Penegakkan hukum di negeri ini sepertinya belum dapat dijalankan dengan baik. Orang Malaysia , bila membicarakan tentang Indonesia akan mengatakan bahwa di Indonesia “tak ade otoriti, maksudnya authority”. Maksudnya adalah bahwa dalam banyak aspek, sulit sekali untuk menemukan alamat yang tepat untuk mengurus, misalnya saja tentang perijinan. Kadang cukup ijin dari pemerintah daerah, tetapi kerap pula harus memperoleh ijin dari polisi, dan tidak jarang pula ternyata harus berurusan dengan para “jawara” atau preman penguasa kawasan setempat.
Hal inilah juga yang sering kita lihat, pada kesempatan dibongkarnya bangunan-bangunan liar di ibukota. Pada waktu tertentu, dibongkar paksa sampai habis babak belur, dan dilain kesempatan seolah mereka memperoleh kembali ijin atau paling tidak mereka tidak mengalami hambatan untuk membangun kembali rumah yang tanpa IMB itu.
Begitulah yang sering terjadi. Rumah liar ternyata juga dapat memperoleh fasilitas listrik misalnya. Padahal kita tahu semua bahwa untuk memperoleh jaringan listrik resmi dari PLN, surat ijin bangunan merupakan salah satu syarat yang harus di penuhi.
Konsistensi dalam penegakkan hukum, tidak pernah berjalan dengan baik. Sebentar ditindak, dan sebentar kemudian dibiarkan kembali. Dibiarkan kembali, adalah juga dapat bermakna “dijinkan”. Hal inilah yang terutama sekali sering dilakukan oleh aparat pemerinitah daerah dan juga pihak kepolisian.
Apabila kita menyusuri jalan Antasari di Jakarta Selatan, sejak bulan yang lalu dapat disaksikan papan berwarna merah yang ditancapkan di depan tempat usaha, antara lain bengkel dan toko sepanjang jalan.
Papan berwarna merah itu bertuliskan huruf besar-besar “Bangunan ini di segel !”, Tidak sesuai penggunaan. SK Gubernur No 1068 tahun 1997.
Pada hari-hari pertama, pihak pemilik usaha bersikap mendua. Sebagian tetap buka, menjalankan usahanya, dan sebagian lagi langsung mematuhinya dengan menutup tempat usaha mereka. Akan tetapi apa yang kemudian terjadi ? Hari ini, dapat dikatakan semua badan usaha sudah membuka kembali toko/badan usahanya serta melakukan kegiatan hari-hari tanpa merasa risih lagi dengan papan merah yang dipancang atau ditancap dimuka badan usaha, kantor dan atau bengkel itu. Papan yang berwarna merah yang merupakan tanda, bahwa ada pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik usaha, ternyata sama sekali tidak digubris. Kegiatan hari-hari berjalan seperti biasa, seolah tidak ada apa-apa. Inilah dia yang dikatakan oleh orang Malaysia sebagai “tak ade otoriti !”
Beberapa waktu yang lalu, masalah portal liar yang menutup jalan warga telah dilarang dan dibongkar oleh pihak berwajib. Namun ternyata , juga hanya berjalan dua minggu, semua kemudian memasang kembali portal-portal itu. Bahkan, lebih dari itu muncul kemudian portal-portal yang baru, dan aneh bin ajaib, tidak ada yang melarang, apalagi membongkarnya. Jadi siapa sebenarnya pihak penguasa itu? Ribet banget.
Silahkan anda berjalan-jalan di jalan Antasari, dan menyaksikan toko-toko dan atau bengkel yang tetap beraktifitas normal sepanjang hari, sementara terpasang papan peringatan bahwa peruntukkan kawasan itu dilarang untuk dijadikan sebagai tempat usaha.
Emangnya Gue Pikirin ?!
Jakarta 9 Desember 2009
2 Comments
di butuhkan ketegasan pemerintah pak, untuk menegakkak otoritas di negeri ini.
Setujuuu!