Tim Nasional Indonesia, tampil dengan format dan performance yang sangat berbeda setelah ditangani oleh seorang pelatih asal Austria Alfred Riedl.
Tidak hanya para penggemar berat sepakbola ditanah air, akan tetapi juga banyak orang awam kemudian tertarik dengan penampilan kesebelasan Indonesia, utamanya setelah mengalahkan Laos serta Malaysia dengan angka yang sangat mencolok, kemudian menundukkan Thailand dengan skor 2 – 1.
Selintas, bila mengikuti sejarah panjang kesebelasan Indonesia dari sejak dahulu, maka dengan mudah terdeteksi bahwa kita memang hanya dapat meraih prestasi yang membanggakan bila berada dibawah asuhan pelatih asing, atau pelatih “orang bule”. Sebut saja Tony Pogaknic asal Yugoslavia , Wiel Coerver yang orang Belanda dan terakhir ini Alfred Riedl berkebangsaan Austria.
Sedikit tentang Alfred Riedl, pelatih sepakbola kelahiran Wina, Austria 2 Nopember 1949 adalah eks pemain bola dengan posisi striker. Postur tubuh ramping dengan tinggi 1.84 meter sangat ideal bagi tubuh seorang atlit dan juga pesepakbola tentunya. Disamping sebagai pemain tim nasional, Riedl juga berpengalaman melatih Timnas Austria, Maroko, Palestina , Mesir,Kuwait, Vietnam dan Laos.
Riedl, berminat untuk melatih Tim Nasional Sepakbola Indonesia, terutama sekali adalah berdasar kepada keyakinannya bahwa Indonesia memiliki potensi yang “bagus” dibidang sepakbola. Prestasi Indonesia dibidang sepakbola selama ini, tidak atau belum sama sekali mencerminkan potensi yang dimilikinya. Ditambah lagi bagaimana “fanatik” nya para penggemar bola di Indonesia dalam memberikan perhatian yang luar biasa kepada para pemain nasional kebanggaannya. Kiranya Indonesia adalah satu dari beberapa negara yang rakyatnya sangat “gila bola”.
Kesulitan pertama yang dihadapi Riedl dalam melatih Tim Nasional Indonesia seperti diutarakannya adalah masalah “disiplin” para pemain yang rendah. Diawal pelaksanaan tugas bersama dengan Asistennya Wolfgang Pikal, mereka sudah harus mencoret dua pemain handal di Tim Nasional yang berasal dari Persipura, Boaz Salossa dan Ian Louis Kabes, hanya karena “terlambat“ bergabung di Pelatnas. (ini adalah kelebihan dari orang bule, yang tidak pernah banyak omong dalam mengingatkan orang untuk taat aturan tetapi langsung menjatuhkan sanksi.
Tentu saja ini memberikan sinyal kuat bagi para pemain lainnya, untuk tidak coba-coba, bahwa tidak perduli apakah anda “jago” atau tidak, selama melanggar aturan, anda akan dihukum !)
Hal tersebut sepertinya merupakan kelemahan terbesar dari kebanyakan pemain Indonesia. Disiplin yang rendah tentu saja otomatis akan memunculkan sosok olahragawan yang “buruk” karakternya. Kelemahan lain yang juga sangat mendasar adalah kondisi fisik para pemain yang kurang prima untuk dapat bergerak aktif selama dua kali 45 menit.
Disamping itu, yang juga cukup menonjol adalah kemampuan masing-masing pemain untuk bermain secara tim yang kurang berkembang. Kemampuan kerja-sama tim dalam bermain sebagai satu kesebelasan yang utuh sangat rendah. Kecenderungan untuk menonjol secara individu masih dominan.
Itu sebabnya , sang Asisten, Wolfgang Pikal bertugas menambahkan porsi khusus dalam pengelolaan para pemain tim nasional, dibidang yang sangat urgen tersebut. Jadi, mereka diberikan selain latihan fisik, juga harus melaksanakan latihan permainan atau games dan pelatihan psikologi dalam rangka pembentukan karakter. Karakter dalam hal ini , antara lain adalah kemampuan menempatkan diri sebagai bagian yang utuh dari satu kesebelasan yang mempunyai tujuan untuk memenangkan pertandingan, bukan untuk mencari popularitas perorangan.
Wolfgang sempat mengeluhkan banyak orang dan juga media yang terlalu dini melambungkan nama-nama pemain tertentu sebagai sudah menjadi “bintang” dalam kesebelasan Tim Nasional Indonesia. Ini benar-benar tidak mendidik , katanya. Hal itu akan sangat meracuni pemain yang bersangkutan. Pemain yang masih harus bekerja keras mengembangkan kemampuan skill individu nya dalam kerangka bermain dalam tim.
Walaupun hasil pertandingan dibabak penyisihan, dilihat orang sebagai prestasi yang luar biasa dari Timnas ini, namun Riedl dengan “dingin“ menyatakan sebagai “belum apa-apa”. Tantangan kedepan masih sangat berat untuk dihadapi. Dia tidak ingin para pemainnya lekas puas dengan apa yang telah di raih sementara ini.
Kelebihan lain dari pelatih asing adalah kemampuannya dalam melihat seluruh pemain secara “obyektif“. Mereka tidak mudah terpengaruh untuk kemudian menentukan “si anak emas”, walaupun yang bersangkutan dapat memperilhatkan kemampuan yang melebihi rekan-rekannya. Tidak ada tempat kiranya bagi mereka yang ABS.
Dibalik kecemerlangan Tim Nasional Indonesia, sebenarnya tidak hanya karena kejelian dan kecerdasan Riedle, akan tetapi kehadiran dua pemain naturalisasi pasti berdampak pula terhadap kinerja para pemain lainnya. Mobilitas pemain yang sudah tidak muda lagi , Gonzales di lapangan tengah, walaupun tidak ada bola, sangat mempengaruhi rekan-rekannya. Demikian, tentu saja semangat tinggi dari Irfan Bachdim turut pula memancing semangat para pemain lainnya.
Keinginan untuk tidak dianggap “kalah kelas” dengan dua pemain “luar negeri” sangat berdampak positif bagi anggota kesebelasan Indonesia. Hal ini dapat disaksikan dari bagaimana penampilan para pemain seperti Firman Utina, Ridwan,Arif Suyono, Maman Abdurrahman, Zulkifli Sukur dan lain-lain.
Dengan hasil spektakuler, dalam pengertian kemampuan membuat goal yang luar biasa ( 5 – 1 Malaysia; 6 – 0 Laos dan 2-1 Thailand), kesebelasan nasional Indonesia telah memberikan harapan bagi kita semua akan meningkatnya prestasi sepakbola nasional yang selama ini “terpuruk” tidak ada juntrungannya. Terpuruk yang bila dihadapkan kepada potensi yang dimiliki akan dengan mudah dicapai kesimpulan sebagai miskinnya kemampuan Kepemimpinan dan Manajemen.
Mudah-mudahan, momentum yang baik ini akan dapat menjelma menjadi lembaran baru bagi pencapaian prestasi sepakbola Indonesia yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Insya Allah.
Jakarta 8 Desember 2010