Belakangan ini beredar luas berita tentang aroma korupsi pembelian pesawat bekas. Beberapa media antara lain Media Indonesia menurunkan berita tentang Lembaga anti korupsi Uni Eropa, Group of State against Corruption (GRECO) yang kini tengah mengusut dugaan korupsi di balik pembelian 12 Jet tempur Mirage 2000-5 bekas oleh Kementrian Pertahanan RI dari Angkatan Udara Qatar.
Terlepas dari kasus korupsi yang beredar luas, pengadaan pesawat tempur bagi kebutuhan Angkata Udara dipastikan akan mengacu kepada perencanaan strategis dari sistem pertahanan keamanan sebuah negara. Banyak pertanyaan yang muncul terhadap kejanggalan yang terjadi ini, antara lain mengapa ditengah sebuah negara sedang sibuk akan menyelenggarakan pemilu dan pilpres, dilakukan pengadaan pesawat tempur bagi Angkatan Udara. Pertanyaan yang juga sudah beredar luas adalah tentang mengapa pesawat terbang Mirage yang konon pernah ditawarkan sebagai hibah dari Qatar dan ditolak, sekarang justru dibeli.
Pengadaan pesawat tempur sebanyak 12 buah akan memerlukan banyak sekali anggaran sehingga sangat masuk akal selalu akan menjadi perhatian banyak pihak. Sekali lagi karena momentumnya bertepatan dengan persiapan penyelenggaraan pemilu pilpres, maka otomatis banyak pihak akan menghubungkannya dengan kebutuhan biaya pemilu pilpres.
Apabila benar GRECO tengah mengusut dugaan korupsi di balik pembelian 12 Jet Tempur Mirage, maka selayaknya pemerintah dalam hal ini Kemhan RI segera merespon memberikan penjelasan tentang hal ini. Berita yang akan berkembang dengan topik ini sangat memalukan dan merugikan nama baik Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat. Kemhan sebaiknya mengeluarkan pernyataan bahwa berita tersebut tidak benar sekaligus menjelaskan apa sebenarnya yang tengah terjadi dalam proses pembelian pesawat terbang tempur bekas dari Qatar itu. Hal itu yang sangat penting untuk menjaga reputasi Indonesia sebagai sebuah negara yang bermartabat.
Pesawat terbang tempur adalah merupakan alutsista (alat utama sistem senjata) yang dibutuhkan oleh Angkatan Udara dalam menjalankan tugas pokoknya menjaga kedaulatan negara di udara. Pesawat terbang tempur sebagai alutsista adalah merupakan salah satu sub sistem dalam sistem pertahanan udara Angkatan Udara, disamping sub sub sistem lainnya seperti Pangkalan Angkatan Udara, Radar Hanud (pertahanan udara) dan lain lain. Dengan demikian proses pengadaannya akan sangat terikat pada sebuah perencanaan strategis dari sistem pertahanan udara nasional secara keseluruhan. Sebagai salah satu sub sistem dia juga sangat tergantung kepada sub sub sistem lainnya sebagai sebuah sistem yang besar. Dengan status seperti itu maka tidak mungkin proses pengadaan pesawat terbang tempur dilakukan secara tiba tiba. Penegasan dalam hal ini adalah pesawat terbang tempur proses pengadaannya harus dilakukan seiring dengan perencanaan matang bagi kebutuhan sistem pertahanan udara secara utuh.
Perkembangan teknologi dalam dua dekade belakangan ini sudah melaju sangat cepat, sehingga tidak terdengar lagi kabar tentang disain baru dari rancang bangun pesawat terbang tempur modern. Pada era Cyber yang ditandai dengan Artifcial Inteligence dan Autonomous system, sistem pertahanan udara sudah terlihat akan bergeser dari penggunaan pesawat terbang tempur konvensional ke penggunaan Drone. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengadaan pesawat terbang tempur untuk sistem pertahanan udara sudah berada dalam ambang proses kadaluwarsa. Sebuah fenomena mutakhir yang harus menjadi pertimbangan serius dari para pengambil keputusan untuk masalah strategis pertahanan keamanan negara.
Khusus bagi Indonesia sekarang ini, maka kebutuhan akan pesawat terbang tempur tidaklah merupakan kebutuhan yang prioritas. Pesawat terbang tempur sebagai salah satu sub sistem dari sistem pertahanan udara nasional sama sekali bukan kebutuhan yang mendesak. Pesawat terbang tempur Angkatan Udara betugas untuk menjaga kedaualatan negara di Udara. Indonesia masih banyak berhadapan dengan masalah mengenai wilayah udara kedaulatannya. UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara tidak atau belum menyatakan bahwa wilayah udara di atas teritori NKRI sebagai wilayah kedaulatan negara. Lebih jauh lagi, wilayah udara yang sangat kritis untuk diawasi yaitu wilayah udara di kawasan selat Malaka dan kepulauan Riau, sudah sejak tahun 2022 secara resmi di delegasikan pengelolaannya kepada negara lain. Wilayah Udara yang sangat rawan itu mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 37.000 kaki pengelolaannya di delegasikan kepada otoritas penerbangan asing untuk waktu 25 tahun dan akan diperpanjang. Dengan demikian maka sejatinya Angkatan Udara Indonesia pada saat ini tidak begitu memerlukan pesawat terbang tempur untuk menjaga wilayah udara yang sangat rawan dalam aspek pertahanan keamanan negara. Sekali lagi, karena Angkatan Udara tidak lagi dituntut untuk harus bertugas menjaga dengan ketat wilayah udara yang rawan itu karena memang sudah dipasrahkan pengelolaannya kepada negara lain melalui perjanjian kerjasama antar negara.
Kembali kepada masalah dugaan terjadinya korupsi dalam proses pengadaan pesawat terbang bekas Qatar, kiranya pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertahanan wajib atau perlu untuk merespon demi nama baik Indonesia sebagai sebuah negara yang bermartabat. Harapan kita semua semoga berita yang mencemarkan nama baik Indonesia di kancah global tersebut tidak benar. Masalahnya adalah sangat sulit untuk dapat dipercaya tentang langkah seorang Menteri Pertahanan melakukan proses pengadaan pesawat terbang tempur seharga jutaan US dollar sendirian, tanpa diketahui DPR dan Presiden Republik Indonesia.
Jakarta 12 Februari 2024
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia