Tanggal 17 Juli 2014, sebuah pesawat Boeing-777-200 milik Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17, yang memuat 298 orang pada rute penerbangan Amsterdam – Kuala Lumpur, meledak di udara dan jatuh berkeping-keping di perbatasan Ukraina – Rusia. Dugaan kuat, pesawat telah terkena tembakan rudal yang dilepaskan oleh kaum separatis pro Rusia didaerah perbatasan Ukraina – Rusia.
Beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 14 Juli 2014 sebuah pesawat transport militer Ukraina jenis AN-26 ditembak jatuh oleh kelompok separatis Ukraina. Tanggal 16 Juli, sehari sebelum naas menjelang MH17, sebuah pesawat tempur taktis Ukraina jenis SU-25 juga mengalami nasib yang sama, ditembak jatuh pada lokasi yang sangat berdekatan.
Harusnya bisa dicegah.
Kecelakaan yang dialami pesawat Malaysia MH17, seharusnya bisa dicegah, andai saja pihak otoritas penerbangan Malaysia atau pihak Malaysia Airlines, secara rutin mengikuti perkembangan keadaan pada rute penerbangannya yang melewati wilayah konflik. Dari jarak yang hanya beberapa hari saja sebelum kejadian, sudah ada dua pesawat terbang yang ditembak jatuh oleh kelompok separatis di kawasan konflik dalam jalur penerbangan MH17 dari Amsterdam ke Kuala Lumpur. Hal ini sepertinya sudah luput dari perhatian Malaysia dan Maskapai penerbangan sipil internasional pada umumnya. Ukraina, ternyata memang hanya memberikan peringatan pada penerbangan internasional di kawasan konflik tersebut dengan batasan ketinggian 30 ribu kaki kebawah. Hal ini tentu saja didasarkan pada, bahwa peralatan rudal yang dikuasai pihak kaum separatis tidak berkemampuan untuk dapat menembak sasaran pada ketinggian diatas 30 ribu kaki. Pihak otoritas penerbangan internasional, belakangan ini memang terkesan untuk menyerahkan pertimbangan dalam menghindari kawasan yang tengah bermasalah kepada negara dan Maskapai penerbangan yang bersangkutan. Sekedar contoh saja, kawasan diatas Afghanistan yang potensial berbahaya bagi keamanan penerbangan sipil, tetap saja dilalui dengan tenang oleh kebanyakan Maskapai penerbangan. Mungkin mereka berasumsi, bahwa selama tidak berkait langsung dengan konflik yang tengah bergulir, maka mereka akan aman-aman saja. Analisis perkiraan intelijen, sudah waktunya harus menjadi bagian yang utuh dalam proses turut menjaga faktor keselamatan penerbangan komersial .
Sebenarnya dalam hal ini sudah ada contoh nyata dari antisipasi peningkatan kewaspadaan yang dilakukan oleh otoritas penerbangan Amerika Serikat. FAA (Federal Aviation Administration) sudah memberi peringatan kepada seluruh pesawat terbang Amerika , untuk menghindarkan diri dari kawasan perbatasan Ukraina – Rusia yaitu daerah yang merupakan tempat jatuh tertembaknya 3 buah pesawat dalam waktu yang tidak lebih dari satu minggu tersebut. Walau diketahui, bahwa peringatan FAA itu lebih disebabkan pada posisi politik AS terhadap konflik yang tengah berlangsung antara Rusia dan Ukarina disamping alasan utamanya yang tentu saja tentang keselamatan penerbangan.
Peluru Kendali (Rudal BUK)
Diluar dugaan Malaysia dan banyak negara lainnya yang masih dengan tenang melintasi jalur penerbangan diwilayah konflik, ternyata pihak seperatis pro Rusia memiliki sistem rudal yang mampu mencapai ketinggian diatas 30 ribu kaki. Dari berita yang beredar, diketahui kelompok seperatis telah menggunakan Rudal BUK buatan Rusia. Rudal BUK adalah dari keluarga self-propelled, medium-range surface to air missile system. Rudal ini , dipercaya berjarak tembak efektif sampai dengan jarak lebih kurang 60 ribu kaki dari permukaan air. Dikenal dengan kode nama SA-6, pihak NATO mengidentifikasi dengan nama Grizzlys, sedangkan Pentagon mengenalnya dengan kode bernama SA-17.
Rudal ini lebih populer pada bentuknya yang mobile dan sepintas terlihat sebagai susunan peluru raksasa yang berdiri tegak diatas peluncurnya yang sekilas terlihat mirip dengan tank. Keistimewaan Rudal BUK adalah berkemampuan menembak beberapa sasaran sekaligus, atau multiple target dengan variasi dari berbagai sudut serang. Dibuat oleh Uni Sovyet pada tahun 1972 dan disebar di negara-negara Blok timur Pakta Warsawa sebagai rangkaian yang utuh dari sistem pertahanan udara disaat berlangsungnya perang dingin. Disain utama dari Rudal BUK adalah untuk mengintercept cruise missiles, smart bomb, fixed and rotary wing aircraft dan juga UAV dan drone.
