Perkembangan akhir-akhir ini pasca pilkada DKI Jakarta, Indonesia seolah terbelah menjadi dua kubu yaitu antara pendukung Ahok dan kubu lawannya. Yang sangat disayangkan adalah, tujuan yang sangat mulia dari sebuah proses pemilihan kepala daerah untuk memperoleh orang terbaik sebagai pemimpin, ternyata bergeser kepada hal yang sangat “rawan” yaitu mencuatnya perbedaan agama dan ras. Indonesia yang begitu beraneka ragam perbedaan yang dimilikinya sudah puluhan tahun dikagumi di saentero jagad. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di permukaan bumi ini toleransi antar umat beragama di Indonesia relatif berada pada tempat yang sangat dihormati . Walau ada percikan-percikan kecil yang diakibatkan perbedaan agama akan tetapi secara keseluruhan, terutama didaerah-daerah yang tersebar luas, kerukunan antar umat telah banyak menjadi contoh bagi negara-negara lain yang mengamatinya.
Sebenarnya, agama hanyalah salah satu saja perbedaan yang dapat dengan mudah direkayasa oleh pihak yang ingin mengadu domba antar sesama warga Indonesia. Masih banyak lagi kerawanan dari perbedaan yang ada di negeri ini. Perbedaan suku, ras, bahasa, adat istiadat, golongan dan partai yang sekian banyak adalah potensi perpecahan yang setiap saat dapat datang mengancam. Itu pula sebabnya, sudah sejak lama dalam pemerintahan yang silih berganti selalu mengobarkan agar kita semua waspada terhadap berbagai isu SARA, Suku, Agama Ras dan Antar Golongan. Seharusnya kita semua bersukur bahwa hingga kini pada usia yang sudah lebih setengah abad kemerdekaannya Indonesia masih berada dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sayangnya kini, diawal tahun 2017 terutama pasca keputusan Hakim yang menghukum Ahok, calon Gubernur DKI Petahana, 2 tahun penjara atas tuduhan penistaan agama, ancaman perpecahan telah hadir diambang gerbang pintu kebanggaan persatuan bangsa. Indonesia kini seolah telah terbelah dua antara mereka yang bersimpati dan membela Ahok dan mereka yang memang menghendaki Ahok masuk Penjara. Berbagai unjuk rasa dengan bermacam model serta datang bergeombang dari kedua kubu digelar silih berganti. Eskalasi kerawanan terhadap kemungkinan terjadinya konflik horisontal semakin hari semakin meningkat. Suhu persaingan semakin panas seiring dengan panasnya suhu udara di ibukota menjelang berakhirnya musim penghujan. Peningkatan kerawanan ini sudah terlihat nyata sebagai sangat menghawatirkan. Beberapa pihak sudah terlihat ingin berinsiatif untuk dapat segera menangani masalah genting ini agar memperoleh perhatian serius dari pimpinan negara.
Adalah sebuah kenyataan bahwa negeri ini memang sudah berhasil dan berpengalaman dalam menghadapi masalah krisis di waktu yang lampau untuk dapat diatasi dengan jalan damai. Walaupun adalah sebuah kenyataan pula bahwa pada beberapa kasus ancaman persatuan bangsa , Indonesia beberapa kali keluar dari kemelut setelah memakan sekian banyak korban nyawa dari orang-orang yang tidak bersalah dan berdosa. Kali ini tentunya kita semua sangat berharap kemelut ancaman persatuan bangsa sebagai akibat dari penyelenggaraan pilkada Jakarta dapat segera diakhiri sebelum melangkah kearah yang lebih parah. Kita semua tidak menginginkan jatuhnya korban sia-sia dari anak bangsa hanya untuk pertentangan yang berdasar pada perbedaan agama dan ras. Sampai dengan titik ini maka seyogyanya kita semua sudah harus sadar bahwa persatuan bangsa jauh lebih penting dari sekedar persaingan keras dalam memilih pemimpin setingkat gubernur Jakarta. Kata kata dalam pepatah yang populer sejak dulu patut dicermati maknanya , bersatu kita teguh , bercerai kita runtuh. Bangsa ini harus diantar kepada kesadaran bahwa sementara negara-negara kecil disekitar kita tengah berlomba untuk maju menjawab tantangan jaman, sementara kita hanya sibuk dengan pertentangan yang tiada akhir. Pertentangan yang menyita banyak waktu dan energi sendiri yang nantinya akan berakibat negara tercinta menjadi negara terbelakang dan bahkan negara gagal di kancah global.