Menurut Juwono Sudarsono, Indonesia telah lama disebut sebagai “negara demokrasi terbesar ketiga”,setelah India dan Amerika Serikat. Sedikitnya hasil Bali Democracy Forum yang diselenggarakan 9-10 Desember 2010 lalu membuktikan itu.
Di samping itu, kita juga sudah terlalu sering mendengarkan betapa Indonesia dibanggabanggakan sebagai negara yang sangat maju dalam kiprahnya berdemokrasi di permukaan bumi ini, setelah bergulirnya era reformasi. Terlepas dari “prestasi” yang sangat membanggakan itu, realita yang kini dihadapi adalah justru berwujud gambar yang sangat memprihatinkan.
Dalam salah satu tulisan Sayidiman Suryohadiprojo, bahkan dikatakan “Adalah kenyataan bahwa Tanah Air dan bangsa Indonesia sedang diliputi persoalan berat yang membuatnya makin berantakan.Korupsi makin merajalela di semua lapisan masyarakat. Kriminalitas kian merusak dan membahayakan kehidupan. Radikalisme membuat kehidupan bangsa makin jauh dari asas gotong royong. Dan,rakyat belum kunjung sejahtera; yang kaya justru makin kaya.
Lebih lanjut dikatakan pula: “Dalam hal ini, harus ada kesediaan Presiden Yudhoyono turut mewujudkan pergantian pemimpin yang lebih mampu mengatasi berbagai persoalan negara dan bangsa. Sikap demikian mungkin bukan sikap seorang politikus yang biasanya lebih memperhatikan kepentingan pribadinya. Akan tetapi, Presiden Yudhoyono adalah seorang perwira tinggi TNI yang teguh menjalankan Saptamarga, bukan politikus.”
Di sisi lain,anak muda generasi penerus bangsa yang diwakili oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Wapres Boediono gagal total setelah enam tahun memimpin.
Penilaian itu didasarkan atas kajian terhadap enam sektor, yaitu hukum, kesehatan, ekonomi, pangan, energi, dan pendidikan. Terlepas dari itu semua, sebuah kenyataan pahit yang tengah dihadapi bangsa ini adalah begitu banyaknya masalah yang muncul ke permukaan, tanpa tanda-tanda adanya upaya mencari solusi penyelesaian dengan tuntas dan baik.
Permasalahan-permasalahan besar yang mencuat telah menjadi bahan gunjingan yang tiada henti di berbagai media, terutama di media televisi dalam bentuk talk show yang nyaris tanpa terputus sepanjang hari, yang terkadang sangat mirip opera sabun murahan.
Solusi Demokrasi
Logis jika muncul pertanyaan, apakah itu semua yang dimaksud dengan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia? Apabila tidak kunjung juga ada tindakan yang mengarah ke perbaikan dari masalah-masalah tersebut, makna demokrasi menjadi satu persepsi yang sangat negatif.
Itu sebabnya kemudian, beberapa waktu yang lalu timbul kabar tentang kerinduan banyak orang terhadap rezim pemerintahan Orde Baru. Satu pemerintahan yang sering dikatakan sebagai otoriter, namun mampu menghadirkan kenyamanan dan keamanan yang dinikmati banyak orang di kala itu.
Visualisasi dari pelayanan umum dan lalu lintas yang amburadul serta kebebasan yang sangat bebas yang terjadi, telah memberikan kesan bahwa itu adalah demokrasi yang dicita-citakan melalui arus perjalanan reformasi.Padahal, bila ingin mendalami secara mudah saja dapat dilihat di Amerika Serikat, sebagai negara demokrasi terbesar, tidak ada kebebasan seperti yang dialami kini di Indonesia.
Demikian pula di India serta di Inggris. Di ketiga negara tersebut, justru banyak aturan yang sangat ketat ditegakkan tanpa pandang bulu dari suatu pemerintahan yang kuat.Terminologi demokrasi telah menjadi pertanyaan besar, bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di negeri ini terhadap cita-cita yang diinginkan dalam proses reformasi.
Dalam banyak diskusi pemecahan masalah bangsa, dengan segala macam alasan untuk tidak menyalahkan siapasiapa, maka yang mencuat sebagai kesimpulan dari ter-jadinya seluruh kesemrawutan ini adalah belum sempurnanya sistem negara kita. Sistem negara yang dikaitkan dengan tidak jelasnya apakah presidensial ataukah parlementer.
Masalah ini sebagai akibat dari jurus amendemen UUD 1945 yang berhenti di tengah jalan. Lalu, siapakah sang CEO negara ini yang harus mengajak seluruh elite untuk menyempurnakan sistem negara yang dimaksud, menyempurnakan atau mengamendemen UUD 45, agar tidak lagi dapat dijadikan alasan dari kegagalan jalannya satu pemerintahan berwibawa yang dirindukan banyak orang?
Subjek yang harus dikerjakan terlebih dahulu haruslah disusun dengan skala prioritas yang cerdas, dibandingkan dengan hanya membiarkan semua sistem yang selama ini dikatakan “kurang bagus”untuk berjalan saja bergulir tanpa arah yang jelas. Di sini hanya satu yang kemudian menonjol, yaitu “tanggungjawab” sebagai pemimpin.
Banyak yang mengatakan bahwa persoalannya adalah telah menjadi sekadar pada dua hal yang sangat prinsip,yaitu leadership dan manajemen. “Sukses” menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di muka bumi ini dengan kondisi yang tengah kita nikmati sekarang, jelas bukanlah sasaran yang diinginkan banyak orang dalam proses reformasi yang tengah bergulir sekarang. Orang justru tengah bertanya, apa itu demokrasi? ●
Jakarta, 9 Juli 2011
CHAPPY HAKIM
Penulis buku Pertahanan Indonesia, Angkatan Perang Negara Kepulauan.
Artikel ini sudah dimuat di Koran Sindo hari ini halaman 10.