ini menuju Changi, sang Pilot memberitahukan pihak ATC (Air Traffic Control/Pemandu lalu lintas Udara) dan manajemen Bandara Changi tentang kondisinya yang tengah berada dalam keadaan “darurat” yaitu kelainan atau gangguan pada mesin pesawatnya.
Itu pula sebabnya kemudian pihak ATC dan Manajemen Bandara menyiapkan pelaksanaan “emergency procedures” yang harus dilakukan terhadap sebuah pesawat yang akan mendarat dengan kondisi gangguan mesin.
Setelah semua pihak terkait melaksanakan dengan baik “emergency procedures” sesuai bidang gugas masing-masing yang sudah menjadi panduan kerja yang baku itu, maka dapat disaksikan pesawat dengan gangguan mesin dapat mendarat dengan selamat, walau kemudian ada kebakaran yang juga dapat segera diatasi dengan baik.
Sebuah antisipasi terjadinya kecelakaan yang bahkan sudah terjadi dapat ditanggulangi dengan tingkat kerusakan dan korban yang minimal.
Kredibilitas
Itu semua, sekali lagi, adalah sebuah keterampilan yang merupakan hasil dari pendidikan dan latihan yang terus menerus.
Itu semua, sekali lagi, adalah juga sebuah refleksi dari keberhasilan membangun disiplin yang tanpa kompromi, pengawasan ketat yang terus menerus dan tindakan dengan efek jera bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan, aturan dan regulasi yang berlaku.
Itulah sebuah bangunan “kredibiltas” yang teruji dari sebuah Maskapai Penerbangan, Manajemen Bandara dan tentu saja pihak otoritas penerbangannya.
Cerminan dari itu, juga terlihat dari bagaimana para penumpang yang sangat patuh terhadap instruksi awak kabin untuk tetap duduk dengan tenang di kursi masing-masing sementara api berkobar dengan hebat di sayap pesawat.
Mereka memilik satu “kepercayaan yang kuat” sebuah “trust” yang mapan terhadap Maskapai Penerbangan dan juga pihak otoritas bandara dalam upaya mengatasi keadaan darurat.
Mereka “merasa” berada dalam penanganan dan pelayanan yang aman, mereka merasa berada dalam “a good hand”.
Mereka percaya orang-orang yang bertugas memiliki kemampuan yang tidak diragukan dalam menanggulangi “bahaya”. Itu menyebabkan meraka menjadi patuh melaksanakan perintah, tanpa ada keinginan mencari “selamat” sendiri-sendiri.
Mengagumkan memang, akan tetapi bila kita renungkan dengan seksama bahwa hal itu sebenarnya tidak terlalu “istimewa sekali” atau tidak pula sebuah hal yang “sangat luar biasa”.
Hal tersebut adalah sesuatu yang “biasa” saja, yaitu bila memang semua pihak bekerja dengan “baik” sesuai bidang tugasnya masing-masing, maka tingkat keberhasilan yang akan diperoleh dalam pelaksanaan tugas adalah memang pasti akan berbuah seperti tersebut tadi.
Mampukah kita?
Menyaksikan itu semua, banyak yang kemudian meragukan apakah kita juga akan mampu berbuat yang sama pada saat mengalami keadaan yang seperti itu.
Masalahnya, adakah kemauan kita untuk bekerja dengan irama yang seperti itu?
Peristiwa itu adalah hasil dari sebuah rangkaian “kerja keras” yang berjalan lama bertahun-tahun. Kerja keras dalam membangun etos kerja yang tumbuh bersamaan dengan kesadaran mendalam tentang posisi, tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Dunia penerbangan kita memang masih jauh dari itu, masih banyak tantangan berat menghadang yang masih harus diatasi terlebih dahulu.
Yang penting bila kita memang ingin setara dengan Negara lain, kita memang harus membangun disiplin yang tinggi.
Disisi lain juga harus sanggup membangun kesadaran mendalam tentang posisi, tugas dan tanggung jawab sesuai bidang tugas masing-masing.
Seorang Pakistan bernama Jahangir Khan mengatakan bahwa “Without hard work and discipline it is difficult to be a top professional”.
Kita memiliki potensi yang lebih dari cukup untuk meraih itu semua, mari dimulai dari diri kita sendiri masing-masing.
Kita harus mampu memetik pelajaran dari kecelakaan pesawat Singapore Airlines yang terbakar di Changi, kita harus belajar dari pengalaman orang lain, experience is the best teacher.
Sejatinya memang dibutuhkan “revolusi mental”. To be the best, we have to work harder!
Editor : Heru Margiyanto