Ada beberapa catatan yang menarik dari dunia penerbangan di Indonesia. Bisnis penerbangan selalu saja terasa atraktif dan mengundang rasa ingin tahu banyak orang. Namun sebenarnya, bila dilihat dari daftar urut-urutan macam bisnis apa yang dapat dengan mudah untuk memperoleh keuntungan maka akan terlihat bahwa bisnis IT dan Pharmacy berada diurutan yang paling atas. Sedangkan “aviation business” dan “aircraft manufacture” menempati urutan yang paling bawah. Dalam arti, antara lain adalah : membutuhkan capital yang sangat besar, sementara keuntungan yang dapat diraih sangat kecil, jadi harus di lola oleh orang yang sangat menguasai tentang “aviation” untuk dapat memperoleh benefit atau revenue yang layak.
Itu sebabnya, maka pada umumnya , maskapai penerbangan diseluruh dunia dimulai oleh pemerintahnya terlebih dahulu, karena dapat dengan mudah memperoleh subsidi selain juga sebagai symbol Negara yang kerap dikenal dengan “the flag carrier” , sang pembawa bendera negaranya, kebanggaan bangsanya.
Lalu mengapa , tetap saja banyak orang yang terangsang untuk terjun ke bisnis penerbangan?
Bisnis penerbangan disini yang akan disorot adalah tentang “ Maskapai Penerbangan” atau yang populer dikenal orang sebagai “airlines”. Ada dua hal yang menyebabkan orang tertarik dengan “airlines”. Yang pertama adalah “gengsi” dan yang kedua adalah “cash flow yang tinggi” . Padahal sebenarnya apa yang terjadi di bisnis penerbangan “yield” atau “gross revenue” nya sangat rendah.
Karena ketertarikan yang sangat besar terhadap dua hal tersebut, “gengsi” dan “cash flow tinggi” maka berbondong-bondong lah orang membuka “airlines’. Celakanya, hampir seluruhnya dari mereka itu adalah terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang memadai tentang penerbangan. Celakanya lagi adalah ternyata untuk memperoleh ijin membuka usaha “airlines” ternyata sangat mudah. Cukup dengan hanya memiliki satu atau dua pesawat sudah diperbolehkan membuka maskapai penerbangan. Maka jadilah bisnis penerbangan itu sebagai suatu bisnis yang diberlakukan sebagai aktifitas “gambling” atau berjudi semata. Terminologi yang sering digunakan untuk ini adalah “bisnis ala glodok”, yaitu kepiawaian mengelola “cash flow”.
Itulah yang terjadi, sehingga kemajuan yang pesat dari bisnis penerbangan di Indonesia menjadi sangat “pesat” dan nyaris bisa disebut “ajaib”.Bayangkan dari hanya sekitar 8 buah airlines yang ada di tahun 1960 an menjadi lebih dari 40 maskapai penerbangan di tahun 2000 an. Prestasi yang tidak pernah terjadi dibelahan dunia manapun !
Salah satu contoh dari betapa “naïf” nya para pebisnis itu adalah sebagai berikut : Untuk pesawat Boeing 737 seri 300 dan 400, dalam hitungan secara teknis maka tidak akan memperoleh keuntungan sepeser pun apabila dioperasikan pada rute penerbangan yang dibawah satu setengah jam terbang. Hal itu menyangkut dari “ operating cost” serta perhitungan teknis terkait lainnya. Itu sebabnya pula maka bila kita ke Eropa, untuk penerbangan dengan jarak pendek, mereka masih menggunakan pesawat-pesawat kecil yang bermesin baling-baling. Karena hanya dengan mengoperasikan jenis pesawat itulah mereka dapat meraih keuntungan yang cukup. Cukup antara lain dalam memberikan gaji kepada para penerbangnya dalam jumlah yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan juga dengan risiko yang dihadapi. Ini sekedar contoh dari bagaimana mengelola satu maskapai penerbangan dengan berlatar belakang pengetahuan aviation yang cukup. Apa yang mendasarinya ? Para pebisnis yang memiliki pengetahuan tentang dunia penerbangan akan selalu dan senantiasa berorientasi kepada “safety”, sehingga mereka berhitung dengan cermat dalam kalkulasi bisnis versus cost yang harus dikeluarkan untuk “safety”.
Dengan demikian, kita sudah dapat melihat dengan jernih apa yang sebenarnya terjadi di dunia penerbangan Indonesia selama ini. Mengoperasikan pesawat sejenis B-737 dalam jarak pendek (sebagai salah satu saja dari penyebab), kelihatannya memang menguntungkan, akan tetapi setelah berjalan beberapa waktu maka akan jelas terlihat bahwa hal tersebut menjadi sangat merugikan. Merugikan dalam arti cost yang dikeluarkan berkait dengan “safety” harus dikeluarkan dengan tanpa kompromi. Padahal, mereka justru dapat memasang tarif yang terkadang lebih murah dari tarif kereta api dan kapal laut. Nah, dengan demikian , sangat jelas kita kemudian sampai pada kesimpulan bahwa memang ternyata “safety” tidak diletakkan pada posisi yang seharusnya. Buktinya ? Mudah sekali, rangkaian kejadian kecelakaan yang beruntun terjadi di Indonesia selama kurun waktu lebih kurang 5 tahun terakhir adalah merupakan jawaban yang sangat gamblang terhadap pertanyaan ini. Kecelakaan-kecelakaan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kasus Adam Air adalah juga salah satu kasus yang mudah untuk dipelajari, bila kita ingin mengetahui betapa “safety” sama sekali menjadi obyek yang tidak pernah terjamah dalam pengelolaan maskapai penerbangan itu.
Betapa sangat menyedihkannya. Nyawa pengguna jasa angkutan udara di Indonesia ternyata dihargai jauh dibawah nilai yang seharusnya diberikan. Dalam format yang pendek , mungkin dapat dikatakan bahwa dunia penerbangan kita sudah melanggar HAM?
Mudah-mudahan tidak demikian adanya.
2 Comments
sebelum dibentuknya timnas EKKT oleh presiden memang kondisinya demikian namun setelah timnas EKKT bekerja secara effektif untuk mengembalikan arah penerbangan indonesia yg diikuti perubahan dalam diri birokrasi penerbangan kita saya kira hampir 2 tahun terakhir sudah cukup baik hal ini ditandai minimnya korban jiwa dalam setiap kecelakaan pesawat, thanks to timnas EKKT & DGCA indonesia
safety selalu menjadi topik utama membahas dunia penerbangan Indonesia.
baiknya regulator benar2 serius tuh memperbaiki maskapai2 kita, fungsi pengawasan y?
bagaimana mau terbang k eropa?klo terbang antar pulau aj (pernah) tersesat..Open Sky Policy siap nga y kira2??
mari selamatkan sang pembawa bendera negara, sang pembawa kebanggaan bangsanya pak..