Perspektif Hukum Internasional dan Relevansinya terhadap Keamanan Nasional
Abstrak: Kedaulatan negara adalah prinsip fundamental dalam hukum internasional yang mencakup wilayah daratan, lautan, dan ruang udara. Dalam konteks modern, ruang udara memiliki kepentingan strategis yang tinggi, baik dari segi komersial maupun pertahanan. Artikel ini membahas arti dan cakupan kedaulatan negara di udara berdasarkan pemikiran para ahli hukum seperti Prof. Dr. Priyatna Abdurrasjid, Prof. Pablo Mendes de Leon, Prof. Atip Latipulhayat, dan Prof. Syaifullah. Fokus utama diarahkan pada evolusi historis prinsip kedaulatan udara dalam konvensi internasional serta tantangan yang dihadapi negara-negara dalam menjaga kedaulatannya di tengah globalisasi penerbangan sipil. Artikel ini juga menyoroti persoalan delegasi pengelolaan wilayah udara Indonesia kepada Singapura dalam perjanjian tahun 2022 yang kontroversial.
Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang udara, hukum udara internasional, keamanan nasional, Konvensi Chicago, Konvensi Paris, FIR, Indonesia-Singapura.
Pendahuluan
Kedaulatan negara merupakan unsur utama dalam struktur negara modern. Dalam pengertian klasik, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh negara untuk mengatur segala aspek dalam wilayahnya, termasuk ruang udara. Seiring berkembangnya teknologi penerbangan dan meningkatnya kepentingan strategis udara, perdebatan mengenai ruang udara menjadi semakin relevan. Hal ini menjadi lebih penting ketika dikaitkan dengan isu-isu pertahanan dan pengelolaan wilayah udara.
Artikel ini akan mengkaji secara mendalam pengertian kedaulatan negara dan kedaulatan di udara berdasarkan pemikiran para pakar hukum ternama serta konvensi internasional yang mengaturnya.
Kedaulatan Negara dalam Perspektif Hukum
Menurut Prof. Dr. Priyatna Abdurrasjid, kedaulatan negara bukan hanya kekuasaan absolut, tetapi juga tanggung jawab hukum negara dalam menjaga keutuhan wilayah, baik di darat, laut, maupun udara. Dalam pandangannya, tanpa kedaulatan, sebuah negara tidak dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Prof. Priyatna juga menegaskan pentingnya posisi strategis ruang udara Indonesia yang unik karena karakteristik geografisnya: 1/3 wilayahnya terdiri dari daratan, 2/3 dari perairan, dan 3/3 dari udara. Dengan konfigurasi tersebut, ruang udara menjadi sangat penting untuk dipertahankan secara hukum dan strategis.
Kedaulatan negara dibagi ke dalam dua aspek: internal dan eksternal. Secara internal, negara memiliki otoritas penuh atas rakyat dan institusinya. Secara eksternal, negara berhak menolak intervensi dari negara lain dalam urusan domestiknya. Kedaulatan ini juga mencakup ruang udara yang berada di atas wilayah teritorialnya.
Evolusi Sejarah Kedaulatan Udara: Dari Konvensi Paris ke Konvensi Chicago
Menurut Prof. Pablo Mendes de Leon, prinsip kedaulatan udara yang tertuang dalam Konvensi Chicago 1944 merupakan kelanjutan langsung dari Konvensi Paris 1919. Ia menekankan bahwa kedua konvensi ini memiliki latar belakang yang kuat dalam aspek militer dan keamanan nasional. Konvensi Paris muncul sebagai respon terhadap kekacauan Perang Dunia I, di mana penggunaan pesawat udara sebagai alat militer mendorong negara-negara untuk menegaskan hak eksklusif atas ruang udara mereka.
Sebagaimana ditegaskan Mendes de Leon, Konvensi Chicago 1944 pun lahir dari konteks Perang Dunia II, di mana kembali diperkuat bahwa kedaulatan udara adalah penuh dan eksklusif. Pasal 1 Konvensi Chicago menyatakan secara tegas:
“The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
Dalam pandangan Mendes de Leon, pernyataan ini merupakan refleksi dari kebutuhan negara-negara untuk memastikan bahwa wilayah udara tidak dimanfaatkan tanpa izin untuk kepentingan militer ataupun intelijen oleh negara lain. Oleh karena itu, tidak ada konsep kebebasan udara (freedom of the air) yang berlaku secara otomatis di atas wilayah udara suatu negara. Setiap penerbangan memerlukan izin eksplisit dari negara yang bersangkutan.
Perspektif Indonesia: Kedaulatan Udara, FIR, dan Perjanjian RI-Singapura 2022

Prof. Atip Latipulhayat menggarisbawahi bahwa isu kedaulatan udara di Indonesia erat kaitannya dengan pengelolaan FIR (Flight Information Region). Walaupun FIR merupakan isu teknis yang diatur ICAO, pengelolaannya memiliki implikasi terhadap kedaulatan de facto. Ia menyatakan bahwa Indonesia harus mengelola FIR secara mandiri demi menjamin integritas wilayah dan keamanan nasional.
