Seorang diplomat kawakan yang sempat bertugas di Indonesia pernah mengatakan kepada saya bahwa negeri ini adalah negeri yang lain dari yang lain. Indonesia dikatakannya sebagai sebuah Negeri yang terlalu amat sangat sibuk dengan urusan dirinya sendiri. Merasa takut tersinggung, segera ia menambahkan bahwa ia memakluminya bahwa hal tersebut, mungkin karena latar belakang sejarahnya.
Seorang Jurnalis Eropa, pada masa sesaat setelah reformasi, yang pernah bertugas di Jakarta mewakili Al Jazeera pernah saya tanya mengapa anda bertugas di Jakarta dan mengapa tidak memilih di Eropa dan atau Amerika.
Jawabannya adalah, sebagai seorang Jurnalis, ia adalah pemburu berita, dan berita yang atraktif dan layak diburu hanya ada di Negara-negara seperti atau sejenis Indonesia. Saya tanyakan lagi apa kesan anda tentang Indonesia. Setengah ragu, mungkin khawatir saya tidak suka, namun kemudian dia menjawab dengan tegas bahwa orang Indonesia itu memang sangat ramah dan bersahabat, namun sayangnya terlalu “gevolg”, dalam bahasa Indonesia “sensitif” atau cepat tersinggung.
Nah, untuk sementara kita tidak perlu membahas kedua hal itu lebih jauh lagi, berikut mari kita bersama melihat hal lainnya.
Pada medio Nopember lalu saya diundang oleh Kokoda Foundation, sebuah think tank binaan dari Kementrian Pertahanan Australia untuk berbicara dalam forum segitiga Australia – Amerika dan Indonesia. Topik bahasan adalah mengenai perkembangan di Pasifik, antara lain Hot Issue tentang kekuatan Amerika yang kelihatan bergeser ke kawasan Pasifik. Tentu saja, antara lain adalah yang berkait dengan penempatan Marinir Amerika di Darwin. Saat itu saya bersama antara lain Bapak Sabam Siagian, mantan Duta Besar RI di Australia.
Didalam forum tersebut saya menerima salinan White Paper Australia dengan kata pengantar dari Julia Gillard, sang Perdana Menteri, pemimpin Australia. Dalam kata pengantar tersebut, Julia Gillard, mengajak seluruh warga Australia untuk mulai melihat ke Asia. Julia Gillard mengatakan antara lain betapa kini pertumbuhan ekonomi tengah berpindah dari kawasan Atlantik ke Samudra Hindia dan Pasifik. Dia menegaskan bahwa kini adalah era nya Asia. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Asia tidak bisa dihentikan lagi, kemakmuran dan kesejahteraan akan menjadi miliknya Asia. Tidak itu saja dan yang agak mengejutkan adalah, pernyataan singkat tersebut ditutup dengan sebuah seruan yang sangat patriotik dan nasionalistik. Seruannya berbunyi sebagai berikut : itu semua (kemajuan di Asia) adalah “Australian Opportunity”. Dan tidak itu saja, selanjutnya ditambahkannya lagi dengan : “Saya ingin Australlia akan keluar menjadi pemenang dan saya mengajak anda semua , seluruh warga Negara Australia untuk juga keluar sebagai pemenang.”
Itu adalah seruan seorang pemimpin kepada warganya. Bila disimak lebih mendalam, maka jelas Australia adalah sebuah Negara yang samasekali tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi yang tengah melanda dunia, bahkan tengah maju dengan signifikan, akan tetapi, mereka justru fokus dan mengamati laju kemajuan Asia untuk kemudian mencoba mengambil peluang dalam turut serta maju dan bahkan menginginkan keluar sebagai pemenang. Sementara Indonesia yang merupakan bagian yang utuh dari Asia, sampai kini pun belum terdengar arahan dari para elit nya untuk bangkit bersama memanfaatkan peluang yang tengah terbuka lebar didekatnya.
Selanjutnya, sebagai seorang yang bertugas lebih dari 30 tahun di Angkatan Udara, saya selalu mengikuti latihan-latihan perang di Indonesia yang selalu saja berada dalam konteks menangani ancaman yang terjadi didalam negeri. Skenario latihan tidak pernah berbicara tentang ancaman yang akan datang dari luar. Bila disebutkan pun, pasti kemudian hanya akan berupa Pre memori. Apakah itu membenarkan pendapat sang Diplomat dan sang Jurnalis tadi ? walahualam bisawab.
