Saya berteman dengan Alam, seorang tunanetra pemain drum yang juga aktif dalam kepengurusan di Pertuni, Persatuan Tunanetra Indonesia. Saya sangat mengagumi Alam sebagai penyandang disabilitas lantaran memiliki semangat dan talenta luar biasa.
Pada umumnya kita banyak mengenal pemain musik dengan status tunanetra, namun kebanyakan dari mereka memainkan alat music yang relatif mudah untuk “diraba” seperti piano, gitar atau biola.
Untuk pemain drum, saya baru mengenal Alam yang sebagai tunanetra bermain dengan sangat luar biasa. Letak drum yang harus ditabuh/pukul, sama sekali tidak mudah untuk dapat “diraba” sebagaimana alat musik lain seperti piano ataupun gitar. Itulah yang membuat Alam menjadi seorang pemain musik tunanetra yang Istimewa.
Penampilannya sebagai seorang musikus pemain drum sudah banyak diketahui khalayak pencinta musik di tanah air. Namun tidak banyak yang mengetahui bahwa Alam juga aktif dalam kepengurusan organisasi yang memperjuangkan hak-hak para tunanetra sebagai orang yang dilahirkan dengan status “disabilitas”
Beberapa hari lalu, Alam bercerita kepada saya menyampaikan keluhan seorang temannya wanita tunanetra yang mengalami perlakuan diskriminatif saat bepergian ke luar negeri. Yang lebih menyedihkan adalah, ternyata perlakuan diskriminatif tersebut justru diterimanya dari petugas sesama warga negera Indonesia.
Diskriminasi di Bandara
Ceritanya begini, kolega Alam seorang tunanetra wanita melakukan perjalanan ke Hongkong dalam kerangka kegiatannya di pentas internasional. Rute perjalanannya adalah berangkat dari Jakarta menuju Singapura untuk transit, kemudian melanjutkan penerbangan menuju Hongkong. Demikian pula rute perjalanannya saat kembali ketanah air.
Penerbangan dari Jakarta menuju Singapura, dia menggunakan maskapai penerbangan Indonesia. Sedangkan untuk rute penerbangan dari Singapura ke Hongkong dan sebaliknya menggunakan maskapai penerbangan negara lain.
Saat akan berangkat dari Jakarta, dia mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari pihak maskapai penerbangan saat akan check ini dan boarding ke pesawat. Kesannya, dia sebagai seorang tunanetra diperlakukan berbeda dan sangat dipersulit dalam proses pelaksanaan prosedur keberangkatan.
Dia diminta antara lain untuk menandatangani surat pernyataan mengenai tanggung jawab keselamatan selama dalam penerbangan dan lain-lain yang dilihatnya sangat tidak masuk akal. Dengan segala argumentasi dan susah payah memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dalam menuntut kesamaan hak dan perlakuan sebagai penumpang yang “bayar”, akhirnya dia berhasil berangkat menuju Singapura.
Yang membuatnya bertanya-tanya adalah, saat akan berangkat menuju Hongkong dari Singapura, dia sama sekali tidak mengalami kesulitan apapun dan bahkan dibantu dengan sangat profesional oleh petugas dari maskapai penerbangan asing pada terminal pemberangkatan di Singapura.
Demikian pula saat dalam perjalanan pulang dari Hongkong untuk Transit di Singapura, dia sama sekali tidak mengalami perlakuan yang diskriminatif. Yang menjengkelkan adalah perlakuan diskriminatif dan terkesan sangat mempersulit itu dia alami kembali saat berurusan dengan petugas maskapai penerbangan Indonesia sendiri saat persiapan berangkat dari Singapura ke Jakarta.
Dia tidak habis pikir dan sangat sulit bisa mengerti mengenai perlakuan yang dialaminya oleh bangsa sendiri di maskapai penerbangan Indonesia dalam penerbangan dari dan ke Indonesia, tanah airnya yang dicintainya.
Saya dapat merasakan ketidaknyamanan yang dialami temannya Alam dalam hal pengalamannya bepergian ke luar negeri itu. Saya juga sangat memahami kegusaran Alam dan teman-teman sesama tunanetra terhadap perlakuan yang sangat diskriminatif yang ternyata cukup sering mereke alami.
Alam mengatakan, mereka (para tunanetra) tidak membutuhkan pertolongan yang berlebihan sebagai penyandang tunanetra. Mereka ingin berteriak kepada semua pihak yang masih saja memperlakukan mereka dengan cara diskriminatif. Mereka bukanlah orang “sakit”.
Mereka adalah penyandang disabilitas yang sama sekali bukan kehendak dari mereka untuk menjadi orang yang memiliki keterbatasan dibanding dengan manusia normal lainnya.
Dalam hali ini saya juga dapat memahami dengan baik, mengapa Alam dan teman-temannya merasa seperti itu. Refleksi dari memegang teguh prinsip kesamaan hak yang dikemukakan Alam dan teman-temannya dapat dilihat dari bagaimana Alam tampil dalam kesehariannya tanpa sedikitpun rasa rendah diri yang membayanginya.
Dalam beberapa hal justru Alam sering memberikan kritik dan saran konstruktif pada beberapa masalah yang kebetulan memang dikuasainya, tanpa diikuti rasa rendah diri dari seorang yang memiliki keterbatasan.
Sekali lagi saya sangat respek dan salut pada Alam dan semua penyandang disabilitas yang masih tetap memiliki “fighting spirit” yang luar biasa dalam menjalani hidup yang penuh tantangan ini.
Disadari benar, perlakuan pemerintah dan masyarakat pada umumnya di negeri ini masih jauh sangat kurang dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara-negara maju. Sekedar contoh sederhana saja, bahwa di negara maju, pada setiap ruang publik antara lain di “shopping-mall”, maka area parkir yang dekat dengan pintu masuk, selalu diberikan prioritas bagi mereka penyandang disabilitas.
Demikian pula toilet di bandara serta di kawasan pelayanan transportasi publik lainnya mereka memperoleh prioritas sebagai bentuk toleransi penuh dari mereka yang kebetulan secara fisik dan psikis “normal”.
Tentu saja besar harapan kita semua, hal yang tidak menyenangkan sahabat nya Alam, (dan kalangan tunanetra pada umumnya) tidak terulang kembali. Penyandang disabilitas tidak sepatutnya diperlakukan secara diskriminatif. Mereka bukan dan sangat berbeda dengan orang “sakit”.
Tanggung jawab kita ke depan adalah memberikan yang terbaik bagi sesama. George Bernard Shaw pernah menekankan, “We are made wise not by the recollection of our past, but by the responsibility for our future”.
Oleh : Chappy Hakim
(Dimuat di – Kompas.com , Editor – Wisnu Nugroho)