Berikut ini saya turunkan tulisan dari seorang penerbang senior , Capt. Shadrach Nababan, yang sebenarnya merupakan komentar dari tulisan saya terdahulu tentang Capt. Marwoto yang tengah diadili di Jogyakarta. Saya pandang perlu untuk diturunkan secara khusus, berkait dengan tuntutan Jaksa terhadap Capt. Marwoto beberapa hari yang lalu. Mudah-mudahan akan dapat menambah wawasan kita semua tentang di adilinya seorang penerbang di pengadilan pidana umum, untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia .
Berikut isi tulisan lengkapnya.
Amat sangat tidak tepat sekali ! Itulah jawabanku (untuk tidak mengatakan KELIRU atau SALAH) atas pertanyaan pada judul tulisan nya pak Chappy (sudah tepatkah pilot Marwoto Komar di pidana?) Alasannya?
- Manusia secara alami tidak luput dari dua hal yaitu “bisa lupa” dan “berbuat salah” makanya ada ungkapan “to err is human” nah untuk tidak melakukan itu atau menguranginya maka dengan kelebihan “akal budi” dibanding dengan species lainnya maka manusia mampu “membuat/menciptakan alat bantu” sampai-sampai ada pameo bahwa manusia itu adalah “hewan dengan alat”.
- Kesalahan menerapkan SOP bukanlah kejahatan! Untuk mendapatkan tingkat kehandalan dan cakap untuk menjalankan standard operating procedures maka seorang penerbang sudah diseleksi dengan ketat sejak awal, pendidikannya penuh tantangan dan latihan, serta untuk mempertahankan proficiency-nya dia harus setiap 6 (enam) bulan menjalani ujian kesehatan (medical class 1) dan proficiency check dimana dia harus mampu mendemonstrasikan di simulator kemampuannya masih standard or above meng-handle kondisi emergency terburuk yang diperkirakan dapat terjadi.Namun profesi ini bukannya kebal hukum oleh karena itu ICAO merumuskan Just Culture sbb:“a culture in which front line operators or others are not punished for actions, omissions or decisions taken by them that are commensurate with their experience and training, but where gross negligence, wilful violations and destructive acts are not tolerated”.Artinya untuk “gross negligence”, “wilful violations” dan “destructive act” tidak bisa ditolelir.
Tetapi yang dapat dan mampu menilai ini haruslah sebuah panel profesi yang terdiri dari pilot2 senior berpengalaman dan berintegritas…bukannya profesi lain! Oleh karena itu dalam sidang ICAO yang membahas Annex 13 dipenghujung tahun 2008 delegasi Eropa bertanya:“Who in the State, as well as within the companies, gets to “draw the line” between acceptable and unacceptable behaviour from a criminal law point of view?”
Kita bersyukur UU no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan sudah menjawabnya dengan pembentukan Majelis Profesi Penerbangan yang harus terbentuk paling lambat 2 tahun ini.
- Penerapan hukum yang bertentangan dengan 2 azas universal yaitu “lex specialis derogat legi generalis” artinya hukum penerbangan seharusnya diutamakan apalagi kita ini adalah civilized nation yang menjadi anggota (contracting state) dari ICAO serta azas “nebis in idem” dimana sang pilot sudah dikenai hukuman terberat didalam profesinya (yaitu pencabutan license !!!).Perlu diketahui bahwa “kebenaran yang didefinisikan” didalam KUHP belum pernah diperbaharui sejak tahun 1958 sedang semua ketentuan di dalam ICAO-Annexes senantiasa segera diperbaharui atau paling lambat sekali dalam 10 tahun.
- Last but not least, perlu dipahami bahwa kegiatan penerbangan itu berlangsung diluar kodrat manusia sehingga memang mengandung resiko tinggi sehingga menjadi pertanyaan apakah aturan hukum yang dirumuskan untuk “kegiatan didalam alam kodrat manusia” apakah pantas diterapkan untuk “kegiatan diluar alam kodrat manusia” ?
Bila dibandingkan dengan profesi dokter yang notabene melakukan kegiatan “didalam alam kodrat manusia” dan tidak merasakan akibat dari pekerjaannya masih membutuhkan “patience inform consent” dari orang yang dilayaninya sebelum melakukan operasi yang berresiko kematian….sedang pilot tidak pernah meminta hal serupa itu karena ia sejatinya SENASIB dengan para penumpang didalam menghadapi resiko kematian akibat kegiatan penerbangan itu. Nah dengan kasus kriminalisasi ini yang pasti akan membuat pilot Indinesia tidak nyaman bekerja (untuk tidak mengatakan “takut”) sebab kalau dia “kebetulan” nanti survived dari kecelakaan maka dia akan menjadi terpidana …. apakah dikehendaki para pilot Indonesia nanti mensyaratkan “pax inform consent”? …. kalau itu sampai kejadian maka penerbangan di Indonesia ini benar-benarlah semakin aneh.
Shadrach Nababan, penerbang senior.