Saat saya memasuki masa pensiun, saya memilih untuk bergiat dalam urusan berbagi dengan aktifitas olah intelektual. Saya menulis buku yang antara lain mengenai Pertahanan. Buku pertama tentang pertahanan diterbitkan tahun lalu yang berjudul Pertahanan Indonesia, Angkatan Perang Negara Kepulauan. Dibuku itu intisarinya hanyalah berisi tentang bagaimana Tentara itu seyogyanya tidak terlibat dalam urusan politik dan Tentara seharusnya menyadari benar bahwa bentuk Negara kita adalah sebuah Negara kepulauan yang tentu saja format system pertahanannya harus menyesuaikan dengan bentuk Negara kepulauan. Berikutnya saya akan meluncurkan buku yang akan diberi judul Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia, Tragedi, Aru, insiden Bawean dan ……………
Buku ini merupakan lanjutan dari buku yang pertama, namun hanya mengulas tentang kekuatan udara sebagai bagian yang berperan sentral dalam urusan pertahanan udara nasional. Buku ini juga berharap untuk dapat memberikan aspek edukasi bagi anak muda tentang keudaraan. Itu sebabnya dibagian awal, saya sajikan banyak mengenai sejarah penerbangan dengan tokoh-tokoh yang mempunyai peran spektakuler.
Dari Wright Brothers, Billy Mitchell sampai Wiweko, Yum Soemarsono dan juga tentunya Nurtanio Pringgoadisuryo. Dalam buku ini pula diuraikan dengan tuntas tentang tragedi laut Aru yang kontroversial itu dan juga mengenai peristiwa Bawean. Untuk Aru, kiranya memang sudah lengkap disajikan semua dan tidak diharapkan lagi muncul perbedaan persepsi tentang hal tersebut, kecuali dicatat sebagai satu pelajaran mahal yang harus dijadikan sebuah “lesson learnt” dalam pelaksanaan operasi gabungan. Sementara insiden Bawean memang memiliki catatan tersendiri sebagai sebuah insiden yang begitu cepat muncul di ranah publik melalui media, antara lain berkat kesigapan seorang wartawan Kompas saat itu yang bernama Dudi Sudibyo.
Sebelumnya, insiden-insiden sejenis yang kerap terjadi, tidak pernah ter ekspose keluar, dan bila terlanjur pun, biasanya sudah berupa berita yang terlambat atau sudah basi dan kemudian dengan cepat diselesaikan dibawah meja. Sangat berlainan dengan apa yang terjadi dengan Insiden Bawean.
Peristiwa itu pun berlaku di saat gonjang ganjing proses pengadaan pesawat Sukhoi yang tengah melanda tanah air. Beberapa waktu kemudian, terjadi pula beberapa peritiwa serupa, namun dapat cepat diatasi dengan baik. Disisi lain, pada buku itu nantinya juga akan sedikit diulas tentang “civil aviation” yang akan berkait dengan “open-sky 2015”, sehubungan dengan antara lain tentang wewenang pengaturan lalulintas udara serta masalah yang tidak kunjung usai mengenai FIR Singapura yang kesemuanya akan berdampak langsung terhadap pengelolaan wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia.
Sudah waktunya, kita semua merasa turut bertanggung jawab terhadap manajemen kedaulatan Negara di udara. Pengelolaan wilayah udara yang tidak saja mengandung nilai ekonomi yang tinggi tetapi juga sekaligus terdapat didalamnya urusan kehormatan, harga diri dan kedaulatan Bangsa Indonesia. Dengan kemajuan teknologi, nilai wilayah udara kedaulatan juga telah turut meningkat.
Itu semua patut di renungkan untuk dicermati sebelum akan berakkhir nanti dengan rasa penuh penyesalan.
Sayup-sayup terngiang kembali kata-kata Sang Diplomat senior yang mengatakan bahwa negeri ini memang sebuah negeri yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Terlalu sibuk urus diri sendiri, terlalu sibuk urus golongan dan partainya belaka ! Dan hal tersebut memang terlihat refleksinya dalam kegiatan sehari-hari. Ribut sana dan ribut sini dengan tanpa kejelasan hendak kemana akan pergi.
Disisi lain sebenarnya, dengan perkembangan global dan terutama perkembangan lingkungan kawasan, maka kini tidak lagi dan tidak cukup bagi kita untuk hanya melihat kepada faktor geo politik dan geo strategi, akan tetapi sudah harus dimulai memperhitungkan pula tentang aero politik dan aero strategi !
Jakarta 15 Desember 2012
Chappy Hakim