Dari begitu banyak komentar yang masuk menanggapi tulisan saya dengan judul “Mungkin Dirut Pertamina Dianggap Tidak Tahu Adat ?” (terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada semuanya), ada satu yang saya pikir perlu untuk diangkat secara khusus. Alasannya adalah terdapat persamaan persepsi, dengan pemikiran saya yang sudah kerap saya sampaikan pada tulisan-tulisan saya terdahulu tentang DPR.
Persamaan persepsi itu adalah mengenai kurang tepatnya Lembaga DPR yang berada dalam posisi sangat tinggi berhadapan dengan insitusi sekelas Pertamina. DPR adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya setingkat dengan kepala negara. Dengan demikian maka domain nya adalah menggarap masalah-masalah yang strategis sifatnya dengan mitra strategis lainnya di jajaran administrtasi kenegaraan. Apapun bidang tugas pokoknya, seperti fungsi “budgeting” dan juga “pengawasan”. Pengawasan disini tentu saja pengawasan yang bertengger di “strategic level”, tidak untuk hal-hal yang berkelas “tactical” atau implementasi pelaksanaan di lapangan, karena dimasing-masing strata sudah dibentuk institusi-institusi yang bertugas untuk kegiatan tersebut.
Komentar yang akan saya angkat itu adalah berasal dari saudara Susatio Soedigno. Susatio Soedigno merupakan sosok dari orang yang berpengalaman dalam mengelola Lembaga Komisaris Direktur Indonesia (LKDI). Dalam uraiannya, Susatio menerangkan bahwa DPR tidak berada dalam posisi yang setara dengan PT Pertamina. Posisi DPR dalam pemerintahan terlalu tinggi untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan sebuah PT.
Pertamina adalah sebuah PT, dimana keberadaan PT haruslah sesuai dengan apa yang tercantum didalam ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang aturan main sebuah PT. Dalam Undang undang PT, disebutkan dengan sangat jelas bahwasanya Direksi dari sebuah PT yang diangkat oleh RUPS, Rapat Umum Pemegang Saham, harus dan hanya bertanggung jawab kepada Pemegang Saham dan Komisaris sebagai pengawas perusahaan. Dengan demikian secara tidak langsung, maka sebuah PT tidak mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada pihak manapun selain pemegang saham dan komisaris. Disinilah mungkin, kata kuncinya. Jadi, dengan demikian, maka apabila DPR ingin melakukan fungsi pengawasannya terhadap sebuah PT seperti PT Pertamina ini, yang harus dihubungi oleh DPR bukanlah Pertamina itu sendiri, melainkan adalah Menteri Negara BUMN sebagai mitra strategisnya yang satu level. Dari uraian ini tentunya menjadi jelaslah, bahwa keberadaan suatu PT dalam RDP di DPR menjadi satu hal yang harus diluruskan atau dikoreksi.
Disisi lain, apabila DPR tetap merasa mempunyai hak yang sama seperti dewan komisaris dalam mengawasi sebuah PT, maka tidak dapat kita bayangkan, betapa sibuknya DPR yang harus mengundang sekian banyak PT yang ada di tanah air ini.
Saya sering memberikan ilustrasi tentang masalah-masalah yang sejenis dengan ini. Di tata surya kita ini, tempat bumi kita berada yaitu di galaxy yang bernama “Milky way” terdapat begitu banyak benda langit yang jumlahnya tidak terhingga. Walaupun seluruhnya bergerak, namun seluruh benda langit itu terlihat cantik dan harmonis. Mengapa ? karena semua benda langit itu bergerak didalam garis orbitnya masing-masing. Ada juga satu dua benda langit yang tidak bergerak patuh dan taat pada garis orbitnya. Benda langit ini bernama “meteor”. Nah meteor inilah yang pekerjaannya menabrak kesana dan kesini persis seperti gerakan “bajay”. Mungkin sudah menjadi hukum alam, didalam semua keteraturan, selalu ada saja satu dua yang “nyeleneh”. Namun, biasanya yang nyeleneh itu adalah dari kelompok yang sangat kecil besarannya. Itu sebabnya maka di Galaxy ini pun, meteor itu hanya satu dua dan sangat kecil keberadaannya dibanding dengan ukuran sang Milky Way. Apa jadinya, bila yang menjadi meteor itu adalah benda langit yang sebesar matahari atau bumi ukurannya , matahari dan atau bumi yang sudah tidak mau lagi bergerak patuh dan taat kepada jalur orbitnya ? Jawabannya sangat mudah yaitu : “kiamat tengah menjelang”.
Hai Umat Manusia Segeralah Engkau Minta Ampun Kepada Yang Maha Kuasa !