Salah sasaran
Sesaat setelah kejadian dan diketahui bahwa yang tertembak adalah pesawat sipil jenis Boeing – 777 dari Malaysia Arilines nomor penerbangan MH17 pihak Ukraina merilis berita bahwa pelakunya adalah kelompok separatis pro Rusia yang menggunakan Rudal BUK bantuan pemerintah Rusia. Sementara itu pihak Rusia , juga langsung menuding bahwa hal itu dilakukan oleh pihak Ukraina yang jelas-jelas lokasi kejadiannya adalah dibawah yurisdiksi Ukraina, walau de facto telah dikuasai oleh kelompok separatis pro Rusia. “Salah tembak” rudal BUK terhadap sebuah pesawat sipil dengan penumpang yang ratusan jumlahnya pastilah membangunkan dan membuka mata seluruh dunia untuk melihat apa gerangan yang telah terjadi dan pasti pula akan berbuntut pada tuntutan tanggung jawab terhadap nyawa ratusan orang sipil berbagai bangsa yang tidak berdosa, yang tidak ada kaitan sama sekali dengan konflik yang tengah berlangsung.
Itu sebabnya, maka persoalan menjadi tidak sederhana lagi. Rusia jelas tidak akan mau disalahkan, demikian pula pihak Ukraina. Pelakunya mungkin agak sedikit mudah untuk dapat diduga, yaitu kelompok separatis Ukraina yang pro Rusia. Akan tetapi, siapa pula yang melengkapi mereka dengan rudal BUK. Dari uraian ini kiranya dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa penembakan tersebut sebenarnya adalah hasil dari perbuatan yang “salah-sasaran”. Salah sasaran dalam pengoperasian peralatan canggih dari unit peluru kendali yang merupakan bagian integral dari satu sistem pertahanan udara, sangat mungkin terjadi. Sebagai satu unit dari sistem besar yang bernama sistem pertahanan udara, maka rudal BUK memang tidak didisain sebagai “sub-system” yang harus selalu melekat pada induknya. Rancangan rudal BUK yang mirip dengan Tank, memang disiapkan untuk juga mampu pada kondisi-kondisi tertentu beroperasi “mandiri” atau “stand alone”. Akan tetapi, walau dalam konteks beroperasi sendiri, tetap saja jaring komando dan pengendaliannya berada dalam koordinasi operasi yang terpadu. Dalam unit terkecil sekalipun, keterampilan perorangan, kerjasama tim dan proses pengambilan keputusan untuk “tembak” dan “tidak tembak” pada saat “last-minutes”, sebelum eksekusi memerlukan tingkat keterampilan tertentu. Tingkat keterampilan yang senantiasa harus tetap dijaga dengan cara antara lain “latihan” berjadwal. Kecerobohan sedikit saja, akibat yang dihasilkan akan sangat fatal. Menggiring sasaran yang hendak ditembak jatuh dan kemudian mengidentifikasi ulang apakah sasaran sudah benar atau tidak, sebelum sampai pada keputusan untuk “menembak”, kemungkinan besar adalah kekeliruan yang telah dilakukan saat ternyata B-777 Malaysia MH17 yang kemudian jatuh berpuing-puing kepermukaan tanah. Sukses dua hari sebelumnya yang telah menjatuhkan dua buah pesawat Ukraina, ternyata tidak berlanjut seperti yang terjadi di tanggal 17 Juli yang ternyata sebuah pesawat maskapai penerbangan sipil Malaysia MH17 !
Dunia penerbangan internasional yang sudah sangat canggih dan relatif sangat aman itu, ternyata telah memakan korban lagi, tidak tanggung-tanggung 298 orang dalam hitungan sekejap. Kali ini terjadi di wilayah yang memang tengah terjadi konflik antar negara. Pelajaran berharga yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah, peningkatan kewaspadaan jauh lebih berharga dibanding dengan tetap bertahan pada rute terjadwal yang sudah dihitung efisiensi nya secara komersial. Dengan kejadian ini, maka kiranya sudah harus dipikirkan bahwa disemua kawasan konflik yang menyimpan potensi ancaman terhadap keamanan terbang, sebaiknya langsung saja dihindari. Efisiensi harus juga mempertimbangkan faktor-faktor lain sebagai unsur yang ternyata dibelakang hari justru menimbulkan lebih banyak lagi masalah yang secara komersial akan merugi. Semua berharap, kejadian ini dapat diselidiki tuntas, transparan , adil dan mereka yang bersalah harus dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya dengan hukuman yang setimpal. Kesemuanya itu tentu saja bertujuan agar kekeliruan fatal yang merengut nyawa ratusan orang tidak berdosa tidak terulang kembali dimasa mendatang.
Jakarta 19 Juli 2014
Chappy Hakim
1 Comment
indonesia harus belajar dari kejadian ini, terima kasih artikelnya pak.
salam
omjay