Atip juga menyoroti bahwa meskipun FIR tidak identik dengan kedaulatan, namun pengelolaan oleh pihak asing menciptakan kesan ketergantungan dan potensi celah keamanan. Oleh karena itu, pengambilalihan FIR oleh Indonesia merupakan langkah penting dalam realisasi kedaulatan penuh atas ruang udara nasional.
Namun demikian, perjanjian antara Republik Indonesia dan Singapura tahun 2022 yang mendelegasikan pengelolaan wilayah udara di atas Selat Malaka dari permukaan laut hingga 37.000 kaki selama 25 tahun menuai kritik keras. Dalam perspektif hukum nasional, perjanjian ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, khususnya Pasal 458, yang menyatakan bahwa wilayah udara Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain, harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun setelah undang-undang ini berlaku. Artinya, sejak tahun 2024, seluruh wilayah udara nasional harus sepenuhnya dikelola oleh Indonesia dan tidak boleh lagi didelegasikan kepada pihak asing. Delegasi pengelolaan kepada negara lain dapat dianggap sebagai bentuk pengurangan kedaulatan yang tidak sejalan dengan amanat konstitusi dan semangat kemandirian kedaulatan udara.
Lebih dari itu, perjanjian ini secara nyata mengakibatkan Indonesia kehilangan wewenang untuk mengawasi langsung wilayah udara strategis tersebut, padahal wilayah itu merupakan salah satu kawasan yang paling banyak terjadi pelanggaran penerbangan tanpa izin. Data dari Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) menunjukkan bahwa wilayah di atas Selat Malaka kerap menjadi lokasi pelanggaran pesawat asing yang masuk tanpa pemberitahuan atau izin resmi. Kondisi ini sangat berbahaya bagi keamanan nasional karena dapat membuka celah bagi aktivitas ilegal, termasuk spionase udara atau pelanggaran kedaulatan yang sistematis.
Aspek Strategis dan Keamanan: Pandangan Prof. Syaifullah
Prof. Syaifullah menekankan pentingnya ruang udara dalam strategi pertahanan nasional. Ia melihat bahwa wilayah udara tidak hanya menjadi jalur transportasi, tetapi juga ruang strategis untuk pertahanan, komunikasi satelit, dan pengawasan teknologi tinggi. Pelanggaran ruang udara, menurutnya, adalah bentuk nyata pelanggaran kedaulatan yang harus disikapi secara tegas.
Dalam pandangannya, pemanfaatan ruang udara oleh pihak asing tanpa izin negara yang bersangkutan merupakan bentuk pelanggaran serius. Oleh karena itu, sistem pengawasan dan pertahanan udara harus diperkuat sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab kedaulatan negara.
Tantangan Globalisasi terhadap Kedaulatan Udara
Di era globalisasi, penerbangan lintas batas menjadi kebutuhan utama. Namun, hal ini membawa tantangan terhadap prinsip kedaulatan udara. Kerja sama internasional dalam bidang penerbangan seringkali berhadapan dengan kepentingan nasional masing-masing negara.
Meskipun kerja sama diperlukan, sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Priyatna Abdurrasjid, negara tidak boleh melepaskan kedaulatan hanya demi efisiensi atau liberalisasi udara. Prinsip utama yang harus dijaga adalah bahwa ruang udara nasional adalah milik negara tersebut sepenuhnya.
Demikianlah , maka kedaulatan negara, terutama dalam aspek ruang udara, merupakan prinsip fundamental yang berakar pada pengalaman sejarah dan kebutuhan strategis suatu negara. Pemikiran para ahli hukum internasional menggarisbawahi bahwa meskipun terjadi globalisasi dan liberalisasi, prinsip kedaulatan tidak dapat dikompromikan. Dari Konvensi Paris 1919 hingga Konvensi Chicago 1944, kedaulatan udara ditegaskan sebagai hak eksklusif negara atas wilayah udaranya.
Indonesia, sebagai negara kepulauan strategis, harus terus memperkuat posisi hukumnya dalam mengelola ruang udara, baik secara teknis maupun politis. Perlindungan atas ruang udara merupakan bagian tak terpisahkan dari kedaulatan dan keamanan nasional yang harus dijaga secara berkelanjutan. Perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut delegasi pengelolaan ruang udara harus dikaji secara hati-hati agar tidak bertentangan dengan hukum nasional, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 458, dan tetap menjunjung tinggi kepentingan strategis bangsa.
Penutup.
Dengan demikian, perjanjian RI-Singapura tahun 2022 mengandung makna bahwa Republik Indonesia belum sepenuhnya merdeka dalam aspek kedaulatan udara. Ketergantungan pengelolaan wilayah udara kepada negara lain menunjukkan bahwa perjuangan untuk kedaulatan yang utuh dan penuh masih harus terus dilanjutkan. Lebih dari itu, kehilangan kendali pengawasan atas wilayah yang rawan pelanggaran penerbangan tanpa izin, seperti yang tercatat dalam data Kohanudnas, menimbulkan risiko serius terhadap kedaulatan dan keamanan nasional Indonesia.
Jakarta 23 Maret 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia