Dalam sejarah pemerintahan umat manusia, berbagai bentuk sistem politik telah lahir dan berevolusi seiring dinamika zaman. Di antara sistem-sistem tersebut, demokrasi dan sistem satu partai menjadi dua kutub ekstrem yang sering diperbandingkan dalam wacana akademik maupun politik praktis. Demokrasi menjanjikan kebebasan individu dan partisipasi luas rakyat dalam pengambilan keputusan politik, sementara sistem satu partai mengedepankan efisiensi, stabilitas, dan disiplin kolektif sebagai pilar utamanya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya, yang tercermin dalam perjalanan negara-negara besar dunia seperti Amerika Serikat dan Tiongkok saat ini.
Antara Idealisme dan Realitas
Demokrasi modern tumbuh dari idealisme zaman pencerahan yang menjunjung tinggi akal budi dan kebebasan. Dalam sistem ini, kekuasaan bersumber dari rakyat melalui pemilu yang kompetitif dan terbuka. Kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, dan sistem checks and balances adalah fondasi utama yang dijunjung.
Namun, dalam praktiknya, demokrasi tidak selalu menghasilkan pemimpin yang bijaksana dan berintegritas. Seperti dikemukakan oleh Jason Brennan, dalam bukunya Against Democracy (2016), “Democratic participation by the ignorant and irrational does not reliably produce just or competent government.” Artinya, demokrasi dapat menghasilkan pemimpin yang dipilih bukan karena kompetensi, melainkan karena popularitas semu atau manipulasi emosional.
Hal ini sejalan dengan kritik Noam Chomsky, yang menyatakan bahwa “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Dalam konteks demokrasi liberal, debat boleh saja marak, tetapi sistem tetap dikendalikan oleh elite yang mampu memanfaatkan mekanisme demokrasi untuk kepentingannya sendiri.
Demokrasi juga membuka ruang bagi korupsi sistemik, karena kompetisi politik yang mahal sering memaksa politisi mencari dana kampanye dari sumber-sumber yang tidak bersih. Ironisnya, demokrasi yang seharusnya menjadi instrumen keadilan, justru bisa menjadi sarana legal untuk para koruptor dan preman politik mengakses kekuasaan.
Sistem Satu Partai: Disiplin dan Hierarki
Di sisi lain, sistem satu partai, seperti yang diterapkan di Republik Rakyat Tiongkok, menekankan pada stabilitas dan keberlanjutan pembangunan nasional. Pemimpin dalam sistem ini tidak muncul secara instan melalui popularitas, melainkan melalui jenjang karier yang panjang, disiplin organisasi, dan seleksi ketat dalam struktur partai. Seperti dikatakan oleh Francis Fukuyama, “State capacity—its ability to enforce rules and deliver services—is often stronger in non-democratic regimes.” Dalam hal ini, sistem satu partai terbukti mampu menyelenggarakan pembangunan besar-besaran secara terencana dan efisien, tanpa terhambat siklus elektoral jangka pendek.
Namun tentu, sistem ini juga bukan tanpa kritik. Kebebasan sipil dibatasi, oposisi politik ditekan, dan sentralisasi kekuasaan menimbulkan risiko absolutisme. Tetapi di sisi lain, sistem ini meminimalisasi politik uang dan memaksa kader-kadernya untuk meniti karier berdasarkan prestasi, bukan pencitraan. Tidak mudah bagi seorang pemimpin dalam sistem satu partai untuk naik ke puncak kekuasaan tanpa melalui puluhan tahun pengabdian.
Dalam sistem ini, tidak ada ruang bagi preman politik atau tokoh populer dadakan. Segala bentuk penyimpangan, termasuk korupsi, ditekan dengan tangan besi. Bahkan pejabat tinggi partai pun tak luput dari jerat hukum jika terbukti melanggar. Hukuman mati untuk koruptor kelas kakap menjadi sinyal keras bahwa keteraturan dan disiplin adalah fondasi utama pemerintahan.
Perbandingan antara demokrasi dan sistem satu partai seringkali terjebak dalam dikotomi moralistik: demokrasi dianggap lebih luhur karena memberikan kebebasan, sementara sistem satu partai dipandang otoriter. Namun realitas kontemporer menunjukkan bahwa demokrasi juga bisa melahirkan kekacauan, korupsi, bahkan pemimpin-pemimpin populis yang tidak rasional.
Sebaliknya, sistem satu partai memang membatasi kebebasan, tetapi memberi ruang bagi stabilitas dan pembangunan jangka panjang. Negara-negara demokratis seperti Brasil dan India sering kesulitan membangun infrastruktur karena tarik-menarik kepentingan politik, sementara negara satu partai seperti Tiongkok mampu membangun ribuan kilometer jalur cepat dalam waktu satu dekade.
Demikianlah, dalam kurun waktu ratusan tahun, demokrasi telah membuktikan dirinya bahwa ternyata orang “gila” atau psikopat seperti misalnya Hitler dan Donald Ttump dan sebagainya dapat dengan mudah menjadi pemimpin negara, dan juga memberi peluang besar bagi ruang gerak koruptor dan preman. Sebaliknya, sistem satu partai membuktikan bahwa memimpin itu butuh jenjang kepemimpinan yang panjang dan memerlukan tangan besi untuk membangun disiplin dalam menuju kesejahteraan. Keteraturan hanya bisa dipaksa, dan hasilnya tidak ada ruang bagi koruptor dan preman.
Mana yang lebih baik? Hanya hati nurani yang mampu menjawabnya. Karena hanya hati nurani yang sanggup untuk jujur.
Jakarta 17 April 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia