Pada awal tahun 1970-an saya berjumpa dengan sahabat teman saya berkebangsaan Amerika Serikat. Tidak ada yang istimewa dari pertemanan saya ketika itu sampai pada saat saya menanyakan agamanya apa. Cukup terkejut saya, karena ia menjawab bahwa dia tidak beragama. Wah, kalau begitu, anda Atheis dong reaksi spontan saya, yang serta merta dijawab bukan. Saya tidak beragama akan tetapi saya percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, ujarnya melanjutkan. Ketika saya tanyakan mengapa percaya Tuhan tetapi tidak beragama, ia menjelaskan lebih lanjut. Tolong tunjukkan kepada saya agama yang tidak bayar, maka saya akan masuk agama itu katanya. Kemudian dia menguraikan cukup banyak aliran agama yang ternyata menarik iuran alias bayaran dari umatnya. Tidak itu saja, ia juga menjelaskan betapa banyak agama yang ternyata terdiri dari banyak sekali aliran aliran yang berbeda satu dengan lainnya. Itu sebabnya dia tidak beragama, karena tidak ada agama yang “satu” tidak ada cabang-cabangnya dan juga sekaligus tidak ada agama yang tidak menarik bayaran kepada umatnya. Kesimpulannya dia tegaskan kepada saya tolong carikan Agama yang “satu” dalam arti tidak bercabang cabang dan agama yang tidak meminta atau mewajibkan umatnya mengumpulkan uang, tidak perduli dengan alasan apapun. Dari penjelasan itu semua, saya mengambil kesimpulan bahwa dia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang. Dia tidak beragama, karena dia tidak percaya pada agama yang dia ragukan kebenarannya. Tentu saja dalam hal ini mengenai ritual dan semua kegiatan keagamaan yang dianggapnya atau diragukan olehnya tentang kebenarannya. Dia sedikit mencontohkan betapa sejarah tentang negara negara ternyata banyak sekali ketidak benarannya, apalagi tentang agama agama yang umurnya ribuan bahkan ratusan ribu tahun itu. Itu menyebabkan dia percaya Tuhan tetapi memilih untuk tidak mengikuti salah satu dari ajaran agama manapun.
Pada awal tahun 2017 kita menyaksikan tentang betapa isu agama telah menjadi unsur penentu kemenangan Pilkada DKI Jakarta. Sangat tidak masuk akal sehat , betapa pasangan Gubernur yang menjanjikan dan bahkan telah membuktikan kerja keras untuk masyarakat banyak menderita kekalahan. Dari salah satu saja pertanyaan yang saya ajukan kepada beberapa orang yang memilih Gubernur yang bukan pilihannya, agak mengherankan jawabannya adalah karena takut masuk neraka. Faktor Agama telah berpengaruh sangat besar kepada cara berpikir yang logis dan masuk akal. Tidak hanya itu, setidaknya dalam satu dekade belakangan ini telah tumbuh menjamur kalangan kaum Wanita yang mengenakan Jilbab dan kaum Pria yang jenggotan dan bercelana cingkrang. Sementara di negara asalnya, Arab kaum wanitanya justru telah melepas Jilbab yang dianggap sangat mengganggu dalam berkegiatan sehari hari. Secara iseng pernah saya tanyakan kepada anak muda tentang mengapa ia berjilbab, jawabannya adalah, karena untuk menutupi aurat. Kepada anak muda pria yang jenggotan dan celana cingkrang saya tidak memperoleh jawaban yang jelas kecuali bahwa mereka merasa yakin harus berjenggot dan celana cingkrang. Tidak perlu diskusi panjang, kesimpulan akhir pasti sampai kepada pendapat yang sama yaitu mereka semua takut masuk neraka dan ingin sekali masuk surga. Agama telah menggiring sebuah momentum pilkada menuju kemenangan ditengah tengah faham demokrasi yang konon kabarnya bertujuan untuk dan berlandas kepada keadilan sosial. Agama telah dijadikan alat untuk memenangkan Pilkada. Disisi lain Agama juga telah membuat banyak generasi muda berjilbab, berjenggot dan celana cingkrang dengan alasan yang tidak mudah untuk dapat dimengerti akal sehat. Jawaban paling sederhana yang dapat diperoleh untuk sementara waktu adalah bahwasanya, mereka takut masuk neraka dan berkeinginan untuk masuk surga ketika meninggalkan dunia yang fana ini. Agama telah mengantar mereka yang berwawasan sempit untuk melihatnya sebagai ancaman masuk neraka bila berdosa dan iming iming masuk surga bila memperoleh pahala. Itu sebabnya atas nama agama mereka menjadi ringan tangan untuk kalau perlu saling membunuh antar sesama. Wawasan sempit beragama yang pernah coba diluruskan oleh seorang sufi bernama Jalaludin Rumi dengan mengatakan bahwa Agamaku adalah Kasih Sayang dan Rumah Ibadahku berada di dalam hati setiap orang.
Pada awal tahun 2023 ini, saya memperoleh banyak tulisan menarik tentang agama dan salah satunya yang sedang seru di bahas yaitu mengenai tulisan Denny JA soal Agama sebagai warisan kultural milik kita bersama. Ini adalah pemikiran Denny JA soal agama dalam karya Ahmad Gaus AF berjudul : Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (CBI, 2023). Review bermunculan dari banyak tokoh antara lain Dr.Luthfi Assyaukanie, Dr. Budhy Munawar-Rachman, Dr.Reza A.A Wattimena dan Prof.Dr Komaruddin Hidayat.
Dari tulisan Gaus tentang pemikiran Agama Denny JA dan demikian banyak tanggapan dari tokoh tokoh cendekiawan kesohor terhadap tulisan itu, ternyata saya memperoleh banyak pencerahan dan juga sekaligus persetujuan atas banyak pendapat pribadi saya yang tersimpan selama ini didalam pikiran. Misalnya saja tentang mengapa negara maju adalah negara yang warganya tidak begitu fanatik beragama. Demikian pula negara negara yang warganya bahagia adalah negara dengan warga yang tidak begitu banyak perduli dengan ritual keagamaan. Negara yang pemerintahannya sangat perduli dan adil terhadap warga negaranya juga bukan negara yang warganya sangat taat beragama. Konfirmasi semacam ini menjadi sangat mencerahkan dalam hal berhadapan dengan misteri kehidupan yang selalu menghantui umat manusia pada umumnya. Manusia yang berhadapan dengan misteri tentang tidak dapat mengetahui dari mana dia berasal dan kemana mereka akan pergi setelah mati. Walau banyak jawaban yang tersedia di dalam sekian banyak aliran agama, akan tetapi kesemuanya sulit untuk dapat diterima akal sehat. Akal sehat manusia yang memang memiliki keterbatasan untuk mampu memecahkan misteri itu. Pada titik ini, maka tulisan Gaus tentang pemikiran Agama Denny JA dan sejumlah tanggapan para tokoh cendekiawan kesohor telah mengantar kita semua untuk mau merenungkan kembali semua masalah berkaitan dengan Agama. Bahasa Denny JA tepat sekali dengan mengatakan antara lain mengenai Sembilan pemikiran soal Agama di Era Google.
Dari tulisan Denny JA dan seluruh tanggapan yang bermunculan, saya sampai kepada kesimpulan sementara, bahwa memang diperlukan review terhadap agama, apapun agama itu seperti yang dikatakan Denny JA dari data yang dikutipnya berjumlah 4300. Perlu kita merenung kembali tentang sahabat saya yang tidak beragama akan tetapi tetap percaya kepada adanya Tuhan, tentang penyalahgunaan atau memperalat agama untuk memenangkan Pilkada dan mengenai berkembangnya generasi muda dengan komunitas berjilbab, berjenggot dan celana cingkrang. Kesemua itu memerlukan jawaban karena era kemajuan teknologi yang begitu pesat ditandai dengan hadirnya Google, AI dan Cyber world berpengaruh besar terhadap pemahaman umat manusia terhadap Agama. Kemampuan berpikir manusia sudah waktunya dilibatkan dalam tafsir tafsir agama yang selama ini berkembang liar dengan 1001 interpretasi dalam 4300 agama yang kadang menyesatkan dan bahkan merugikan kehidupan manusia itu sendiri. Tidak bermaksud “menyalahkan” terhadap apa yang sudah menjadi pemahaman umat beragama selama ini akan tetapi merenungkannya kembali dengan akal sehat mungkin akan menjadi lebih baik. Sebuah ajakan yang akan sangat besar manfaatnya bagi kita semua. Dalam hal ini, semoga saya tidak keliru, Denny JA melalui atau bersama Ahmad Gaus telah dengan cerdas memunculkan karya berjudul Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google, untuk maksud tersebut. Sebuah karya yang sangat amat pantas untuk disebut sebagai karya yang “keren”.
Jakarta 27 April 2023
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia