Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, yang dulu dikenal sebagai Pangkalan Angkatan Oedara Tjililitan, telah menorehkan banyak peristiwa bersejarah sepanjang kemerdekaan Republik Indonesia.
Masih segar dalam ingatan betapa Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma namanya begitu mencuat saat terjadinya peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965.
Setelah itu, setidaknya ada dua peristiwa besar yang dicatat dalam sejarah nasional Indonesia tentang nilai strategis dari keberadaan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Yang pertama adalah, pada saat terjadinya pembajakan pesawat terbang Garuda Indonesia jenis DC-9 rute Jakarta – Medan pada tanggal 28 Maret 1981.
Pesawat terbang DC-9 registrasi PK-GNJ dari Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia dengan nama Woyla itu dibajak beberapa saat setelah meninggalkan kota Palembang untuk transit pada rute Jakarta Medan.
Saat itu, hampir semua persiapan “operasi lapangan” termasuk simulasi pasukan khusus yang akan ditugaskan menyelesaikan pembajakan tersebut dilakukan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Berikutnya adalah saat terjadinya Tsunami Aceh pada hari Minggu tanggal 26 Desember tahun 2004, sekitar pukul 07.58 wib, sebagai akibat gempa berkekuatan 9,1 hingga 9,3 skala richter yang mengguncang dasar laut di barat daya Sumatera.
Tragedi ini tercatat sebagai yang paling hebat di dunia pada abad ke 21. Saat itu tidak kurang dari 500.000 nyawa melayang dalam sekejap di sepanjang tepian permukaan bumi yang berbatasan langsung dengan pantai Samudra Hindia.
Di Aceh sendiri tsunami itu tercatat merengut nyawa dari lebih kurang 170.000 orang. Gempa ini memang tercatat sebagai gempa ke tiga terdahsyat yang pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia.
Saat itu pusat krisis penanggulangan bencana nasional digelar di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Seluruh pesawat terbang yang dimiliki Angkatan Udara saat itu dikerahkan untuk membantu operasi penanggulangan bencana tsunami Aceh.
Demikian pula pesawat-pesawat terbang lainnya yang diperuntukkan bagi penanggulangan bencana Tsunami Aceh keseluruhannya digerakkan dari pusat kendali operasi bencana nasional di Halim Perdanakusuma.
Masih banyak lagi peran Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma dalam konteks pagelaran operasi udara militer yang berkait dengan pertahanan keamanan Negara Republik Indonesia.
Di sisi lain, sejak Halim diminta juga untuk membantu program pembangunan nasional dalam pengembangan dan pertumbuhan penerbangan sipil komersial di tanah air, maka munculah beberapa masalah yang mencuat ke permukaan.
Di samping landasan hukum dan prosedur operasi penggunaan pangkalan udara yang dilakukan bersama-sama antara kepentingan militer dan sipil secara administratif kurang tertata dengan baik, ketersediaan infrastruktur dengan tuntutan frekuensi penerbangan sipil komersial pada realitanya sangat tidak sebanding.
Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya kesemrawutan penyelenggaraan penerbangan sipil komersial yang bercampur baur dengan kepentingan latihan dan operasi Angkatan Udara di Halim.
Kesemrawutan itu pada akhirnya memang mencapai puncaknya pada saat terjadi tabrakan “konyol” pesawat terbang antara pesawat Batik Air dan pesawat Trans Nusa, awal April 2016.
Amburadulnya penataan dan pengelolaan penerbangan sipil komersial di Halim yang sangat mengganggu itu masih juga berlangsung hingga saat ini.
Sebenarnya, salah satu dari penyebab utama terjadinya kecelakaan pesawat terbang itu adalah karena sangat terbatasnya infrastruktur yang tersedia di Halim.
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, dengan 4 skadron Udara, satu skadron teknik pemeliharaan pesawat dan dua batalion Paskhasau hanya memiliki satu runway saja dan tempat parkir pesawat yang sangat sempit.
Untuk mengembangkan infrastruktur di SHIA (Soekarno Hatta International Airport) dalam menanggulangi masalah kelebihan kapasitas yang terjadi, Angkasa Pura 2 antara lain telah memutuskan mengalih-fungsikan lapangan golf yang terletak di kawasan Cengkareng.
Mungkin hal ini dapat dicontoh, bila memang Halim tidak bisa dihindarkan lagi untuk tetap digunakan bagi penerbangan sipil komersial. Di kawasan Halim terdapat tiga buah lapangan golf, yang kiranya bisa saja 1 atau 2 diantaranya dialih-fungsikan bagi keperluan pengembangan infrastruktur penerbangan.
Langkah ini paling tidak dapat lebih memberikan ruang gerak bagi pesawat-pesawat terbang Angkatan Udara untuk latihan yang selama ini sudah terlanjur terdesak keberadaannya oleh penerbangan sipil komersial.
Sedikit beruntung, karena pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara komisi 5 DPR RI dengan Menteri Perhubungan Republik Indonesia beberapa waktu setelah kejadian tabrakan pesawat terbang di Halim itu telah dicapai kesepakatan yang agak menggembirakan.
Pada prinsipnya, ketua komisi 5 DPR RI mengajukan saran untuk mempertimbangkan kembali agar fungsi Halim sebagai Pangkalan Angkatan Udara dikembalikan. Penerbangan sipil komersial hendaknya dapat dipindahkan dari Halim.
Saran tersebut diterima dengan baik dan bijaksana oleh Menteri Perhubungan yang akan mempertimbangkan dengan serius usulan tersebut, walau dengan catatan bahwa dalam pelaksanaannya pasti akan memakan waktu cukup lama yaitu sekitar satu hingga dua tahun ke depan.
Paling tidak, dengan telah terjadinya kecelakaan tabrakan pesawat terbang di Halim, maka hal tersebut telah membuka mata banyak pihak tentang bagaimana amburadulnya pengelolaan penerbangan sipil komersial yang terjadi di Halim selama ini.
Sebuah kecelakaan yang seharusnya tidak mungkin bisa terjadi, apabila infrastruktur penerbangan cukup memadai dan semua pihak yang berkepentingan serta terlibat dalam operasi penerbangan di Halim selalu patuh mengikuti semua ketentuan, regulasi dan aturan-aturan dengan penuh disiplin.
Besar harapan ke depan, kiranya hikmah dari terjadinya kecelakaan tabrakan pesawat terbang di Halim tersebut akan dapat merupakan garis awal perbaikan manajemen penerbangan sipil komersial di negeri ini khususnya di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma.
Sebuah kecelakaan konyol yang telah dan semoga, sekali lagi dapat menyadarkan kita semua tentang betapa “amburadulnya” pengelolaan penerbangan sipil komersial kita.
Kecelakaan yang telah membangunkan kita semua bahwa selama ini memang banyak sekali kekurangan yang harus segera diperbaiki, banyak sekali PR yang masih harus segera dikerjakan.
Aristoteles pernah mengatakan dengan amat gamblang bahwa “Knowing yourself is the beginning of all wisdom”.
Semoga !
Jakarta 26 Juni 2016
Editor : Wisnubrata